Oleh: Hartomo
Opini, Kahaba.- Layakkah para perempuan menjadi pemimpin? Pertanyaan itu mungkin sudah sering menjadi topik pembicaraan para pemberdaya peranan wanita. Isu kesetaraan gender tentunya akan selalu mengkampanyekan penekankan kesetaran gender antara laki-laki dan perempuan di segala bidang.
Seringkali istilah di dalam masyarakat kita memiliki kesamaan pemahaman antara sex dan gerder. Padahal kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna. Sex dalam bahasa inggris berarti jenis kelamin, sedangkan gender merupakan seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara social dalam suatu masyarakat. Seorang laki-laki di gambarkan dengan seorang yang tegas, keras, suka tantangan, sering main mobil-mobilan, sering berantem sedangkan perempuan sering digambarkan seorang yang lembut, lemah, penuh kasih saying, suka main boneka, dan suka perdamaian. Gender tergantung dengan budaya dan sosial setiap daerah karena memiliki cara tersendiri untuk mengartikan gender.
Setiap kali terjadi pemilihan pemimpin di negara ini, mulai dari ketua RT sampai dengan Presiden sering muncul isu gender. Hal ini tentunya menjadi penghalang para perempuan untuk bisa melenggang ke dunia politik. Banyak sekali stereotip yang akan dikeluarkan oleh orang-orang yang menjadi lawan politiknya. Fenomena saat ini yang kerap terjadi adalah munculnya kandidat pemimpin perempuan yang didukung oleh sebagian masyarakat. Hal ini tidak lain karena masyarakat sudah mulai bosan dengan gaya kepemimpinan laki-laki yang hanya mendominasi arogansi dan egoisnya saja. Kita pun tentunya harus sadar suara perempuan adalah suara yang lebih dominan dibandingkan suara laki-laki. Hal ini tentunya membawa angin tersendiri akan peluang terpilihnya perempuan sebagai pemimpin.
Di tengah masyarakat yang mengalami kemajuan demokrasi yang maju, masih sering muncul pernyataan terbuka atau kasak-kusuk yang mengatakan bahwa seharusnya pemimpin itu harus seorang pria. Kalau hal ini terus berlangsung berarti terjadi kemunduran dalam perkembangan politik modern di negara ini. Di alam demokrasi modern keterwakilan perempuan mutlak dilakukan karena sebagai pelaksanaan kesetaraan gender di segala bidang termasuk bidang politik. Sebagai negara yang memiliki hari peringatan khusus terhadap peranan wanita, tanggal 21 April, seyogyanya masyarakat dan negara ini tidak perlu mempertentangkan perbedaan gender tersebut. Kalau memang seorang wanita memiliki kemampuan dan kelayakan menjadi pemimpin seharusnya tidak dihalangi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pemilihan seorang pemimpin, wanita harus diperlakukan sama dengan pria.
Masyarakat mestinya ingat kembali tentang tokoh-tokoh atau para wanita pemimpin yang hebat di negara ini maupun di tingkat dunia. Pada tingkat dunia kita mencatat banyak wanita pemimpin yang hebat, Indira Gandhi, Benazir Bhutto, Golda Meir, Margaret Thatcher, Aung San Suu Kyi dan tentu masih banyak lagi. Sejarah negara ini sudah mencatat kehebatan RA Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Megawati Soekarno Putri dan tentu saja para wanita hebat yang sekarang ini masih aktif sebagai kepala daerah antara lain Ratu Atut Chosiah sebagai gubernur Banten, Rustriningsih sebagai wakil gubernur Jawa tengah, Tri Risma Harini sebagai walikota Surabaya, Airin Rachmi sebagai walikota Tanerang Selatan, Rina Iriani sebagai bupati Karanganyar, Sri suryawidati sebagai bupati Bantul, Ni Putu Eka Wiryastuti sebagai bupati Tabanan, Juliarti sebagai bupati Sambas, Cristian Eugian Paruntu sebagai bupati Minahasa Selatan, Idza Prianti sebagai bupati Brebes, dan Rita Widyasari sebagai walikota Kutai Kartanegara.(Wikipedia.org)
Pada tanggal 27 Maret 2013 KPUD kota Bima telah menetapkan tujuh pasang calon Walikota Bima. Ada sesuatu hal yang menarik dan membanggakan dari ketujuh calon Walikota bima ada dua kadidat Walikota Bima perempuan yaitu Hj. Rr. Soesi Wiedhiartini dan Hj. Ferra Amelia. Dari kedua figure yang ada tentunya memiliki kemampuan memimpin yang tidak diragukan lagi. Jikalau nanti para perempuan ini yang terpilih sebagai walikota Bima tentunya akan menambah panjang daftar sejarah kepala daerah perempuan di Indonesia bahkan di dunia. Kita sebagai masyarakat tentunya tidak boleh ragu jika mereka sebagai pemimpin kita. Kita tentunya perlu memberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan kepemimpinan sebagai walikota Bima lima tahun mendatang.
Masyarakat Bima yang mempunyai karakteristik social yang keras sangat terlihat dalam kehidupan social budayanya. Mereka masih cenderung akan mengedepankan emosi dan kekuatan fisik dalam menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat. Hal ini tentunya sebagai pertanda yang buruk terhadap proses integrasi social. Masyarakat yang tengah konflik mememerlukan suatu penanganan yang cepat dan tepat tanpa mengedepankan emosi dan kekuatan otot semata.
Sejatinya masyarakat yang cenderung memiliki karakter yang keras maka diperlukan adanya suatu penanganan yang lembut dan penuh kasih sayang. Tidak perlu diragukan lagi, dalam kenyataannya wanita biasanya memiliki sifat lebih lembut, naluri seorang ibu, sehingga dalam memimpin tidak hanya menggunakan rasio saja tapi juga melibatkan perasaannya. Secara naluriah wanita lebih penyabar dibandingkan pria. Wanita lebih cermat dan hati-hati. Dengan kelembutannya pasti akan menjadi nilai tambah dalam kemampuan memimpinnya yang pasti akan mudah diterima oleh masyarakat yang dipimpinnya. Oleh karena itu diperlukanlah sesosok pemimpin perempuan untuk meredam kerasnya emosi masyarakatnya.
Dari sini penulis mengajak para pemilih untuk mencoba memberikan pemahaman bahwa antara laki – laki dan perempuan adalah manusia yang sederajat. Hal ini tentunya akan berimbas terhadap pemberian kesempatan yang sama pula terhadap perempuan untuk memimpin kota Bima. Jangan sampai ada pengkotak-kotakan dalam memberikan pendidikan politik dalam situasi perbedaan gender. Masyarakat kita tentunya akan sangat merindukan sosok pemimpin yang cepat, tanggap, tepat, tegas namun tetap lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Semoga Pemilukada kota Bima dapat dilaksanakan dengan penuh ketentraman, kedamaian, dan penuh kasih sayang. Selain itu pemilukada Kota Bima dapat membantu mengkampanyekan kesetaraan gender di provinsi NTB pada umumnya dan kota bima sendiri secara khususnya.
Salam kesetaraan gender.
*Penulis adalah Guru Mata Pelajaran Sosiologi di SMAN 1 Woha