Citizen Journalism

FKPP Tolak PLTU Bima Beroperasi

562
×

FKPP Tolak PLTU Bima Beroperasi

Sebarkan artikel ini

CItizen Journalism, Kahaba.- Sejumlah pelajar dan mahasiswa Kecamatan Soromandi yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Pesisir (FKPP) menolak rencana pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bima. Masalahnya, jika kelak pembangkit itu sudah beroperasi dikuatirkan lebih banyak berdampak negatif.

FKPP Tolak PLTU Bima Beroperasi - Kabar Harian BimaIlustrasi / foto: sciencedaily.com

Sekretaris FKPP, Abdul Hamid, mengatakan, Pemerintah Daerah dan pihak terkait harus segera mengkaji rencana pengalihan PLTD ke tenaga uap. Apalagi, pada sejumlah daerah dan negara lain, pembangkit batu bara malah dipangkas karena menimbulkan banyak persoalan terutama dampak terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar. “Apapun alasannya, kami menolak kehadiran PLTU, karena menurut kami dan dari hasil kajian kami, pembangkit batu bara lebih banyak dampak negatifnya,” ujarnya di Bajo kemarin.

Menurut Hamid, sebenarnya keberadaan PLTU hanya menguntungkan satu pihak yakni perusahaan penyedia energi atau perusahaan listrik. Sebab, bagi asumsi masyarakat, jika menggunakan tenaga uap yang dihasilkan dari pembakaran batu bara akan lebih efisien dibandingkan menggunakan tenaga diesel atau bahan bakar solar. Apalagi, saat ini harga BBM mulai melonjak, meskipun penghapusan subsidi masih sebatas wacana.

“Selama ini kesan yang ditangkap masyarakat, PLTU satu-satunya solusi masalah krisis listrik selama ini, padahal tidak juga, karena dengan pembangkit sekarang saja kami rasa masih bisa menyuplai kebutuhan listrik masyarakat, “ ungkapnya.

Dikatakannya, sudah semestinya pemerintah memikirkan dampak lain jika kelak PLTU beroperasi, jangan hanya mengedepankan pertimbangan pertumbuhan ekonomi perusahaan kategori sedang yang membutuhkan kuota strum lebih besar. Selain itu, seharusnya perusahaan listrik juga tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata (profit oriented), namun mempertimbangkan dampak yang akan dirasakan masyarakat. “Sampai saat ini belum ada sosialisasi dari pihak perusahaan listrik maupun pemerintah mengenai pembangkit ini. Nanti bila muncul reaksi dari masyarakat, pasti akhirnya masyarakat yang disalahkan,” katanya.

Menurut mahasiswa STKIP Taman siswa Bima ini, Desa Bajo Kecamatan Soromandi merupakan lokasi yang berpotensi menerima dampak negatif jika kelak PLTU sudah beroperasi. Misalnya asap, abu terbang (fly ash) dari cerobong pemnbangkit tenaga batu bara, karena bagaimanapun, partikel kecil sangat berpotensial berpindah dan terdeposit karena angin. Apalgi dari segi material batu bara tersusun dari unsur berbahaya seperti Nitrogen (N), Sulfur (S) dan jika bereaksi dengan air (Hidrogren/H) akan menimbulkan gas beracun seperti karbon monoksida (CO), (CO2). Belum lagi dampak lain, paparan radiasi dari jaringan atau instalasi listrik dari Sistem Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), kendati saluran listrik yang direncanakan dari PLTU Bima tidak mencapai 500 Kva. “Kami tuntut pencerahan dan sosialisasi dari pihak PLTU, minimal harus ada sosialasasi dan dana CSR untuk masyarakat, karena tidak menutup kemungkinan jumlah tangkapan nelayan juga akan menurun jika pembangkit batu bara beroperasi,” ujar pria yang pernah bekerja sebagai Surveyor PT Surveyor Indonesia (Persero) ini.

Hal yang sama juga diungkapkan anggota FKPP lainnya, Faisal Akbar, mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Mataram (Unram). Menurut pencipta mesin pengering padi dan peraih medali perunggu Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) UNIBRAW Tahun 2009 ini, sudah seharusnya pemerintah mengkaji rencana pengoperasian pembangkit listrik tenaga batu bara. Apalagi saat ini sejumlah negara sedang mengampanyekan tentang dampak pemanasan global (Global Warming). “Menurut saya, pembangkit tenaga disel masih bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, ketimbang menggunakan pembangkit uap yang bersumber dari batu bara, hal ini mestinya dikaji oleh pemerintah,” jelasnya melalui Ponsel, kemarin.

Menurut Faisal, dokumen AMDAL bukan satu-satunya tolok ukur untuk menakar dampak dan bukan jaminan bagi masyarakat. Ke depan, pemerintah dan perusahaan perlu mengkaji lebih mendalam, termasuk menggunakan metode penakaran daur hidup (Life Cyle Assestment) atau LCA, untuk mengukur, mengalisisi dan mengidenfiikasi total konsumsi energi dan efisensinya, termasuk dampak dan solusinya.

Mahasiswa lainnya, Fikri Ramadhan juga mendesak pemerintah agar menagih komitmen pihak manajemen PLTU agar melaksanakan sosialisasi merata. “Kami rasa desa kami adalah wilayah potensial terkena dampak, apalagi letaknya bersebarangan dengan lokasi proyek PLTU, apalagi sekarang ini angin bertiup kencang, jadi memungkinkan material apapun terbawa dan terdesosit di lingkungan hidup kami,” katanya di Bajo, kemarin.

Menurut tiga bersaudara ini, pemerintah harus memikirkan solusi lain, misalnya energi alternatif seperti tenaga panas bumi (geothermal) atau memanfaatkan energi angin untuk menggerakan turbin mesin pembangkit. Apalagi Bima dan daerah sekitar merupakan wilayah yang memiliki potensi angin tinggi. “Harus ada alternatif lain, saya rasa pembangkit uap bukan satu-satunya solusi, karena kita masih punya banyak pilihan lain terutama yang ramah lingkungan,” tukasnya.
Sebelumnya, saat dikonfirmasi Primary Consorsium PLTU Bima, Sub Manager PT Moca, Agus Priyo, mengaku tidak mengetahui penanggungjawab terhadap segala dampak jika PLTU sudah beroperasi. Tugas konsorsium pembangkit hanya sebatas hingga masa kontrak.***

Citizen Journalism oleh: Fachrunnas, warga desa Bajo Kec. Soromandi