Kota Bima, Kahaba.- Rencana Pemerintah Kota Bima dan Provinsi NTB untuk menggelar deklarasi anti terorisme Tanggal 19 Juli 2016 mendatang mendapat kritikan dari Akademisi STKIP Taman Siswa Bima, Asrul Raman. (Baca. Menkopolhukam Bakal Hadir di Kota Bima, Deklarasi Anti Terorisme)
Menurut Kandidat Magister Sospol Universitas Indonesia ini, deklarasi seperti itu sudah sering digelar. Namun tidak mempengaruhi menurunnya tindakan radikalisasi. Kendati tidak sia-sia, namun kegiatan itu dinilai hanya simbolitas semata, bahwa Pemerintah menunjukan kekuatannya untuk menangkal paham radikalisme.
Belum hilang ingatan publik ketika Presiden Joko Widodo hadir meresmikan Pasar Amahami beberapa waktu lalu di Kota Bima. Tidak sampai seminggu setelah persemian, Pasar Amahami kembali kumuh seperti semula.
“Mungkin akan begitupun nasib deklarasi ini nantinya. Deklarasi ini miliknya penguasa dan pejabat yang ingin menunjukan kinerjanya. Masalah faham radikalisme dan terorisme di Bima itu akibat minimnya pengawasan dan perhatian dari pemerintah,” kritik Asrul.
Menurutnya, persoalan saat ini adalah pemerintah tidak membuka akses kebuntuan sosial yang menimpa sekelompok orang yang hidup eksklusif. Padahal, mereka membutuhkan perhatian dari Pemerintah.
Kondisi yang terpotret lanjutnya, sekelompok warga yang hidup eksklusif itu rata-rata tidak mampu secara ekonomi. Sebagian dari mereka adalah para tukang batu, petani, tukang kayu maupun pedagang roti, yang karena kemiskinan dan taraf pendidikan rendah sehingga menerima langsung doktrinasi faham tertentu.
“Deklarasi ini tidak perlu ada, bila Pemerintah mampu membuka kehidupan yang inklusif antar warganya. Dengan catatan, para pejabat Pemerintah dan penguasa juga harus membuka ruang kehidupan ekslusifnya selama ini,” tutur Akademisi yang juga Ketua PC Lakpesdam NU Bima ini.
*Ady