Kota Bima, Kahaba.- Penasehat Hukum (PH) H. Syahrullah, Syarifudin Lakuy menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bima terhadap terdakwa Syarullah, dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tipikor, pidana penjara 7 tahun dan 6 bulan, denda 200 juta sub 6 bulan UP Rp 651.225.950, sub 1 tahun, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah Kelurahan Penaraga Kota Bima, tidak sesuai dengan Fakta. (Baca. Syahrullah Dituntut 7,6 Tahun Bui)
Syarifuddin mengaku akan melawan tuntutan Jaksa pada sidang pledoi (Pembelaan) di Pengadilan Tipikor Mataram-NTB. Alasannya, tuntutan JPU tidak sesuai dengan fakta hukum. Bahkan ia mengaku bahwa hasil audit BPKP yang dipakai oleh JPU menyalahi prosedural. Apalagi, pihaknya telah mengantungi pernyataan resmi dari saksi Kepala SPMA, tentang tanah berkait, tidak ada masalah jika dipergunakan untuk praktikum
“Saya berpendapat, tuntutan JPU tidak sesuai Fakta hukum,” nilainya melalui telepon seluler, dikonfirmasi Kahaba Net, Rabu (23/11) malam.
Selanjutnya Mantan Ketua KNPI Kota Bima ini membeberkan hasil persidangan dengan beberapa pernyataan hakim majelis yang meminta kepada jaksa, bahwa setiap tuntutan harus dapat dibuktikan secara valid.
“Bahkan Hakim menyarankan agar Jaksa lain-kali jangan sampai memakai auditor BPKP. karena BPKP bukan auditor keuangan. Justeru BPKP adalah auditor pembangunan. Apalagi karena BPKP adalah auditor internal bukan auditor independen,” tegasnya.
Waktu sidang tuntutan lanjut Lakuy, pihaknya menolak tuntutan Jaksa. Sebab, antara BAP BPKP terkait pernyataan kerugian negara secara total loss tidak sama dengan keterangan kepala SPMA saat itu. Dari fakta persidangan, kepala SPMA tidak pernah menyatakan pemberian tanah, bahkan Pemkot Bima pernah menawarkan tanah ke SPMA.
Kepala SPMA juga sambungnya, menyatakan tanah itu tanah produktif. Pun memenuhi ISO.
?”Sehingga majelis hakim pernah menanyakan pada saksi BPKP standar menyatakan total loss dari mana,” tanyanya.
Hal itu didukung keterangan kepala SPMA, tidak pernah ditawarkan dan tidak pernah menolak tanah tersebut.
“Dari pengakuan kepala SPMA, tanah tersebut dapat dipakai untuk praktikum,” ucapnya.
Menurut dia, sesuai aturan. Tanah tersebut bukan diserahkan oleh Pemkot kepada SPMA. Akan tetapi , aturan yang benar diserahkan ke Gubernur, sesuai perjanjian waktu Walikota HM. Nor A. Latif
Selanjutnya, yang menjadi permasalah berikut, atas pandangannya sebagai PH terdakwa, tuntutan jaksa mengedepankan emosional. Mengapa demikian, karena pihaknya pernah menanyakan kepada kliennya prosedur mengembalikan tanah yang belum memiliki Petunjuk Tekhnis (Juknis).
Langkah kedepan kata dia, akan melakukan Pledio meminta bebas terdakwa. Terhadap persoalan tidak ada kerugian negara, maka pihaknya akan meminta fatwa Mahkamah Agung. Karena belum ada aturan yang mengatur tentang pengembalian kerugian negara dengan status tanah ditangan negara (Pemkot).
“Artinya tanah tersebut telah ditetapkan sebagi aset oleh Pemkot Bima. Lantas bagaimana pelepasan hak,” sorotnya.
Atas dasar itu, dalam pledoi nanti pihaknya mengelaim, Jaksa tidak mampu membuktikan maksud kerugian negara secara total loss. Lalu, Jaksa tidak mampu membuktikan ada pelanggaran kewenangan sesuai Pepres 71 Tahun 2012 tentang pembebasan tanah dibawah 1 hektar dan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 Tahun 2012, tentang Juknis pembasan tanah dibawah 1 hektar tanpa panitia.
“Sedangkan versi kejaksaan, harus menggunakan panitia. Aneh bukan,” pungkas Lakuy
*Kahaba-09