Oleh: Mawardin*
Mengutip Liga-Indonesia.co.id, Persebi (persatuan sepak bola Bima) adalah klub sepak bola Indonesia di Bima-NTB yang bermain di Divisi Pertama Liga Indonesia. Tapi popularitas persebi tidak sementereng klub sepak bola ikonik lainnya. Sebut saja PSM Makassar, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, Persiba Bandung, dan sebagainya yang telah malang melintang dalam arena persepakbolaan nasional.
Ada Persebi, ada pula Persekobi (persatuan sepak bola Kota Bima). Tapi lagi-lagi, baru merajai lingkup regional. Tanah Bima memang masih “tandus” untuk mengharapkan lahirnya pesepak bola nasional, tapi di sisi lain, tanah Bima pun “subur” dengan memanen atlet andalan di cabang olahraga lain, diantaranya kompetisi tinju, lari dan panjat tebing.
Di ring tinju, ada Yani Malhendo, yang pernah meraih Juara WBC International Super Flyweight (1998). Juga Roy yang beradu duel internasional sekitar 2015. Dari atlet pelari, ada Andrian yang kesohor di ajang Thailand Open 2019. Pada tanggal 11-13 Juli 2019, atlet panjat tebing Nurul Iqamah berhasil menembus Speed World Record IFSC Climbing World Cup Chamonix, event panjat tebing Internasional di Prancis.
Tapi kembali mengusik tanya, mengapa dunia bola yang bundar itu belum maksimal diberdayakan di Bima? Apa karena “budaya tim” mengalami krisis atau politik pengelolaan klub sepak bola yang kurang nendang? Saya ingin menendang bola-bola kegalauan disini, semacam semedi kebudayaan. Siapa tahu terpantul secercah cahaya untuk menerangi lorong gelap sepak bola Bima, sembari memahat pesan politik menyambut pertandingan Pilkada Bima 2020.
Saya masih ingat ketika masa SD, beberapa kali ikut nonton pertandingan sepak bola antar klub se Kabupaten Bima, tapi selalu saja berujung kericuhan hingga meluas jadi pertikaian antar desa. Masa SMP dan SMA pun demikian. Saya pernah menyaksikan lapangan stadion Manggemaci berlumuran darah akibat perkelahian antar Persebi (supporter) dengan klub sepak bola pendatang.
Bisakah kita mengatakan bahwa mentalitas tim, apresiasi atas kemajemukan sosio-kultural, jiwa sportifitas dan ketaatan terhadap aturan main yang berlaku belum menjadi arus utama? Hanya Dou Mbojo yang tahu. Ironisnya, sepak bola sebagai olahraga yang digemari semua lapisan masyarakat malah jadi katalisator konflik antar desa di Bima, alih-alih sebagai alat pemersatu. Inilah anomali bola Bima itu.
Ketika saya kuliah di Unhas Makassar, barulah kemudian saya menemukan ekspresi cinta yang meluap-luap, rasa kebersamaan, kekuatan identitas budaya dan harga diri bercampur menjadi satu dalam memberikan dukungan kepada klub sepak bola “ayam jantan” PSM Makassar. Menengok kembali Bima, sebenarnya bibit-bibit bintang lapangan tak sedikit, tapi politik bola belum bisa mempertarungkan ide besar bagaimana mencetak pesepak bola menasional. Apakah ini terkait dengan soal fasilitas hingga manajemen kepengurusan? Hanya Dou Mbojo yang tahu.
Corak maskulinitas, tradisi kasama weki (kebersamaan) dan karakter Bima sejatinya bisa menjadi tanah gembur untuk menyuburkan pesepak bola hebat. Namun kawah candradimuka untuk melatih belum dikanalisasi secara maksimal pengorganisasiannya. Untuk mengorbitkan klub Bima di pentas liga berskala nasional memang tidak gampang. Apalagi secara sumber daya ekonomi, sangat minus. Sementara pengangguran dan kemiskinan adalah prioritas utama untuk diselesaikan oleh pemerintah. Dan mengelola klub bola pun membutuhkan dana besar. Lalu?
Setidak-tidaknya, sarana dan prasarana semisal stadion perlu dioptimalkan penggunaannya. Pengurus klub perlu membangun soliditas dan kesadaran kultural bahwa bola bisa menggelindingkan identitas Bima di kancah nasional. Bibit-bibit unggul calon pesepak bola dari kalangan generasi milenial Bima harus diorganisir untuk menasionalkan bola Bima.
Perjumpaan antar bakat, keahlian berbola, fasilitas yang memadai dan komitmen politik pro bola bukan mustahil akan menarik (lobbying) penanam saham di Persebi, kemudian berlaga dan bertarung. Segenap jajaran pemangku kepentingan di Bima perlu meramu berbagai jenis obat kuat yang ada untuk memperkokoh panji-panji persepakbolaan Bima.
Kuda sebagai icon kultural Bima bisa menjadi sumber energi kreatif untuk re-branding klub. Dari situlah watak bertanding terbentuk, militansi supporter terbangun (sebut saja Bimania atau Jara Mbojo) memindahkan militansi joki-joki cilik dari arena pacuan kuda ke lapangan hijau. Nilai-nilai Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu, Kasama Weki, Tabe’a Dou Rangga harus dibumikan secara filosofis dan praksis oleh Bimanesia: nasionalis, religius dan berkebudayaan. Demikian pesan-pesan kebangsaan itu.
Dalam menyongsong pertandingan demokrasi elektoral Pilkada Bima 2020, pesan-pesan politik progresif, politik sportifitas dan politik persatuan perlu diwedarkan oleh aktor politik. Sehingga keterbelakangan dan ketertinggalan yang terus menghantui dapat diatasi. Bagaimana kita menyerap pesan politik dari sepak bola dalam menyongsong pesta demokrasi lokal?
Sepak bola harus menjadi instrumen diplomasi perdamaian dan alat pemersatu. Kontestasi demokrasi elektoral seharusnya begitu, sebagai instrumen untuk mempertarungkan gagasan programatik dan merajut pembangunan berkemajuan. Bukan untuk mereproduksi kebencian dan kekerasan. Para penonton (bola dan politik) pun tidak perlu mengglorifikasi dan bersikap fanatis yang over-dosis terhadap jagoan. Sewajarnya saja.
Sepak bola membutuhkan mentalitas tim yang kuat, fair play and respect. Pendekar lapangan hijau bukan semata mengandalkan kedigdayaan individu, tapi perlu kedigdayaan tim. Dalam kontestasi demokrasi elektoral juga membutuhkan kedigdayaan tim, permainan yang fair dan demokratis. Juga saling menghormati perbedaan, bersikap sportif, menang tapi tidak melukai, kalah tapi tetap terhormat.
Dalam konteks relasi antar bola dan budaya, Persebi harus dirancang sebagai palang pintu kebudayaan Bima. Untuk menciptakan iklim perbolaan di Bima yang berdimensi sosio-kultur dan politik yang konstruktif, pengurus klub bola tidak hanya harus memahami profesionalitas, tapi juga trend industri bola. Pengembangan klub harus menjaga keseimbangan antara kekuatan lobi dan perluasan jaringan, seraya menginjeksi kearifan lokal sebagai jati diri klub.
Bahwa klub sepak bola Bima belum berkibar di pentas nasional, tapi suatu kebanggaan pula adanya seorang pemain bola profesional berdarah Bima ikut membela klub-klub besar di Liga dunia, yakni Massimo Corey Luongo (lahir di Sydney, 25 September 1992).
Massimo Corey Luongo adalah anggota tim nasional Australia yang berlaga di Piala Dunia 2014 Brasil. Ibunya bernama Ira (putri dari Sultan Bima-Dompu, AA Sirajuddin), sementara ayahnya, Mario Luongo, berasal dari Italia.
Dari tapak jejak kaki Massimo Corey Luongo itulah, mudah-mudahan kita bisa menelusuri dan menyerap spirit bola yang hakiki, menggali akar budaya, membangun masa depan politik dan demokrasi di Bumi Kesatria Berkuda berlandaskan cita rasa persaudaraan yang erat.
*Area Researcher/Political Analyst di Charta Politika; Penggiat Literasi di NTB