Oleh : Mawardin*
Pilkada 2020 kian mendekat. Seolah perputaran waktu berjalan tak terasa. Bagi golputers, ya lain lagi ceritanya. Bagi political observer, politik praktis adalah sumber inspirasi untuk melezatkan renungan intelektual.
Sekilas kita tengok kembali lanskap politik nasional. Pilpres 2019 adalah tahun politik berwajah angker, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemberitaan berita politik mewartakan perebutan kekuasaan penuh teror. Faktanya memang di lapangan terjadi kekerasan.
Di medsos, perkelahian antar kedua kubu seakan tidak mampu dilerai. Belum lagi di WhatsApp Group (WAG). Fake news terus disajikan oleh pengidap buta warna politik.
Mendekati Pilkada Bima 2020 nanti, mudah-mudahan dalam berdemokrasi, menghargai perbedaan senantiasa diarus-utamakan. Nafsu politik yang berlebihan bisa dikendalikan lewat etika yang bersumber dari ajaran agama yang kita anut. Boleh saja kita tidak suka terhadap sesuatu, tapi bersikap toleran membuat kita berlapang dada.
Bahwa ada ketidakbaikan seseorang dan kelompok tertentu tidak harus melupakan kebaikan-kebaikannya. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pun demokrasi.
Seorang ilmuwan politik Mark Roelofs pernah bilang: politics is talk (politik adalah pembicaraan). Marilah membahasakan politik dengan riang gembira. Dalam konteks itulah kita memaknai dan menikmati demokrasi Bima yang sedang direbus ini.
Rendah hati untuk belajar menerima kenyataan sekalipun pahit adalah praktik sederhana bagaimana berdemokrasi. Demokrasi semacam alat untuk memekarkan bunga-bunga yang beraneka ragam dalam sebuah taman. Manakala ada setangkai kenyataan yang tidak sesuai dengan perspektif kita, silakan diubah melalui cara-cara legal-konstitusional dan demokratis. Ketabahan dan keikhlasan menerima perbedaan, apapun bentuknya perlu ditumbuhkan.
Tantangan berdemokrasi dan berpolitik untuk mengatasi kompleksitas persoalan kemasyarakatan bisa diawali dengan mengawinkan politik dan budaya humor. Banyak pakar menilai bahwa humor adalah tanda-tanda “orang-orang genius”. Karena dalam manajemen humor, nalar diaktivasi yang melibatkan daya kognisi dan afeksi. Permainan kata, logika dan filsafat dalam humor berkelindan dengan kesadaran intelektualitas dan permenungan menatap realitas.
Dalam dakwah bil hikmah, ceramah yang dibumbui humor berbobot cenderung mencerahkan daripada mengumbar kebencian, caci-maki dan berkata-kata jorok. Humor itu lazim dalam tradisi pesantren dan pengajian surau, terutama kaum sufi yang gemar bercakap-cakap tentang cinta kasih. Ulama sufi dari Abu Nawas hingga Nasrudin Hoja yang dikenal bijak telah mewariskan humor yang mengandung pesan-pesan moral.
Di kalangan tokoh nasional, kita tahu bahwa Gus Dur yang jenius-universal piawai memanfaatkan humor sebagai instrumen diplomasi dan lobi di pergaulan internasional. Gus Dur yang dibesarkan dalam tradisi pesantren NU sangat lincah dalam mencairkan ketegangan politik. Dari persyarikatan Muhammadiyah, ada KH. AR Fakhruddin, yang dikenal suka guyonan, bersahaja, berwibawa dan menyejukkan.
Di Indonesia, orang Madura dikenal bukan hanya karena caroknya tapi juga humornya yang menggugah nalar dan memporak-porandakan logika normatif.
Bagaimana humor Bima dalam peta kehumoran nasional?
Bima adalah juara humor. Tengoklah Rigen (Muhammad Rizki Rakelna), seorang pelawak muda asal Bima, juara Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV (2015). Tampilnya Rigen sebagai orang Bima garis lucu telah mematahkan mitos ketidaklucuan orang Bima.
Meskipun demikian, di lapangan perdebatan dan WAG, kadang kita kebanyakan cepat tersengat arus ketegangan yang super serius. Kalau serius-serius membawa perubahan sih bagus. Tapi keseriusan yang tidak membawa perubahan apa-apa, buat apa.
Bisa jadi, beberapa tawuran antar kampung di Bima pada masa-masa lalu yang kritis karena krisis humor. Sungguh nggak lucu kita berkelahi sesama rakyat kecil. Lebih keren itu kalau kita menggoyang saklar penjahat raksasa. Itu baru kelucuan yang hakiki.
Tentu tidak semua begitu. Khazanah humor Bima sudah saatnya digali dan disuntik ke dalam tubuh demokrasi Bima agar punya daya tahan kuat dari godaan pertikaian yang serius. Terhadap kawan maupun lawan politik bisa saling berkelakar dengan nuansa intelektual dan spiritual serta kehangatan sosial-kemanusiaan.
Humor adalah alat yang efektif untuk menghadirkan politik yang rileks, tanpa ketegangan stadium berat. Dari relaksasi politik itu, muncul beragam hikmah kebijaksanaan dan khazanah kelucuan yang mengandung pengetahuan. Kalau percakapan berbasis humor sufistik terus didendangkan, maka soft-skill untuk mengatasi persoalan daerah akan terbentuk, lalu menjadi pemimpin yang membumi.
Sayam menyadari defisit humor nggak bakalan masuk dalam visi-misi sebagai calon kepala daerah. Namun, dimensi kehangatan semacam itu mesti dinyalakan guna menyehatkan demokrasi Bima. Dari watak demokratik dan humoris akan terpancar kerendahan hati untuk belajar dari siapa pun, nggak perlu malu mengakui kesalahan, tidak merasa pintar dan tidak gampang menghakimi. Menjadi agen kebajikan untuk melihat, mendengarkan, merasakan hingga mendampingi masyarakat yang terpojok.
Jadi, tak perlu tegang-tegang amat untuk mempercakapkan politik. Rayakanlah demokrasi secara tenang, penuh kebersamaan dan keceriaan. Tidak gampang terprovokasi dan tidak mudah tersinggung.
Humor adalah kupu-kupu bagi demokrasi yang menerbangkan masyarakat ke pintu-pintu keadaban. Dalam mata air humor bukan hanya membuat kita basah akan senyuman dan gelak tawa, tapi juga alarm kritikan yang merdu sekaligus sarana kontemplasi. Dalam kepelikan politik dibutuhkan kreativitas yang sejuk dan selera humor yang cerdas. Pada saat bersamaan, kita harus punya prinsip dan ketegasan dalam bersikap hingga menghadirkan karakter kepemimpinan yang hebat dan menghebatkan.
*Area Researcher/Political Analyst di Charta Politika; Aktivis Perdamaian Bima-NTB)