Citizen Journalism

Sarjan Disambut Isak Tangis Keluarga di Bima

543
×

Sarjan Disambut Isak Tangis Keluarga di Bima

Sebarkan artikel ini

Ekspedisi ‘nekat’ jalan kaki Sarjan Abd. Rahman Qurais dari Jakarta ke Bima berakhir pukul 16.00 Wita, Kamis(14/5/2020). Sisa perjalanannya dari Lombok ke Parado Bima, tanah kelahirannya, dia gunakan dengan menunggang “Honda”, sebutan orang Bima buat kendaraan roda dua, bersama sepupunya Mamad yang kuliah di salah satu universitas di Mataram. (Baca. Sarjan, Mudik Jalan Kaki Jakarta-Bima (1), Lolos Tes Awal Dua Preman)

Sarjan Disambut Isak Tangis Keluarga di Bima - Kabar Harian Bima
Sarjan, mahasiswa asal Bima yang mudik jalan kaki Jakarta-Bima. Foto: Ist

Saat dihubungi pukul 19.00 Wita Kamis (14/5/2020) melalui video call, Sarjan sedang bersilaturahim dengan kedua orang tua dan keluarganya setelah berbuka puasa.
Dia mengatakan, disambut isak tangis kedua orang tuanya begitu menginjakkan kaki di rumah, setelah merambah jalan sejauh sekitar 450 km dari Mataram menggunakan Honda Bit bersama sepupunya. Perjalanan ke Bima berlangsung mulus, meski ada pemeriksaan di Pelabuhan Kayangan (Lombok Timur) dan Tano (Pelabuhan Alas).  (Baca. Sarjan, Mudik Jalan Kaki Jakarta-Bima (2), Hampir Dipatok Ular Cobra di Pantura)

Sarjan Disambut Isak Tangis Keluarga di Bima - Kabar Harian Bima

“Untung saya punya KTP Bima,” ujar mahasiswa semester VIII Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Lulusan SMA Negeri 1 Parado 2016 ini mengatakan, dia meninggalkan Mataram pukul 22.00 Wita setelah menginap dua hari di ibu kota Provinsi NTB itu. Selama merambah jalan negara lintas Lombok-Bima dia mencatat 5-6 kali istirahat sejenak. (Baca. Sarjan, Mudik Jalan Kaki Jakarta-Bima (3-Habis), Nyeberang Manfaatkan Jasa Calo)

“Punggung saya sedikit ngilu karena dibebani ransel seberat 10 kg,” ujar anak kedua dari lima bersaudara pasangan Abd. Rahman Qurais-Siti Aminah sambil tertawa kecil.

Sarjan meninggalkan Ciputat Tangerang Selatan pukul 13.00 tanggal 26 April 2020 seorang diri. Dia memutuskan pulang meski harus berjalan kaki setelah bosan mengurung diri selama 2 bulan di tempat kosnya akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta yang kini sudah memasuki tahap kedua.

“Dari pada tinggal sendiri di kos, tidak ada teman, juga lagi ‘pengen’ mau jalan sekaligus ‘refleksi’ otak, saya putuskan pulang meski harus jalan kaki,” kata Sarjan ketika diwawancarai melalui ‘video call’ selagi masih di Mataram, 12 Mei 2020.

Selama perjalanan, Sarjan mengalami beberapa kendala. Di antaranya ketika masih di Cilandak Jakarta, dua preman mencoba memalaknya, namun lolos dan tidak mengambil apa pun yang dibawanya. Laptop yang terselip di antara lipatan pakaiannya luput dari penglihatan kedua preman bertubuh kekar yang menghentikan langkahnya. Mungkin juga preman tersebut kasihan pada Sarjan yang akan jalan kaki mudik ke Bima sesuai KTP yang dilihatnya.

Kendala lain adalah ketika nyaris dipatok ular Cobra di jalur pantai utara (Pantura) Jawa dan kaki lecet-lecet karena kelamaan pakai sepatu dalam perjalanan. Ia memutuskan mencopot sepatunya dan mengganti dengan sandal jepit. Selamat perjalanan, Sarjan makan sahur dengan roti dan biskuit. Setiap pukul 22.00 dia istirahat di saung atau gubuk-gubuk kecil yang ditemuinya di pinggir jalan.

Masih di jalur Pantura dia sempat meluruskan kakinya di atas truk tronton yang bersedia menerima tumpangan gratis. Di daerah Jawa Tengah, dia menemukan recehan Rp 2.000 tercecer di jalan raya sejumlah Rp 20.000, yang kemudian dimanfaatkan membayar angkot untuk menyelesaikan rute perjalanan antarkecamatan di daerah itu.

Selama perjalanan, dia hanya sekali mengalami pemeriksaan Gugus Tugas Covid-19, yakni di ruas jalan pegunungan di wilayah Banyuwangi. Dia lolos karena bermodalkan KTP Kabupaten Bima.

Ketika menyeberang feri Ketapang Banyuwangi-Gilimanuk Bali Barat dan Padang Bai Bali-Lembar Lombok Barat dia ‘nebeng’ sebagai kernet pada truk logistik atas jasa baik calo. Untuk itu dia harus merogoh koceknya masing-masing Rp 100.000 pada lokasi penyeberangan itu. Jarak kedua titik penyeberangan feri ini 158,2 km.

Setelah mengarungi Selat Lombok selama 5 jam, 11 Mei 2020 pukul 13.00, Sarjan merapat di Pelabuhan Lembar. Dia berjalan kaki lagi hingga di Bundaran Tugu Sapi (persimpangan ke Kota Mataram, Bandara Internasional Lombok (BIL) Praya, dan Pelabuhan Lembar. Di sini sudah menunggu Mamad, sepupunya yang kuliah di Mataram yang akan membawanya ke Kota Mataram menggunakan sepeda motor.

Jika dihitung jarak yang dilintasi, Sarjan sudah berhasil ‘menaklukkan’ rentang panjang jalan sejauh 1.502,27 km. Tidak termasuk jarak Mataram-Parado Bima yang dia selesaikan dengan menunggang ‘honda’.
Ketika dihubungi, Sarjan tidak menjelaskan kapan akan kembali ke Jakarta. Tentu tidak akan jalan kaki lagi.

*Penulis M Dahlan Abubakar -Wartawan Senior, Akademisi, Penulis Buku, Putra Bima dan Tinggal di Makassar