Opini

Bima Jaman Now, Berkaca Dari Peristiwa Donggo 1972

553
×

Bima Jaman Now, Berkaca Dari Peristiwa Donggo 1972

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mawardin*

Bima Jaman Now, Berkaca Dari Peristiwa Donggo 1972 - Kabar Harian Bima
Mawardin

Bima Ramah adalah narasi yang coba diwujudkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima hari ini. Hal itu wajar mengingat citra marah yang melekat pada sebagian orang Bima cukup kental yang menjasad dalam aneka kekerasan hanya karena persoalan sepele. Akhir-akhir ini fenomena kekerasan dan tawuran antar kampung agak mereda, sebuah kondisi yang layak disyukuri. Namun demikian, kewaspadaan dan pencegahan tetap dioptimalisasikan agar setiap potensi kekerasan dapat ditekan dengan melibatkan semua unsur keamanan maupun partisipasi masyarakat untuk mewujudkan perdamaian.

Kadangkala, kekerasan di level akar rumput tidak semata karena persoalan pergumulan identitas, karakter temperamental, dan krisis moral, tapi juga karena kekerasan negara dalam skema konflik vertikal, antara masyarakat versus pemerintah. Ini soal kebijakan pemerintah. Kalau kebijakan pemerintah tidak memenuhi harapan masyarakat, jauh dari janji-janji selama kampanye, maka gerakan protes dan kritikan dari arus bawah menjadi wajar adanya. Di sisi lain, kalau pemerintah benar-benar melayani rakyat sepenuh hati dan sepenuh jiwa, maka akan panen apresiasi. Hal ini bergantung sungguh dari nawaitu pemerintah. Bagaimana Bima jaman now dikaitkan dengan sejarah pergerakan politik Bima jaman old?

Dalam konteks ini, saya teringat dengan suatu peristiwa sosial-politik yang terjadi pada masa silam, di daerah Bima – NTB, di bulan juni 1972, sebagai gerakan sosial menentang penguasa yang dipelopori oleh masyarakat Donggo (sebuah kecamatan di Kabupaten Bima). Bagi peminat politik dan pemerhati sejarah daerah (Bima), apa yang disebut sebagai “Peristiwa Donggo 1972” itu sudah menjadi pengetahuan umum, tetua adat setempat pun banyak bercerita, termasuk hasil penelitian para sejarawan dan budayawan baik orang Bima sendiri, maupun pakar dari luar daerah. Adapun secara spesifik tentang Donggo sudah ditulis peneliti asing– Peter Just – seorang Antropolog Amerika Serikat dalam bukunya “Dou Donggo Justice: Conflict and Morality in an Indonesian Society (2000)”.

Pada masa itu, juni 1972, daerah Bima dikuasai oleh sejumlah elite yang diatur oleh pusat – sebagaimana juga berlaku pada daerah-daerah lain di Indonesia di tengah cengkraman politik orde baru yang sentralistik. Proses sirkulasi kekuasaan elite di tingkat lokal maupun nasional dikondisikan oleh penguasa Jakarta. Struktur kekuasaan di daerah kebanyakan terkooptasi oleh sentralisme orde baru, tak terkecuali di Bima.

Soeharmadji adalah seorang elite militer (asal Malang Jawa Timur) yang menjabat sebagai Bupati Bima ketika itu. Awalnya, roda pemerintahan daerah Bima di bawah Soeharmadji berjalan biasa, mulus dan adem, tapi lambat-laun kemudian bergejolak lantaran Soeharmadji banyak mengumbar janji, tapi tidak ditepati, malahan pada level kebijakan pembangunan daerah cenderung berlaku diskriminatif. Ada politik peminggiran dan marginalisasi terhadap wilayah-wilayah tertentu sehingga menuai kritikan dan resistensi dari arus bawah. Hal inilah yang melahirkan gerakan protes dari rakyat Donggo yang saat itu terkesan mengalami marginalisasi dari aspek pembangunan (suprastruktur dan infrastruktur). Bahkan unsur-unsur tradisional yang melekat pada Donggo, tak mendapat tempat yang layak dalam bingkai historis dan aras kultural.

Dalam catatan sejarah Bima, dikatakan bahwa Donggo adalah sub-etnis yang khas, karena menurut para sejarawan (Bima) umumnya, suku Donggo termasuk penghuni yang paling awal menempati Tanah Bima. Segala hal yang berdimensi adat, budaya dan unsur-unsur tradisional melekat pada kaum Donggo. Karena Soeharmadji kurang atau minim kesadaran akan peta sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat, maka lahirlah ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan, bahkan Soeharmadji pula yang dikatakan telah membawa kabur barang-barang pusaka yang menjadi khazanah budaya Bima.

Diskriminasi kebijakan Soeharmadji tercermin pada penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik lokal yangdidominasi“orang-orang kota”. Ditambah pula dengan jabatan srategis seperti Ketua DPRD, Kasospol, Kadis/Jawatan, sangat kental dengan warna loreng alias di-ABRIsasi dan dimonopoli kaum transmigran yang disetting dari pusat.Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kemudian tambah subur, rotasi kekuasaan sebentuk kue jabatan hanya berputar di ‘meja makan’ keluarga pejabat. Dan Soeharmadji pun hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Sementara itu, masyarakat pinggiran semakin terpinggirkan, tergulung dalam spiral keterbelakangan hingga mempertajam kesenjangan masyarakat dan ketidakadilan yang akut.

Dalam studi Rangga R. R. (2011) lewat skripsinya di Universitas Negeri Malang bertajuk“Gerakan Masyarakat Donggo Tahun 1972: Kisah Dari Elit-elit Terkalahkan”, bahwa pada tahun 1970-an ketika Orde Baru mulai menanamkan kekuasaannya, yang memunculkan berbagai pergolakan yang memaksa masyarakat Donggo untuk berdiri berhadapan dengan pihak penguasa. Dengan sistem sentralisasinya, di mana otoritas penguasa masuk ke desa-desa terpencil sekalipun dengan militer sebagai penyokongnya. Konsep pembangunan yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru yang selalu dikaitkan denganmodernisasi sehingga hal-hal yang berbau tradisional harus dihapuskan karenadianggap menghambat pembangunan, terlebih lagi bila hal-hal tersebut dianggap merintangi penanaman kekuasaan, guna mencapai pemerintahan yang sentralistik.

Kesalahan arah kebijakan Soeharmadji itulah yang memicu perlawanan masyarakat Donggo kala itu. Uniknya, gerakan perlawanan tersebut berbasis massa aksi kaum tani. Memang petani tergolong kelompok masyarakat yang pasif dan lugu dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Disinilah menariknya bagaimana respons petani terhadap suatu kebijakan yang dinilai sewenang-wenang. Walapun memang harus diakui, suntikan ide-ide perlawanan dan pengorganisasian massa ke dalam gerakan yang sistematis itu diatur oleh kelompok intelektual dan elite politik progresif.

Menurut Kartodirdjo (1984), dalam setiap pemberontakan petani, walaupun anggota dari gerakan itu adalah petani, akan tetapi pimpinan organisasinya berada di tangan kaum elite pedesaaan. Guru agama atau pemimpin mistik juga memainkan peranan penting dalam hampir semua pemberontakan besar – dalam arti relatif- yang tercatat.

Di tanah Jawa, terdapat pula pemberontakan petani terhadap kaum kolonial pada awal abad ke-20 dibawah pimpinan Samin Surosentiko, yang dikenal sebagai gerakan Samin yang berbasis di Blora –Jawa Tengah. Samin adalah seorang petani Jawa sekaligus pemimpin mistik Jawa (Kejawen).

Akumulasi dari kekecewaan masyarakat Donggo akibat dari tekanan dan ketidakadilan dari pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. Akhirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagai tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. Ali Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludin H. Yasin (Ledo) sebagai tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972. (Rangga, 2011).

Bagaimana proses ideologisasi dan penggalangan massa aksi itu berlangsung? Abbas Oya, aktivis mahasiswa jebolan Universitas Moestopo (beragama) yang malang melintang dalam pentas pergerakan di Jakarta itu kemudian pulang kampung (kebetulan baru tamat sebagai Sarjana Sospol), turun gunung mengadvokasi rakyatnya yang ditindas penguasa anti-rakyat. Ia berperan dalam memimpin rapat, penanaman ideologi gerakan dan langkah-langkah teknis berdemonstrasi. Lewat sebuah paguyuban pelajar dan mahasiswa Donggo Bima di ibukota, ia mendapat perkembangan isu aktual yang bekembang di daerah asalnya. Adapun H. Kako berlakon sebagai tokoh spiritual yang mensugesti massa demonstran lewat unsur-usur tradisional fitua (mistisisme Islam Bima), agar berani maju pantang mundur. H. Abdul Madjid Bakry – seorang ulama Muhammadiyah memberikan spirit perlawanan yang berbasis Amar Makruf Nahi Munkar. Sedangkan M. Ali Ta’amin dan Jamaludin H. Yasin tampil sebagai agitator massa aksi, membela harga diri rakyat yang terkoyak dan menentang secara jantan penguasa yang dzalim.

Akhirnya massa aksi turun berjalan kaki menuju Bima (kota) pada tanggal 22 Juni 1972. Long march ribuan massa demonstran membentangkan spanduk yang berisi tuntutan diantaranya “Turunkan Soeharmadji”, “Angkat Putra Kahir”, “Soeharmadji Segera Angkat Kaki dari Bima”, “Soeharmadji Pembohong”,“Wahai Bupati soeharmadji, mana janjimu? “Kami datang menagih janji, bukan memusuhimu”, dan lain-lain.

Kinerja rezim yang melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap masyarakat Donggo yang tidak berdosa dengan kekuatan lebih kurang satu batalion ABRI dan POLRI yang didatangkan dari Kodam Udayana dan sekitarnya terekam dalam buku GhazalyAma La Nora (2008) berjudulMutiara Donggo:Biografi Perjuangan Tuan Guru Abdul Majid Bakryterbitan NCI PressJakarta, bahwa tindakan aparat yang kejam itu merupakan tindakan fasisme. Masyarakat Donggo yang turun secara damai jalan kaki sejauh 40 Km ke Bima (kota) untuk menagih janji bupati yang mau membangun infrastruktur, sarana dan prasarana jalan di Donggo yang tidak kunjung datang disambut oleh anggota DPRD dan aparat ABRI dan POLRI di Desa Pandai – Kec. Woha.

Adapun hikmah dan pesan moral yang bisa kita tangkap dari Peristiwa Donggo 1972 itu antara lain bahwa para elite politik diharapkan agar menepati janji-janji politiknya semasa kampanye baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Apalagi saat ini adalah tahun politik, ada banyak figur yang tampil sebagai calon kepala daerah, calon legislatif dan pemimpin politik di berbagai level. Politik wajib diarahkan ke jalur yang bisa membawa kemaslahatan bagi orang banyak lewat otoritas yang dimiliki agar suatu kebijakan yang dirumuskan benar-benar aspiratif, mengedepankan keadilan, non-diskriminatif, berkebudayaan dan melayani sepenuh jiwa. Kaum intelektual yang bersarang di kampus-kampus maupun organisasi kecendekiawanan serta organisasi kemasyarakatan, perlu menjaga independensi, tetap mempertahankan marwah akademiknya, kritis-konstruktif, serta tak berhenti untuk terus berjuang demi kepentingan rakyat.

*Penulis adalah Warga Persyarikatan Muhammadiyah, Aktivis HMI, Peneliti Pusat Studi Konflik Agama dan Budaya (PUSKAB) NTB