Opini

Kapan Orang NTB Jadi Menteri Lagi?

385
×

Kapan Orang NTB Jadi Menteri Lagi?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mawardin*

Kapan Orang NTB Jadi Menteri Lagi? - Kabar Harian Bima
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS Mawardin. Foto: Ist

Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2019 nanti. Lalu siapa saja kandidat menteri yang akan menduduki Kabinet Indonesia Kerja Jilid II tersebut?

Figur-figur yang mengisi kabinet mendatang tentu hak prerogatif Presiden Jokowi. Akan tetapi, percakapan seputar nama-nama calon menteri dan kriteria-kriteria yang dinginkan oleh publik, pakar maupun kolega politik terus mewarnai diskursus politik nasional.

Calon menteri yang bergulir atau digulirkan, lazimnya tak hanya menakar aspek profesional dan perwakilan parpol pendukung capres-cawapres terpilih. Bahkan beberapa parpol “oposisi” pun terendus berebut ‘posisi’ yang dibalut dengan narasi “rekonsiliasi” dan akomodasi politik, katanya. Teka-teki power sharing itu pula yang memantik turbulensi di internal koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf. Belum lagi suara dari pakar bahwa tetap diperlukan instrumen pengontrol kekuasaan yang berpangkal pada peran oposisi dalam negara demokrasi.

Variabel dalam pengangkatan menteri biasanya tak lepas dari pertimbangan komposisi agama, etnisitas dan kewilayahan, gender, ormas (terutama NU dan Muhammadiyah), dan wacana terbaru: ‘menteri milenial’. Jokowi seringkali mengatakan kriteria menteri yang diangkat, antara lain mampu mengeksekusi, berani mengambil keputusan, dan memiliki integritas.

Lalu bagaimana ‘nasib’ dan representasi orang NTB dalam hingar-bingar percakapan soal menteri?

Sebenarnya, tak sedikit figur berkompeten asal NTB yang mampu menjadi eksekutor program dan kebijakan dengan pengalaman di bidang pemerintahan, berani mengambil keputusan, dan integritas yang teruji. Tapi sekali lagi, soal kualitas itu tak cukup.

Dalam perspektif keterwakilan daerah, NTB masih kalah dibandingkan dengan provinsi lingkup kepulauan sunda kecil seperti NTT dan Bali. Dari NTT terdapat nama-nama seperti Frans Seda, Jacob Nuwa Wea, Sonny Keraf, Nafsiah Mboi, Saleh Husin. Sementara itu, dari Bali tercatat Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Ida Anak Agung Gde Agung, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Sudjana, I Gede Ardika, I Gusti Gde Raka, Jero Wacik.

Secara politik, NTB memang belum memaksimalkan representasi simbol atau identitas yang signifikan. Bargaining position dan diferensiasi NTB juga belum bisa dioptimalkan sebagai instrumen ‘penekan’ untuk menggoyang saklar pusat kekuasaan. Dari NTB, baru satu orang menteri (kelahiran Dompu-NTB), yakni Feisal Tamin: Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

Bagaimana peluang orang-orang NTB dalam kabinet yang dipimpin Jokowi ini?

Kalau dilihat dari konten pemberitaan kandidat menteri asal NTB, memang tak banyak nama yang muncul. Namun ada beberapa nama yang disorot media, misalnya Muhammad Zainul Majdi (TGB) dan Kurtubi. Kedua Putra Sasak itu termonitor atas usulan TKD Jokowi-Ma’ruf Provinsi NTB (suarantb.com, 6 Juli 2019). Dibandingkan dengan Kurtubi, radius pemberitaan TGB memang lebih luas, ditinjau dari tools berupa media monitoring. Namun demikian, baik Kurtubi (politisi Nasdem, pakar perminyakan), terlebih TGB sangat pantas dipertimbangkan oleh Jokowi.

Sebagai catatan, di Charta Politika tempat saya bekerja, istilah media monitoring adalah aktivitas pendataan pemberitaan surat kabar melalui proses input dan pengelompokkan isu ke dalam satu sistem dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Dalam hal pemberitaan TGB sebagai calon menteri, hampir semua media massa nasional arus utama mewartakannya, dan beberapa kolega TKN Jokowi-Ma’ruf pun ikut support. Sejak lama pula TGB menjadi kekasih media. Sedangkan di media online lokal NTB yang terpantau, antara lain suarantb.com, kanalntb.com, mataraminside.com, nusramedia.com, selaparangtv.com, radarlombok.co.id, lomboktoday.co.id. Hal ini untuk memotret aspirasi lokal.

TGB didukung oleh elemen masyarakat dan opinion leader mulai dari tokoh pemuda, tokoh agama, pemuka masyarakat, pengamat, akademisi, aktivis masyarakat sipil, tokoh politik lokal dan nasional, parpol dan relawan Jokowi-Ma’ruf. TGB dinilai sesuai dengan kriteria-kriteria yang diinginkan Jokowi, bahwa pejabat menteri perlu orang-orang berkompeten, berpengalaman dan berkemampuan di atas rata-rata. Dan TGB memenuhi kriteria itu.

TGB telah menjabat sebagai Gubernur NTB dua periode (2008-2013 dan 2013-2018). Pernah menjabat sebagai anggota DPR-RI (periode 2004-2009) dari PBB mewakili NTB yang ditempatkan di Komisi X (pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian dan kebudayaan). Doktor ilmu tafsir Al-Qur’an lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini juga adalah keturunan ulama, bercitra moderat dan perangkul keberagaman. Plusnya sebagai salah satu tim sukses Jokowi-Ma’ruf pada pilpres 2019.

TGB yang nyaris menjadi cawapres Jokowi ini menyalakan matahari harapan bahwa anak-anak NTB juga bisa bersinar di langit-langit Jakarta. Andai Presiden Jokowi benar-benar memberikan amanah kepada tuan guru ini, sebagian besar berharap agar politisi Partai Golkar ini dikaryakan sebagai Menteri Agama, atau Menteri Pemuda dan Olahraga, berdasarkan latar belakang pendidikan dan jejak rekam pengalamannya. Selebihnya, sebagai representasi orang NTB atau mewakili porsi etnisitas dari Timur Nusantara.

Siapa lagi figur dari NTB yang terpajang di etalase politik nasional? Kita tahu bahwa keterpilihan Jokowi sebagai Presiden RI dua kali berturut-turut penuh belukar. Selalu berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketetapan KPU terkait hasil pemilu selanjutnya ditentukan oleh para hakim MK, yang hasil keputusan finalnya diketuk oleh ketua MK.

Pada pilpres 2014, pemegang palu keputusan final adalah Hamdan Zoelva ketika pasangan Prabowo-Hatta menggugat hasil pilpres. Hasilnya, pasangan capres-cawapres terpilih: Jokowi dan Jusuf Kalla pun disahkan. Pada pilpres 2019, sengketa hasil pilpres di MK kembali terulang. Pasangan Prabowo-Sandi menggugat ke MK. Saat bersamaan, situasi sangat panas mengingat polarisasi antar kedua kubu yang menyengat ruang publik. Ketua MK yang memimpin sidang adalah Anwar Usman. Walhasil, pasangan capres-cawapres terpilih: Jokowi dan Ma’ruf Amin tinggal menunggu waktu akan dilantik.

Baik Hamdan Zoelva maupun Anwar Usman, sama-sama kelahiran Bima-NTB. Di tangan kedua Putra Bima ini, ketokan palu sidangnya ikut menentukan arah republik ini. Bilkhusus soal keabsahan secara legal-konstitusional capres-cawapres terpilih.

Dalam hiruk-pikuk perbincangan menteri saat ini, misalnya Pak Hamdan sebenarnya layak sebagai menteri. Sekitar 2015, Koordinator Presidium KAHMI ini sempat diberitakan akan menjadi Jaksa Agung. Soal integritas, Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam ini berhasil menyelamatkan muka MK dari noktah hitam kasus suap Akil Mochtar. Begitu pula Anwar Usman, berhasil menjaga wibawa MK sebagai lembaga negara yang independen, berwibawa dan berani mengambil keputusan di tengah tungku republik yang membara.

Bila mengandaikan rekrutmen menteri adalah murni bersifat meritokratik, sembari meletakkan perwakilan daerah (NTB) sebagai pertimbangan Jokowi, maka Hamdan Zoelva cocok sebagai Jaksa Agung. Sedangkan Anwar Usman pas sebagai Menteri Hukum dan HAM. Namun rasa-rasanya, pengandaian itu akan terpental oleh hukum besi politik akomodatif, politik identitas, afiliasi warna politik dan relasi antar kelompok kepentingan.

Seorang Putra NTB yang terpotret di pemberitaan media juga adalah Fahri Hamzah “menteri Jokowi” (Samawa), mengutip Tagar.id (20 June 2019), hal itu menyoroti kemungkinan terbentuknya kabinet rekonsiliasi, dalam konsep pemerintahan kohabitasi.

Ibarat jodoh, dengan siapa kita menikah tentu masih ‘misteri’, begitu pula misteri tentang siapa akhirnya yang terpilih sebagai menteri di kabinet kerja jilid II mendatang.

*Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS; Pengamat Politik