Oleh: Muhammad Fauzi Ahmad*
Opini, Kahaba.- Sekilas membaca penghasilan (salary) anggota DPRD Kabupaten Bima membuat kita kagum bercampur haru. Sebenarnya tidak ada yang aneh dari data yang ditampilkan tersebut, karena itu merupakan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) di daerah yang sudah disusun dan setujui pada tahun sebelumnya oleh Pemerintah Daerah dan lembaga legislatif.
Bagaimana kita merasa kagum, dikala APBD kabupaten Bima diperkirakan sekitar 800-900 Miliar (karena tidak ada publikasi) bisa menggaji Anggota DPRD dengan bayaran begitu fantastis sekitar 22 Juta-24,5 Juta per-bulan. Bandingkan saja dengan Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Malang maupun kota-kota lain di Indonesia, Surabaya dengan APBD tahun 2013 sekitar 5,69 Triliun hanya bisa menggaji Anggota DPRDnya dengan take home pay sekitar 21 juta per-bulan. Begitu juga dengan kabupaten Malang, dengan APBD tahun 2013 sekitar 2,3 Triliun, pemerintahnya menggaji anggota DPRD hanya 21-22 Juta per-bulan.
Sebenarnya tidak menjadi masalah dengan gaji anggota legislatif tersebut, apabila memiliki komitmen, keberpihakan kepada kepentingan rakyat dan memiliki ide serta prestasi. Banyak anggota legislatif kita yang belum tuntas dengan urusan keluarga, partai dan finanansialnya, yang akhirnya tidak sempat memikirkan kepentingan yang lebih besar.
Dengan penghasilan dan tunjangan yang begitu fantastis itu, sebenarnya bisa memiliki waktu untuk tampil mendampingi apa-apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Kita belum pernah mendengar prestasi apa yang dihasilkan oleh anggota legislatif itu, yang sering kita dengar hanya kisruh internal mereka untuk memperebutkan posisi dan jabatan, memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi dan golongan serta keluarga, minim prestasi dan inovasi dan sering bolos ketika membahas kepentingan rakyat. Sebenarnya anggota legislatif itu mewakili siapa?, sementara salary dan tunjangan yang mereka terima hasil dari jerih payah keringat rakyat yang ada di sawah-sawah, pasar-pasar, laut , pantai dan di jalan-jalan. Mereka tidak memikirkan, bahwa anggota legislatif itu jabatan yang terhormat, mewakili rakyat untuk memperjuangkan nasib dan hajat hidupnya. Disisi lain, perilaku anggota legislatif kita sangat bertentangan dengan jugas pokok dan fungsinya. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi pemandangan sehari-hari, apakah itu berbentuk komitmen fee hasil persetujuan anggaran maupun berkolusi dengan birokrasi untuk meloloskan kebijakan yang nyata-nyata tidak aspiratif.
Menurut saya, penghasilan besar itu kita bisa memakluminya dengan jabatan yang begitu strategis disertai tanggungjawab yang berat pula seperti anggota DPRD itu. Akan tetapi yang menjadi persoalan, ketika berpenghasilan besar, kinerja tidak bisa dibanggakan, berperilaku kontra produktif dan ini menyakiti dan membuat hati sanubari kita merasa terguncang. Dimana letak tanggungjawab moral yang telah diikrarkan, dikampanyekan bahkan menjadi sumpah dan janji diwaktu dilantik menjadi anggota DPRD itu. Bayangkan, ketika rakyat berteriak untuk mendapatkan pupuk, obat-obatan, dan kebutuhan pertanian lainnya, anggota DPRD kita yang terhormat itu diam dan tidak berbuat apa-apa.
Ditengah kolusi-korupsi dan nepotisme yang dipertontonkan secara live show di tanah tumpah darah kita Bima itu, anggota DPRD yang tugasnya sebagai pengawas jalannya pemerintahan tidak berkutik sama sekali. Timbul pertanyaan di benak kita, apakah mereka juga bagian dari permasalahan ini sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ruang dan waktu yang bisa menilai kinerja mereka, dan Mahkamah Ilahi yang menjadi tempat peradilan yang seadil-adilnya atas tanggungjawab moral yang dibebankan kepada mereka, dan kita semua.