Kabar Bima

Kawinda To’i Tambora Desa Penghasil Madu

505
×

Kawinda To’i Tambora Desa Penghasil Madu

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.- Kawasan Tambora memang menyimpan banyak potensi alam yang belum terkelola dengan maksimal. Bahkan, masyarakat 7 desa yang hidup di Lereng Gunung Tambora sebagian besar menggantungkan hidup dari potensi alam.

Kawinda To’i Tambora Desa Penghasil Madu - Kabar Harian Bima
Madu Tambora. Foto: Ady

Seperti halnya di Desa Kawinda To’i Kecamatan Tambora Kabupaten Bima. Desa ini dikenal sebagai desa penghasil madu. Hasil alam ini merupakan anugerah Tuhan yang dikelola masyarakat turun-temurun.

Hanya saja, selama ini memang masih belum ada intervensi langsung dari pemerintah dalam pengelolaannya. Masyarakat masih secara tradisional mengambil madu karena bukan dibudidaya. Sangat bergantung pada kebaikan alam, kelestarian hutan dan kekuatan fisik masyarakat.

“InsyaAllah, tahun ini Pemerintah Desa melalui BUMDes mulai serius mengelola madu sebagai potensi unggulan desa,” kata Kepala Dusun Kawinda To’i, Abdul Haris pada Kamis (14/9).

Abdul Haris menyebut, madu alam Tambora sebenarnya sudah cukup terkenal di telinga masyarakat Bima. Namun masih banyak yang belum tahu bahwa Desa Kawinda To’i yang memproduksinya.

Madu Tambora memiliki kekhasan dibandingkan madu dari daerah lain. Keberadaannya masih liar di tengah hutan dan tidak dibudidayakan secara khusus. Sehingga rasa dan kualitasnya pun sangat terjaga karena mengonsumsi aneka makanan alami.

Ada dua jenis madu yang dihasilkan di Kawinda To’i, yakni madu putih dan madu merah. Memang induknya sama, tetapi perbedaannya pada kayu yang dimakan. Kalau madu putih, hanya makan sari bunga tumbuhan tertentu. Orang Tambora menyebutnya taride bura dankampar baru.

Kalau madu merah, sembarang bunga kayu yang dimakan. Inilah yang turut menyebabkan rasa dan kualitasnya juga berbeda. Waktu panen madu putih diperkirakan sekitar Juli-September.

Lokasi kembang biaknya di dekat kawah Gunung Tambora. Sedangkan madu merah, lokasi kembang biaknya di pinggiran hutan desa, tidak jauh dari permukiman masyarakat Kawinda To’i.

Keunikan lainnya, dalam satu pohon sarang madu di Kawinda To’i bisa berjumlah puluhan. Untuk itulah, kelestarian hutan di Tambora ikut memengaruhi populasi madu. Apabila hutan rusak, maka populasi madu akan menurun dan terancam hilang dari Tambora.

Kawinda To’i Tambora Desa Penghasil Madu - Kabar Harian Bima
Kepala Dusun Kawinda To’i, Abdul Haris. Foto: Ady

“Sekali produksi kalau rejeki ya bisa satu jerigen atau 10 sampai 20 botol. Musim kemarau begini waktunya untuk panen,” kata Abdul Haris.

Penjualan hasil madu masih sangat terbatas pasarnya. Selama ini hanya dijual ke pusat Kota dan Kabupaten Bima. Kadang-kadang juga ada warga dari desa lain yang datang membeli langsung di Kawinda To’i.

Harga jual madu relatif. Kalau warga menjualnya langsung di desa kepada pedagang, harganya berkisar Rp80 ribu hingga Rp90 ribu perbotol untuk madu merah. Dari pedagang atau tengkulak nanti harganya bisa lebih mahal lagi berkisar Rp120 ribu hingga Rp150 ribu.

Sedangkan madu putih harganya sedikit lebih mahal, berkisar Rp200 hingga Rp250 ribu perbotol dari masyarakat. Dalam bentuk madu putih kristal berkisar Rp300 ribu hingga Rp400 ribu.

“Madu putih memang lumayan mahal karena jumlahnya terbatas dan banyak dicari pedagang dan pembeli,” ujar pria yang sejak kecil bergelut dengan madu ini.

Pengelolaan madu sendiri dibagi dua. Satu lokasi dikelola pemerintah desa, satu lokasi lagi dikelola masyarakat. Madu yang dikelola pemerintah desa, hasilnya dikembalikan lagi ke masyarakat untuk membantu pembangunan desa baik fisik maupun non fisik.

Intervensi dari pemerintah daerah maupun provinsi dalam pengelolaan madu sudah pernah ada. Seperti BKSDA NTB pernah memberikan bantuan alat peras madu kepada warga Kawinda To’i. Namun hasil dari alat itu tidak maksimal dan masyarakat lebih memilih cara tradisional.

“Kawinda Toi sebenarnya masuk dalam kawasan Taman Nasional. Tetapi masyarakat tetap bisa mengambil madu. Dengan catatan, pencari madu harus menjaga hutan, tidak membakar dan merusaknya,” kata dia.

*Kahaba-03