Oleh: Umar Ali MS *
Opini, Kahaba.- Pada 2003, 2006, 2008, 2011, 2012, dan 2013 banjir melanda Kabupaten dan Kota Bima. Entah berapa juta meter kubik air tumpahan tiap banjir itu, menerjang menyiram pemukiman warga. Catatan korban jiwa yang saya dapat lima orang, tiga orang pada banjir tahun 2008, sedang dua orang sisanya menjadi korban banjir tahun 2012, dan tidak terhitung kerugian material yang ditimbulkan.
Kota Bima menjadi wilayah luapan banjir paling luas di Bima, banjir 2012 lalu 13 kelurahan dari 15 kelurahan yang ada digenangi air rata2 setinggi 40-60 cm. Kabupaten Bima juga tidak sedikit mengalami kerusakan infrastruktur seperti jembatan putus dan jebolnya tanggul Desa Ngali dan Desa Monta, belum lagi hanyutnya sejumlah rumah warga dan kerusakan lahan pertanian lainnya. Ratusan hektar sawah dan ratusan ton bawang petani hanyut.
Kita semua pasti prihatin melihat derita kehidupan warga, keindahan daerah dan persawahan kita luluh lantak oleh luapan air banjir. Dan mengharapkan agar kondisi seperti itu tidak kembali terulang dan kehidupan masyarakatnya kembali normal, tidak lagi trauma terancam banjir tahunan.
Untuk menanggulangi keadaan banjir, keterlibatan sejumlah elemen menjadi suatu upaya yang layak dikoordinasikan khususnya Dinas Sosial, PU dan Bandan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama-sama elemen masyarakat lain untuk bersama –sama mengambil solusi dengan melihat persoalan dari hulu ke hilir yang meliputi kondisi wilayah.
Kita tahu, ada sebuah program studi tentang Ilmu Lingkungan atau Ekologi. Dalam ekologi ada yang namanya ekosistem, yaitu sistem ( alamiah ) yang mengatur tata hubungan antara seluruh isi bumi ( makro sistem)maupun isi lingkungan tertentu ( mikro sistem ), baik makhluk hidup maupun benda mati.
Misalnya, air selalu mengalir ketempat yang lebih rendah. Manusia adalah makhluk di dalam ekosistem yang paling aktif dan progresif mengintervensi sistem yang ada untuk kepentingan sendiri. Manusia membangun rumah, membuat bendungan , mengembangkan perkotaan/hunian dan persawahan, serta mengeruk isi bumi sebagai pertambangan, yang semuanya mau tidak mau harus mengubah ekosistem walaupun tidak selalu merusak lingkungan.
Sori Na’e, seperti, Sori Melayu, Sori Lanco, Sori Padolo ,Sori Nangarade, dan Sori kecil, seperti, Sori Rabamboda, Sori Rontu dan Sori kecil lainnya yang melintas di kota Bima misalnya, pada hakekatnya adalah bisa saja kali yang dibuat Pemerintahan atau Belanda waktu itu untuk mengairi sawah-sawah yang terhampar di sekitarnya, yang kini sudah semakin menyempit dan tak terurus.
Intervensi ekosistem oleh pemerintah atau Belanda waktu itu tidak mengganggu ekosistem secara keseluruhan karena ada pintu air dan kali-kali kecil lain di sekitar yang tidak diganggu, hutan dan tanaman sekitar tetap menjamin resapan air dengan baik.
Tetapi pada tahun 2003, ketika banjir besar mulai menerjang Kabupaten dan Kota Bima, tidak ada seorang pun (termasuk pemerintah) daerah yang berpikir tentang ekosistem daerah khususnya di lingkungan rawan banjir. Pintu air irigasi persawahan tertutup menjadi jalan setapak, kali-kali kecil lingkungan hunian menjadi halaman rumah atau tempat buang sampah.
Celakanya, pemerintah dan elemen masyarakat belum terlihat sungguh-sungguh merenovasi kali-kali tersebut, seperti orang tidak ada kepedulian terhadap lingkungannya. Sarana dan prasarana tidak terpelihara, masyarakat menimbun kali dengan sampah dan pemerintah localpun lepas tangan. Ujung-ujungnya, “AINA KANCARA MU COU-COU, MBERE NA’E PASTI NA MAI MBALI”.
Pada tanggal 11 Januari 2013 banjir kembali melanda Kota Bima, hujan deras dan angin kencang mengakibatkan luapan air dari di sungai-sungai kecil menggenangi beberapa sekolah dan rumah warga. Kelurahan Ranggo, Santi, Salama dll digenangi air setinggi 50-75 cm, Dan dampak pendidikan dan ekonomi pun terganggu.
Semua menyadari, setiap banjir datang pihak-pihak banyak mengambil peran baik pemerintah, LSM dan lainnya berpacu menjadi pahlawan terhadap korban banjir mengerahkan semua potensi yang ada. Tapi bukan itu saja, kita harus sadar bahwa banjir ini adalah akibat salah sistem. Bupati, Walikota bersama Gubrnur harus berkoordinasi bila perlu dengan Presiden untuk mencari upaya penanggulangan banjir secara sistemik.
Jadi, walaupun ada Bupati, Walikota dan Gubernur, banjir di Bima bisa terulang kembali, selama manusia-manusia yang menjadi bagian ekosistem tidak peduli pada ekosistem atau tetap berbuat melawan hukum alam yang mengatur ekosistem seperti sampah dibuang sembarang tempat, membangun rumah di bantaran kali dan lain lain.
Tidak ada kemenangan manusia melawan alam, ujung-ujungnya manusia pasti kalah. Disitulah manusia siapa pun dia, harus sadar ekosistem. Bahwa dia tidak sendirian hidup di semesta ini, melainkan hidup bersama seluruh ini alam dan menjadi bagian dari suatu ekosistem tertentu.