Kabupaten Bima, Kahaba.- Kucuran anggaran untuk Festival Keraton Nasional (FKN) yang rencananya dihelat tanggal 6 – 9 September mendatang, mulai berkurang. Yang semula diusulkan belasan miliar, oleh DPRD Kabupaten Bima menyetujuinya sebanyak Rp 5 miliar.
Namun, oleh Pemerintah Kabupaten Bima hanya bisa menggelontorkan dana kurang dari Rp 2 miliar.
Kendati demikian, Ketua Majelis Adat Bima, Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin mengaku tetap melaksanakan kegiatan Nasional tersebut, karena menyangkut nama baik daerah ditingkat Nasional bahkan Internasional. “Jika memang anggarannya tidak ada, saya akan menjual tanah saya. Yang penting kegiatan FKN harus terlaksana,” ujarnya.
Saat menggelar konfrensi pers di kediamannya Museum Samparaja Lingkungan Karara Kelurahan Monggonao Kota Bima, perempuan yang biasa disapa Ina Ka’u Mari itu mengaku dirinya mengetahui pengurangan anggaran dari persetujuan Dewan, setelah diberitahu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bima.
Mendengar anggaran kurang dari Rp 2 miliar itu, ia mengaku untuk kegiatan FKN, dirasa tidak cukup. Karena kegiatan yang mendatangkan sebanyak 48 Kesultananan, butuh biaya yang cukup. “Kami menghitung, anggarannya bisa cukup jika diatas Rp 3 miliar,” sebutnya.
Ia menjelaskan, penggunaan anggaran untuk FKN tidak sedikit. Karena biaya akomodasi Sultan dan Istrinya selama berada di Bima, ditanggung oleh penyelenggara. Demikian pula untuk rombongan dari 48 Kesultanan tersebut. Karena hotel dan penginapan tidak mencukupi, nanti rencananya akan disebar ke pemukiman warga.
“Rombongan yang menginap di rumah warga, juga menjadi tanggungan panitia. Jumlah rombongan yang akan hadir, satu Kesultanan bisa mencapai ratusan orang. Belum lagi bicara tekhnis acara dan segala kebutuhannya,” katanya.
Perempuan yang tahun ini memasuki usia 83 tahun itu menegaskan, menyelenggarakan FKN tiap dua tahun sekali itu bukan semata-mata mencari untung. Tapi memperkenalkan kepada dunia tentang budaya daerah Bima.
“Kita ini besar dari Budaya. Bima sendiri memiliki sejarah budaya yang kuat. Kita akan memperkenalkan budaya ini, sebagai bentuk kebanggaan kita terhadap daerah dan bangsa lain,” tegasnya.
Ina Ka’u Mari mengakui, sejak dimulainya FKN pertama di Solo Tahun 1995, kemudian Tahun 1997 di Cirebon, Bima pernah diminta untuk menjadi tuan rumah di Tahun 1999. Karena tidak memiliki kesiapan, akhirnya dialihkan ke Kutai. Kemudian di Jogja, Palembang, Solo, Makassar dan terakhir dilaksanakan di Baubau Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara pada Tahun 2012.
Setelah dari Buton, lanjutnya, FSKN meminta kesediaan Bima untuk menjadi tuan rumah. “Semua Keraton meminta Tahun 2014 diadakan di Bima, dan kami diminta untuk tidak menolaknya. Hampir semua Sultan penasaran dengan budaya Bima yang dikenal utuh dengan peninggalan sejarah,” jelasnya.
Karena sudah dipercaya, pihaknya tidak ingin menunda dan menolak perhelatan akbar yang memiliki nilai sejarah tersebut. Kendati anggaran minim, pihaknya tetap akan melaksanakannya dengan segala keterbatasan.
Ia menambahkan, untuk undangan yang hadir, selain 48 Kesultanan, juga akan diundang Kesultanan Negara Tetangga. “Saat pembukaannya nanti, juga akan dihadiri sejumlah Menteri dan Gubernur Provinsi NTB,” tambahnya.
Ditanya apakah ada perhatian dari Pemerintah Kota Bima dan Provinsi NTB, Maryam mengaku belum membicarakannya. “Saya belum menyampaikan tentang hal ini. Semoag saja ada sinyal baik,” harapnya.
*BIN