Kabupaten Bima, Kahaba.- Kepala Desa (Kades) Wadukopa Kecamatan Soromandi, Buyono, S.Pd, menanggapi bahwa kejadian pembakaran terhadap H. Pasa (Ama La Jo) adalah tindakan spontan warga. Dirinya tak mengira lebih awal akan terjadi aksi ‘main hakim sendiri’ atas isu santet yang mengakibatkan warganya, Nurita meninggal dunia. “Tidak pernah terpikir oleh Saya akan adanya kejadian pembakaran seperti ini, apalagi ini dalam bulan puasa,”ujarnya kepada Kahaba, di kediamannya, Minggu (4 Agustus 2013),.
Nurita atau akrab dipanggil Rita sudah tujuh bulan di tinggal suaminya (Nawa) yang mencari nafkah di Kalimantan. “Dia (Rita) saat ini tinggal bersama orang tua dan seorang anaknya,” kata Buyono.
Kades yang baru menjabat sekitar enam bulan itu menerangkan saat Nurita jatuh sakit sejak Jum’at (26/8/2013) lalu, banyak warga yang mendatangi kediamannya. “Bukan saja warga Desa Wadukopa, tapi sanak-saudara dan masyarakat desa tetangga silih berganti mendatangi rumah Rita.”
Konon, dari desas-desus warga yang dikutip Buyono bahwa sakit yang di derita Rita di duga karena ‘santet’. “Dari keterang warga, rambut Rita yang awalnya panjang dan lurus, tiba-tiba terkepang dan kusut dan tidak bisa dilerai, yang dalam pengalaman spiritual warga, keadaan rambut seperti ini, jika seseorang jatuh sakit itu biasanya karena pengaruh santet,” katanya.
Ia melanjutkan, saat jatuh sakit, ada pengakuan Rita yang direkam sanak keluarganya bahwa dirinya terkena santet. Rekaman itu menggambarkan bahwa ada ‘roh gaib’ yang memasuki tubuh Rita dan mengaku dari Ama La Jo (H. Pasa) dan Istrinya.
“Dan tentu dengan adanya rekaman itu, bukan menjadi alasan untuk dibenarkannya tindakan main hakim sendiri apalagi hingga menghilangkan nyawa orang lain. Ini benar-benar reaksi spontan warga,” kata Kades.
Ia melanjutkan, Rita akhirnya meninggal dunia tepat di Jum’at pagi (2/8/2013) sekitar pukul 08.00 Wita. Ia menduga kematian Rita dapat diterima semua pihak karena memang ini adalah takdir Allah SWT.
Tiba-tiba, ungkap Kades, saat menggali kuburan untuk pemakaman Rita bersama sebahagian warga, dirinya merasa kaget dan tidak percaya dengan informasi yang disampaikan warga bahwa telah terjadi pengrusakan rumah H. Pasa dan massa menghakimi dan membakar H. Pasa di tengah-tengah lapangan. Kejadian itu terjadi sekitar pukul 10.00 Wita,” imbuhnya.
“Semua kami di sini masih dalam satu rumpun Orang Donggo. Walau Desa Wadukopa masuk di dalam Kecamatan Soromandi (Pemekaran Kecamatan Donggo), kami masih saling berhubungan darah. Dan jika ada masalah selalu mengedepankan pendekatan adat secara musyawarah dan mufakat. Ini kejadian yang pertama di Donggo dan diluar perkiraan kami para pamong desa ini. Semoga kejadian ini yang pertama dan yang terakhir,” harapnya.
Seorang warga, yang enggan disebutkan namanya dan terlibat saat wawancara Kahaba bersama Kades Wadukopa mengungkapkan bahwa kecurigaan maupun dugaan warga Desa Wadukopa atas perbuatan santet H. Pasa dan Istrinya bukan lagi menjadi rahasia umum. Di tahun 2001, warga Wadukopa pernah menghakimi Istri H.Pasa (La Amu) yang diduga kuat melakukan ‘santet’ terhadap seorang warga hingga yang berujung pada meninggalnya korban,” terangnya.
“Kejadian yang menimpa keluarga H. Pasa ini adalah yang kedua kalinya. Kalau dulu yang menjadi bulan-bulanan warga adalah Istrinya. Dan kemarin Jum’at adalah suaminya (H. Pasa),” ujarnya.
Menurutnya pula, dari kejadian itu, dirinya dan warga Wadukopa mengingkan agar Istri H. Pasa yang masih diamankan pihak Polisi jangan lagi bermukim di Desa Wadukopa, agar tidak terjadi kembali hal-hal yang tidak diinginkan. “Jika Istrinya masih ada, tentu akan berdampak pada keresahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Saat ini, kehidupan kami akan lebih tenang jika Istri H. Pasa dan Keluarganya tidak lagi berada di Desa Wadukopa,” harapnya. [BM]