Opini

Pohon Pengantin: Bima Dalam Mengarifi Global Warming

494
×

Pohon Pengantin: Bima Dalam Mengarifi Global Warming

Sebarkan artikel ini

Oleh: Parange Anaranggana*

Pohon Pengantin: Bima Dalam Mengarifi Global Warming - Kabar Harian Bima
Parange Anaranggana

Isu Global Warming (Pemanasan Global) telah menjadi grand isue yang menyedot perhatian negara-negara sedunia. Di mana bumi akan mengalami pemanasan yang dapat mengacau-balaukan keseimbangan alam yang akan berimbas pada hidup dan kehidupan manusia bila tidak mengarifinya dengan menjaga keseimbangan ekosistem jagat raya.

Berbagai macam program dan konsep telah dikembangkan oleh setiap negara di dunia untuk melindungi negaranya dari ancaman ini. Misalnya saja, Indonesia mencanangkan penanaman sejuta pohon sebagai gerakan regreen serta menangani secara serius illegal loging.

Selain itu pemerintah telah menetapkan setiap tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Nasional sejak tujuh tahun yang lalu. Hal tersebut didukung pula oleh ditetapkannya tanggal 21 November sebagai hari pohon sedunia.

Bima dan Semangat Menanam

Jauh sebelum isu global warming mengemuka, dalam konteks lokalitas Bima telah tercanangkan program yang memiliki tujuan untuk mengembalikan semangat menanam dalam menjaga kualitas kawasan atau hutan yang selama ini kritis, gundul, dan degradasi karena ulah manusia yang masih mempraktekkan budaya membabat hutan tanpa disertai dengan peremajaan hutan. Gerakan tersebut berupa penanaman pohon bagi pengantin baru.

Pada awal-awal kepemimpinannya (medio 2005), Bupati Bima (Alm) H. Ferry Zulkarnain, ST., pernah mencetus gerakan menanam pohon bagi pengantin baru sebagai bentuk tanggungjawab manusia (pengantin) dalam mempertahankan keseimbangan alamnya. Sayangnya, gerakan briliant ini tidak bertahan lama dan tidak ada khabarnya hingga saat ini, padahal nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat mulia karena orientasinya pada gerakan penghijauan yang berkesinambungan.

Beberapa alasan untuk mengatakan gerakan ini belum menunjukkan “bentuk” adalah, pertama, prosesnya tidak sistematis. Kedua, mekanisme kontrolnya tidak ada. Ketiga, lokasi tanamnya tidak tersentral. Keempat, sebatas dalam maknanya sebagai tuntutan, bukan tuntunan.

Gerakan ini sesungguhnya belum gagal, hanya saja ada beberapa sisi yang segera harus dibenahi, di antaranya adalah: Pertama, penguatan mind set (pola pikir) masyarakat akan pentingnya gerakan ini. Penanaman pohon bagi pengantin baru selama ini cenderung dinilai sebagai beban baru. Di mana Akta Nikah belum dapat mereka terima sebelum mereka menanam pohon. Pola pikir semacam ini harus dirubah, sebab penanam pohon murni sebagai bukti kecintaan terhadap lingkungan dan buah tangan untuk diceritakan kepada keturunan kelak. Disamping itu sebagai amal jariyah yang tidak putus-putus pahalanya (menyadari bahwa menanam adalah investasi pahala jangka panjang).

Kedua, selama ini budaya menanam kerap dilakukan oleh masyarakat Bima. Misalnya menanam di pinggir jalan (Green Road) oleh berbagai elemen masyarakat, tetapi gaungnya hanya menggema seumur jagung. Yang tersisa hanya papan nama identitas badan atau instansi-instansi penanam yang tengah dilahap rayap, sementara pohon yang ditanam menjadi batang-batang tak bermakna. Kegagalan ini karena kesalahan kecil saja, di mana kegiatan menanam tidak diikuti oleh kegiatan merawat secara sungguh-sungguh. Jadi di sini antara menanam dengan merawat harus disinergikan. Merawat berarti bukan saja dilakukan oleh pihak yang menanamnya, tetapi setiap orang harus ambil bagian sesuai kapasitas masing-masing individu. Sebagai contoh, kegiatan menanam dan merawat ini telah menobatkan Kota Malang Jawa Timur sebagai penerima Penghargaan Adipura melalui Program Malang Ijo Royo Royo, yaitu gerakan mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Sejuta Bunga.

Ketiga, sebagaimana telah dinyanyikan oleh salah satu Band Legendaris Indonesia Koes Plus bahwa tanah Indonesia adalah tanah yang subur “tongkat bisa jadi tanaman”. Keadaan ini kurang sekali ditanggapi sebagai sebuah peluang dalam upaya memasyarakatkan budaya menanam. Sehingga tidak heran pekarangan dan lingkungan sering tidak dimanfaatkan secara baik. Seharusnya dengan ketersediaan lahan yang cukup akan menghadirkan kemauan besar untuk terciptanya budaya menanam. Sangatlah malu bila dibandingkan dengan Jepang yang masyarakatnya mengembangkan agroponik karena kekurangan lahan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kemauan menanam masyarakat kita masih kurang.

Keempat, himbauan menanam pohon bagi pengantin baru selama ini belum ditindaklanjuti dengan regulasi yang matang dan jelas melalui PERDA. Oleh karena itu perlu kiranya segala bentuk program atau gerakan dibuatkan dasar hukum yang kuat (PERDA). Karena di samping kelak akan memberikan teknis-teknis serta sanksi-sanksi hukum juga menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam mencetus suatu program yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Karena ide penanaman pohon bagi pengantin baru merupakan konsep yang murni produk putra Bima dan belum terjangkau oleh daerah-daerah lain. Di sini kedudukan Bima adalah pioner dan harus memposisikan diri sebagai pilot project yang ditandai dengan tindakan nyata yang progresif.

Sakralisasi Hutan Rakyat

Terlepas dari beberapa point yang harus dibenahi dalam program penanaman pohon bagi pengantin baru di atas, penulis merekomendasikan satu konsep sederhana sebagai acuan dalam menyukseskan apa yang telah dicanangkan oleh mantan Bupati Bima H. Ferry Zulkarnain. Rekomendasi yang penulis ketengahkan adalah pemerintah daerah harus menyediakan sebuah lahan khusus untuk mendukung programnya. Lahan ini kemudian akan diperuntukkan bagi setiap pengantin baru dalam merealisasikan kegiatan menanam dan merawat tanamannya, karena tidak semua pengantin baru memiliki lahan sendiri.

Di samping itu dampaknya adalah terciptanya kebersamaan dan kompetisi di antara para pengantin dalam menjaga dan melestarikan bentuk dedikasinya terhadap lingkungannya. Selanjutnya lahan ini kelak akan menjadi hutan kota/kabupeten sebagai lahan hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota/kabupaten. Kelak hutan kota/kabupaten ini menjadi omset daerah yang tak ternilai harganya sebagai warisan yang sangat berarti bagi generasi yang akan datang.

Penyediaan lahan yang dimaksud bisa di setiap kecamatan. Sehingga dapat dengan mudah terkontrol dan ditinjau. Betapa indahnya kabupaten/kota bila di setiap kecamatannya ada hutan rakyat atau hutan kota sebagai daerah resapan dan sekaligus sebagai paru-paru kota. Bukankan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH)? Kenapa tidak meresponnya secara positif? Selain itu, pemerintah juga dapat mengembangkan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Rakyat Pola Kemitraan. Setelah semuanya telah terbentuk dan dikembangkan, selanjutnya adalah mendisain hutan-hutan ini menjadi sakral. Melalui penanaman bersama, pemanenan bersama, dan manajemen pengeloaan yang baik. Ada keinginan untuk menegaskannya dalam sebuah regulasi yang jelas dan peraturan adat yang mengikat.

Spirit Cinta Lingkungan dalam Balutan Identitas

Sebenarnya, konsep dan wacana cinta lingkungan merupakan konsep yang sudah lama hidup dalam diri masyarakat Bima. Hal ini ditandai dengan tersebarnya nama daerah yang menggunakan nama pohon atau tumbuh-tumbuhan sebagai identitas, di antaranya adalah Sambi Na`e, Dori Dungga, Kolo, Mangge, Wila Maci, Kore, Haju Na`e, Ntana, Tolo Uwi, Tolomundu, Mangge Lewa, dan O`o. Pilihan-pilihan nama ini walaupun masih diperlukan penelitian lebih lanjut sesungguhnya menunjukkan bahwa dalam diri manusia Bima (Mbojo) terpatri rasa cinta lingkungan, sekaligus menegaskan bahwa alam ibarat “saudara” bagi hidup dan kehidupan masyarakat Bima terutama dalam menjaga keseimbangan kosmos.

Di sisi lain, tercetusnya semboyan ngaha aina ngoho sesungguhnya memberikan batasan-batasan bahwa diperbolekan pemafaatan hutan tetapi tidak dianjurkan membabat hutan. Semboyan tersebut menjadi seperangkat nilai yang memiliki makna bahwa lelaku dalam berladang dan berhuma harus mempertimbangkan keberlanjutan hutan untuk generasi yang akan datang karena hutan adalah milik dan untuk kemaslahatan umat. Jika para luluhur telah mengakrabi alam dengan begitu santunnya, pantaskah kita sebagai generasi yang mengakui hidup di era dan peradaban yang lebih maju mempertontonkan tindakan-tindakan pengrusakan hutan?

Simpulan

Pemimpin kita telah meninggalkan pesan dan motivasi buat masyarakat Bima. Sudah sepantasnya masyarakat bersama-sama dan bahu-membahu menyatukan visi dan jiwa untuk menanam dan merawat pohon dalam menghadapi pemanasan global. Kampanye penyadaran kepada generasi untuk memiliki budaya cinta lingkungan perlu digalakkan oleh berbagai pihak sesuai dengan proporsi masing-masing. Siapapun harus memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun sumbangsih diri terhadap lingkungan, itu adalah wujud dari prestasi diri sebagai warisan yang tak ternilai harganya. Mewujudkan kota dan kabupaten Bima sebagai daerah hijau merupakan tanggung jawab bersama, karena nggari ra moro tada na wara mori.

Mataram, 28 November 2014

*Penulis Merupakan Eksponen Kalikuma dan Alamtara Institute Mataram