Kota Bima, Kahaba.- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (WALHI NTB) mengeluarkan pernyataan resmi terkait temuan limbah diduga minyak di sekitar lokasi operasional Depot PT Pertamina (Persero) Bima. (Baca. Limbah Muatan Kapal Pertamina Cemari Pantai Lawata)
Melalui rilisnya, Amri Nuryadi selaku Direktur WALHI NT mengatakan, menurut informasi yang diperolehnya, tumpahan limbah minyak tersebut bersumber dari kapal pertamina Kota Bima. Peristiwa tumpahnya limbah minyak tersebut diduga sudah terjadi sejak dua hari yang lalu. (Baca. Laut Tercemar Limbah, Pemandian Pantai Lawata Ditutup)
“Itu ditunjukkan dengan adanya perubahan warna air laut di sepanjang Aantai Amahami sejak dua hari sebelumnya,” kata Amri.
Meskipun gejala tersebut belum menunjukkan perubahan baru di sepanjang area pantai dan perairan dimana tumpahan limbah minyak terjadi, namun penampakan dan bentuk yang muncul semakin parah, apalagi adanya busa dan buih yang sudah mengental berwarna kecoklatan di seluruh area pantai. (Baca. DLH Uji Lab Limbah Cemari Pantai Lawata)
Sebelumnya, pada tahun 2020 tumpahan minyak juga pernah terjadi di perairan laut Pelabuhan Bima hingga ke Kelurahan Kolo Kota Bima, pada saat Pembongkaran Minyak Marine Fuel Oil (MFO) atau minyak hitam oleh Pelindo III Bima, Nusa Tenggara Barat. Terjadinya persitiwa tersebut karena pihak pertamina yang tidak menjalankan standar operasional prosedur (SOP) dalam bongkar-muat minyak dipelabuhan.
Amri menyebutkan, belajar dari dua persitiwa tersebut, artinya bahwa pihak Pertamina toledor dan mengabaikan kemungkinan dampak-dampak yang akan ditimbulkan jika terjadi kebocoran dan hal serupa lainnya. Demikian juga dengan pemerintah yang masih tidak menunjukkan sikap tegas atas keteledoran tersebut dan tindakan kongkrit langsung sebagai upaya untuk pencegahan dampak lebih besar dan luas selanjutnya.
“Pemerintah masih cenderung abai atas kejadian ini yang secara terang memiliki dampak kerusakan yang parah terhadap lingkungan, baik berupa pencemaran laut beserta biota dan ekosistem lainnya, maupun dampak sosial dan ekonomi yang selanjutnya dapat menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat setempat,” jelasnya.
Sikap abai Pemerintah atas peristiwa semacam ini adalah merupakan tindakan pidana akibat pelanggaran terhadap Undang-undang, khususnya Undang-undang No. 32, Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), terkait pasal 97 tentang ketentuan pidana dalam UU 32 tahun 2009 yang menegaskan bahwa ini adalah tindak kejahatan terhadap lingkungan.
Selanjutnya, pelaku tindak kejahatan pidana terhadap pencemaran lingkungan terkait kelalaian dan atau kesengajaan melakukan dumping limbah dikenakan hukuman pidana selama tiga tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp. 3 Miliar (Pasal 105 UU PPLH, Tahun 2009), dan pelaku dumping limbah di perairan Indonesia, dikenakan pidana dengan hukuman penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, beserta denda paling sedikit Rp. 4 Miliar dan Paling banyak Rp. 12 Miliar.
Amri juga menegaskan bahwa, berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 109, tahun 2006, tentang penanggulangan keadaan darurat di laut, pasal 1, ayat 1, bahwa: terjadinya tumpahan limbah minyak pertamina ini, maupun peristiwa serupa lainnya tidak boleh dianggap enteng, apalagi diabaikan. Pertamina tidak boleh bungkam tanpa tanggapan dan klarisifikasi apapun. Pemerintah harus sigap dan segera bertindak cepat.
“Jika pemerintah atau aparat terkait tidak bertindak cepat, WALHI NTB akan melaporkan ini sebagai tindak pidana lingkungan hidup,” tegas Amri.
Hingga saat ini Depot PT Pertamina (Persero) Bima belum mengeluarkan keterangan resmi terkait limbah minyak tersebut.
*Kahaba-01