Opini

Koalisis Internasional Melawan ISIS dan Paradoks yang Menyertainya

447
×

Koalisis Internasional Melawan ISIS dan Paradoks yang Menyertainya

Sebarkan artikel ini

Oleh : M. Chairil Akbar

Ilustrasi
Ilustrasi

Serangan terror Paris yang diduga dieksekusi oleh ISIS pada Jumat (13/11) lalu setidaknya membawa dua implikasi penting. Pertama, kemungkinan bergesernya peta geopolitik Barat di kawasan Timur-tengah. Kedua Paradoks politik dan kepentingan yang menyertai agenda perang melawan ISIS.

Probabilitas Scenario Baru Geopolitik Barat di Timur-Tengah

Pasca tragedi memilukan bom bunuh diri dan penembakan massal di Paris, Presiden Hollande secara resmi menyatakan akan adanya tindakan balasan (retaliation action) terhadap gerakan Negara Islam, ISIS, yang ia anggap mengobarkan perang (act of war) terhadap Perancis. Betapa tidak inilah tragedi kemanusiaan terbesar di Perancis sejak berakhirnya perang dunia ke dua. Upaya yang akan diambil diprediksi akan jauh lebih aktif dibanding sebelumnya. Indikasi awal sudah terlihat lewat serangan udara Perancis pada Minggu 15 November di Kota Raqqa, Suriah 2 hari setelah aksi terror di Paris. Namun begitu, tindakan Perancis tersebut juga secara implisit merefleksikan dilema tersendiri.

Perancis pada prinsipnya kini berhadapan dengan pilihan sulit. Ancaman nyata aksi terror terhadap keamanan nasionalnya justru terkait secara langsung dengan sikap politik Perancis terhadap rezim Bassar Al Assad di Suriah. Dalam situasi ini, Perancis terbelit oleh afiliasi politiknya yang hangat dengan Arab Saudi. Relasi bilateral di bidang ekonomi antara kedua negara beserta rezim monarki kaya minyak seperti Qatar dan Bahrain sangat krusial. Disisi lain, Perancis adalah salah satu pemasok terbesar instrument-intrumen militer bagi Arab Saudi dengan nilai miliaran dollar AS.

Pada bidang lain, Sejak 2012 Perancis dan Arab Saudi secara intensif menjalin upaya kolektif melawan rezim Bassar. Rivalitas politik antara kerajaan Saudi terhadap Iran telah mengendap begitu lama. Tarik menarik ini juga lah yang semakin memperuncing konflik Sunni-Syah di Timur Tengah. Iran adalah penyokong utama Suriah, sementara Arab Saudi bersama AS dan Perancis, dalam kasus ini, terkonsolidasi untuk menangkal keberlangsungan Suriah di bawah pemerintahan Bassar. Sebagai konsekuensinya, konflik ini termanifestasi kedalam dua kubu. Pertama, grup oposisi anti-pemerintah yang dibantu secara langsung dan tidak langsung oleh AS dan Arab Saudi, dan status-quo Bassar yang didampingi Iran dan Rusia. Lalu dimanakah posisi Perancis dalam pusaran ini? sederhana saja. Perancis ada di kubu pertama.

Tapi konstelasi mungkin saja segera berubah. Pendekatan politik luar negeri Perancis terhadap Suriah dan terorisme wajib menimbang opsi baru, yakni meninjau kembali hubungan luar negerinya dengan Suriah. Selain atas faktor kemanan nasional, di dalam negeri ia juga dibayangi tekanan politik dari partai Front National (The National Front) yang juga salah satu kutub politik terbesar di Perancis yang dikenal reaksioner terhadap isu terorisme dan Islam.

Sebagaimana dilansir oleh Wall Street Journal pada Senin (16/11) partai Front Nasional dan beberapa faksi moderat dari partai lawan politik Hollande akan menyambut kerjasama dengan pemerintahan Bassar termasuk intervensi militer Rusia di Suriah. Lebih jauh, publik dalam negeri diduga akan mengafirmasi tindakan militer terhadap ISIS. Emile Hokayem, analis dari International Institute for Strategic Studies di Bahrain menyatakan hal yang sama. “ there are very few voices in France that pushes for military disengagement” (hanya ada sedikit pihak dalam negeri Perancis yang mendorong ketidakterlibatan militer)

Pada konteks inilah kebijakan pragmatis akan dikedepankan Hollande dalam perang melawan terrorisme. Butuh reaksi cepat dan taktis untuk menangkal dan mengamputasi terror ISIS. Serangan Paris lalu adalah gejala adanya pergeseran taktik ISIS setelah sebelumnya bersifat sangat territorial. Perluasan agresi bersenjata ISIS terbukti mampu menembus Eropa. Jika trendnya memang demikian maka Perancis tak punya pilihan lain kecuali menginisiasi kerjasama militer dengan Suriah. Ruang politik baru kedua Negara dapat kembali dibuka. Pada titik itulah dilema Perancis mengemuka. Model upaya militer dan arah kebijakan luar negeri Perancis kini bersandar pada kemungkinan kompromi.

Berbagai media dalam beberapa hari terakhir melaporkan bahwa Hollande telah membuka komunikasi dengan Washington dan Moskow untuk menjajaki suatu aliansi. Keputusan ini tergolong sulit sebab disisi lain hal tersebut jelas memperkuat posisi tawar politik rezim Bassar. Arab Saudi terpaksa menelan pil pahit. Walaupun begitu, ini adalah realitas politik luar negeri dan kemanan nasional Perancis. Hollande tampak mengatur ulang prioritasnya di Suriah. Pemerintahan Bassar menjadi nomor dua setelah perang melawan ISIS.

Langkah proaktif kebijakan luar negeri Perancis ini juga turut melahirkan efek turunan. Fokus dunia sedang beralih pada kemungkinan munculnya suatu aliansi global melawan ISIS.

Wacana perintisan aliansi baru ini bagaimanapun juga adalah hal yang rumit. Rusia dan AS merupakan dua kekuatan politik global yang tak ramah satu sama lain. Kedua pihak sangat jarang bersepakat dalam berbagai isu dan forum internasional. Misalnya dapat dicerminkan dari isu konflik Rusia dan Ukraina menyangkut wilayah Crimea, Isu nuklir Iran, atau pada kredibilitas model perdagangan bebas ala AS yang sering disoroti Putin.

Meskipun begitu, titik cerah mulai muncul. Indikasi akan adanya kooperasi taktis antara AS, Perancis dengan Rusia semakin menguat. Jalan bagi terbentuknya aliansi global melawan ISIS tampak lapang. Sebagaimana dilansir oleh Wall Street Journal Selasa (17/11) kontak resmi telah dilakukan antara AS, Rusia, dan Perancis yang sebelumnya diinisiasi pada pertemuan Negara-negara G20 di Turki (15/11).

Aliansi ini bagaimanapun juga dapat dianggap sebagai manuver yang kontroversial. Absennya legitimasi dan kredibilitas pemerintahan Bassar Al-Assad di mata AS dan Perancis akan menjadi hambatan utama. Tetapi disaat bersamaan terror Paris menunjukan ancaman dan kekuatan ISIS tak bisa diremehkan. Pemerintah Bassar yang didukung Rusia dan Iran memegang peran krusial. Sebagai lawan langsung ISIS, Suriah otomatis memiliki informasi intelijen lebih berlimpah termasuk faktor geografis perang itu sendiri.

Mantan Deputi Direktur CIA Michael Morell menilai AS wajib mempertimbangkan ulang posisi politik Bassar Al-Assad (16/11). “I do think the question of whether President Assad needs to go or whether he is part of the solution here we need to look at again. Clearly he’s part of the problem, but he may also be part of the solution.” (saya juga memikirkan pertanyaan apakah Presiden Assad harus lengser atau apakah ia bagian dari solusi. Tapi kita perlu melihat lagi. Jelas ia adalah bagian dari masalah, tapi juga boleh jadi ia bagian dari solusi). Dari sini, posisi politik AS dan sekutunya akan dikorbankan. Prioritas mereka dapat berpaling pada ancaman ISIS meninggalkan rezim Bassar sebagai pihak yang lebih baik (the lesser evil) dibanding ISIS. Kirill V. Kabanov, mantan Agen Intelijen domestic Rusia juga menyatakan hal serupa. “You can not play two cards at once “ (anda tidak dapat memainkan dua kartu sekaligus) yang menunjukan bahwa kelemahan pendekatan AS yang melawan Bassar dan ISIS secara bersamaan, sebagaimana dilansir New York Times (17/11).

Paradoks Kepentingan dan Politik Dalam Agenda Melawan ISIS

Namun ada satu paradoks besar yang beririsan langsung dengan scenario diatas yakni perang melawan terror itu sendiri. Proyek global yang dikomandoi AS dan sekutunya sejak 2001 di Afghanistan setidaknya membuka kotak Pandora di timur tengah. Lubang fundamentalisme kian menganga dan perang sipil tiada akhir justru jauh dari selesai. Agresi militer bahkan menyisakan pertumbuhan bibit baru milisi sipil ekstrimis. Bagai menyiram api dengan bensin, agresi militer terhadap ISIS termasuk solusi terbaik dari yang terburuk. Invasi AS dan NATO ke Iraq merupakan contoh mal-praktek kebijakan luar negeri. Pre-emptive war dengan alasan yang kabur dan difabrikasi adalah resep utama menuju malapetaka. Miliaran dollar raib, notabene pajak yang dibayar rakyat, adalah pil pahit lain yang harus ditelan. Perhatikan betapa langkah AS dibawah Bush berubah sebagai lelucon. Oleh banyak pihak, baik konservatif, moderat maupun progresif,dinilai sebagai kegagalan yang lebih parah dibanding Perang Vietnam yang berlangsung selama 20 tahun. Dan anti klimaksnya berupa kemunculan organisasi barbarian bernama ISIS.

Selain mewujud sebagai monster teroris berlabel agama ISIS juga turut dibidani langsung dan tidak langsung oleh AS dan sekutunya. Melalui serangkaian Intervensi militer dari Afghanistan, Iraq, Libya, dan kini Suriah “sukses” menyediakan lahan subur bagi tumbuhnya ISIS. Investigasi mendalam yang dilakukan Lydia Wilson tentang motif terbentuknya ISIS, jurnalis The Nation, mengafirmasi bagaimana horror dan pertumpahan darah dalam bentuk perang memicu reaksi balik dalam bentuk kekerasan berantai dan spiral. Faksi-faksi radikal Sunni berkembang untuk melawan okupasi dan tentara AS di Iraq. Sejumlah personil ISIS yang diwawancarai oleh Wilson menunjukan indikasi bahwa factor interpretasi jihad dalam doktrin Islam bukanlah factor yang paling signifikan bagi pembentukan dan operasi ISIS.

Salah satu tahanan mengatakan “The Americans came. They took away Saddam, but they also took away our security. I didn’t like Saddam, we were starving then, but at least we didn’t have war. When you came here, the civil war started.” (Amerika datang ke sini (Iraq). Mereka mennyingkirkan Saddam. Tapi mereka juga mengambil keamanan dari kami. Saya tidak menyukai Saddam tapi setidaknya kami tidak mengalami perang. Ketika kalian (Amerika) datang kesini, perang bersaudara dimulai”). Perang melahirkan perang lain. Benar bahwa ISIS hidup dari perspektif sempit, dangkal, dan ekstrimis tentang islam namun melupakan factor eksternal adalah kekeliruan fatal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok oposisi anti Bassar yang dilatih dan didanai oleh AS beserta Arab Saudi menghasilkan faksi baru yakni ISIS. Peliharaan yang balik menyerang majikannya.

Tantangan terbesar bagi prospek dan agenda melawan ISIS justru terletak persis pada jantung persoalannya yakni Suriah. Situasi domestik Suriah memang sangat kompleks. Pergoalakan politik dan perang yang terjadi sejak 2012 terbelit kontestasi kepentingan yang berlapis-lapis. Penaklukan wilayah oleh ISIS, Dukungan militer dari AS terhadap kelompok oposisi anti Bassar, hingga intervensi langsung Rusia baru-baru ini adalah serangkaian faktor pemicu eskalasi konflik lebih parah. Belum termasuk permusuhan politik dari Arab Sudi dan Turki terhadap rezim Bassar itu sendiri. Sejak 2012 AS telah mendukung perlawanan militer kelompok oposisi anti Bassar dan “menepikan” bahaya ISIS. Sebaliknya Rusia meyakini bahwa sumber malapetaka ada di pihak ISIS bukan Pemerintahan Bassar. Ditengah realitas rumit yang saling berjalin-kelindan tersebut melacak sejarah dan akar masalah adalah panduan yang signifikan.

Gambaran lebih jelas atas instabilitas timur tengah dapat ditelusuri lewat politik imperialisme Negara-negara besar. Ekspansi ideologis berikut bentuk-bentuk praksis politik dan ekonomi turunannya telah lama dilakukan sejak era perang dingin. Afghanistan, Iraq, Iran, Mesir, Arab Saudi, Palestina, atau Libya kesemuanya pernah dan sedang menjadi medan turbulensi geopolitik. Barat tidak pernah berperan sebagai juru selamat, juru runding, atau fasilitator perdamaian. Kesemuanya hanyalah kedok. Sandiwara rutin di tiap meja diplomasi guna menutupi standar ganda mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk Rusia dan Putin. Sebagian pihak berasumsi kehadiran Rusia layaknya oase ditengah tindakan unilateral dan kegagalan massif AS di Timur-tengah. Penilaian semacam itu mudah berkubang dalam oversimplifikasi. Putin menyimpan agendanya sendiri secara rapat. Peran Rusia tentu pada gilirannya akan meminta imbal balik..

Dalam setiap episode perang kepentingan bisnis menguntit pelan dari dekat. Profit perang sangatlah menjanjikan di timur tengah. Bisnis minyak, proyek infrastruktur rehabilitasi paska perang, hutang luar negeri dan jual beli senjata merupakan sisi lainnya. Akumulasi capital semacam ini adalah fenomena yang inheren. ISIS dan perang melawannya sulit lepas dari aspek ekonomi-politik. Oleh karenanya, analisa demikian pada gilirannya akan menyentuh platform politik rezim-rezim berkuasa di timur tengah. Bahwa mereka juga bagian dari masalah. Saddam, monarki Saudi, Bassar, atau Erdogan memainkan politik standar ganda sembari memelihara kekuasaan otoriternya. Arus demokratisasi politik pun menjadi tumbal. Kedaulatan rakyat berada di tangan dan lidah penguasa. Perang bagaimanapun juga adalah sebuah mega proyek. Banyak hal krusial akan dikalkulasi, untung dan ruginya. Sama sekali tak ada altruisme disana. Satu-satunya garansi yang menanti dengan setia adalah pertumpahan darah, disintegrasi, dan chaos.

Dengan demikian wacana dan praktek koalisi internasional melawan ISIS atau terorisme adalah sesuatu yang baru sekaligus lama. namun yang pasti fenomena tersebut setidaknya memungkinkan dan menjustifikasi dua hal. Pertama, probabilitas bergesernya peta Geopolitik Barat di Timur-tengah, dan kedua, faktor kepentingan nasional masing-masing Negara pada akhirnya dapat menegasikan pendekatan politiknya dengan Negara lain. Diplomasi sekali lagi membuktikan premis lamanya. Tujuan diplomasi bukanlah menemukan solusi yang sempurna melainkan seni mengelola resiko. Kecuali memang yang akan menanggung hampir semua resikonya adalah rakyat biasa.

*Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional UNHAS dan UGM

Sumber kutipan :

Pernyataan emile hokayem disadur dari :

http://www.wsj.com/articles/france-readies-to-expand-its-war-on-islamists-1447618203

Pernyataan Michael morel disadur dari :

http://www.christiantoday.com/article/ex.cia.chief.urges.new.u.s.strategy.vs.isis.join.russia.and.syria.in.wiping.out.terrorist.group/70741.htm

Pernyataan Kiril v kabanov dari :

http://www.nytimes.com/2015/11/18/world/middleeast/envisioning-how-global-powers-can-smash-isis.html

Investigasi mendalam dan menarik Lydia Wilson dapat dilihat di :

http://www.thenation.com/article/what-i-discovered-from-interviewing-isis-prisoners/