Sarjan Abd. Rahman Qurais, 22 tahun, mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta asal Parado Rato Kecamatan Parado “nekat” mudik ke Bima dengan berjalan kaki. Sehari setelah tiba di Mataram (11/5/2020) siang, Selasa (12/5/2020) sore selama sekitar satu jam saya mewawancarainya melalui gawai dari Makassar. Sedikit ceritanya. (*).
Sejak kuliah di Jakarta, Sarjan belum pernah pulang ke Bima. Anak kedua dari lima bersaudara ini setamat SMA Negeri 1 Parado tahun 2016 dan diterima UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum pernah bersilaturahim langsung dengan ayah dan ibunya, Abd.Rahman Qurais dan Siti Aminah di Desa Parado Rato Kecamatan Parado Kabupaten Bima.
Petaka Covid-19, membuat Sarjan tidak bisa ke mana-mana. Dia seolah “terkurung” sendiri di tempat kosnya. Sudah 2 bulan dia tinggal di kosnya di Ciputat, Tangerang Selatan. Bosan di kos, tidak ada teman, dan lagi ‘pengen’ jalan-jalan plus ‘refleksi’ otak karena lama ‘ngendon’ (tinggal) di kos, Sarjan memutuskan pulang ke Bima dengan berjalan kaki. Lantaran tidak ada kereta api yang beroperasi. Kalau naik bus, jika ‘ketangkap’ di ‘check point’, pasti disuruh putar kembali ke asal. Pilihan satu-satunya, ya jalan kaki.
Pilihan Sarjan berjalan kaki sejauh lebih 1.000 km itu termasuk langka. Selama ini yang sering kita baca di media cetak atau tonton di layar kaca hanyalah orang-orang yang berjalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta karena ingin bertemu Presiden. Atau ada juga yang berjalan kaki dari ujung timur Pulau Jawa ke Jakarta untuk sesuatu nazar. Tetapi Sarjan berjalan kaki menyusuri sebuah pulau yang dari ujung pukul ujung jaraknya lebih dari 1.000 km. Dalam catatan di media daring, jarak Jakarta-Banyuwangi saja 1.063, 2 km. Nah, Sarjan melintasi lagi Banyuwangi menyeberang ke Bali, dan hingga di Lombok saya mencatat jarak yang dia tempuh sudah mencapai 1.502,27 km.
Berbekalkan dua tas ransel, satu merek Consina dan lainnya tas produksi Lombok. Di tas itu berisi pakaian dan laptop. Pengalas kaki, dia membekali diri dengan satu sandal jepit dan sebuah sepatu merek Nike warna putih bergaris biru. Sarjan memperkirakan berat bawaanya sampai 12 kg.
Tanggal 26 April 2020. Sekitar pukul 13.00 WIB ketika kakinya mulai melangkah, meninggalkan kosnya di Ciputat, Tangerang Selatan. Jalur yang akan dilaluinya adalah poros luar Pantai Utara (Pantura), jalan yang biasa dilalui kendaraan bus dan truk. Di Pulau Jawa, jalan ini memanjang dari Pelabuhan Merak, Cilegon di barat hingga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi di timur atau dikenal juga sebagai AH 2 Jalur Pantura.
Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa. Selain Jakarta, kota-kota Pantura ini antara lain Cilegon, Serang, Tangerang (Provinsi Banten), Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon (Jawa Barat), Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi (Jawa Timur).
Dari Ciputat kakinya mulai berayun menuju Lebak Bulus Jakarta Selatan yang jaraknya sekitar 14,3 km dan tembus Jl. Sumatupang. Ketika memasuki Cilandak jalan agak sepi. Dua pria berbadan kekar dengan rambut mirip oknum petugas menghentikan langkahnya, mungkin karena melihat dia membawa tas ransel mau pulang kampung. Mereka pasti mengira anak muda ini membawa barang-barang berharga. Lonceng menunjuk sekitar pukul 15.00 WIB.
Nggak lihat anak kecil, ya?,” tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya bertanya.
Mereka rupanya serampangan saja menuduh Sarjan yang membacok anak kecil di samping gedung di sekitar itu. Mungkin saja itu dalih agar dia “bersoal” dengan anak muda yang di hadapannya.
“Nggak, saya baru ‘nyampe’ di sini, Pak!,” jawab Sarjan.
Ini hanya kedok saja memanfaatkan suasana sepi Jakarta dan Tangerang Selatan yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Mereka memeriksa tas Sarjan, diikuti perasaan was-was mahasiswa UIN Jakarta ini akan keselamatan laptopnya yang terselip di antara lipatan pakaiannya. Syukur mereka luput menemukan barang berharga tersebut.
Kedua preman tersebut beralih minta dompet. Dia membuka isinya. Tak sepeser pun duit ada di dalamnya. Mereka hanya menemukan kartu tanda penduduk (KTP) Kabupaten Bima.
“Mau ke mana?,” tanya mereka.
“Mau pulang kampung, Pak!” balas Sarjan lagi.
“Kok ke sini?,” kejarnya lagi.
“Ya, Pak. Mau jalan kaki,”sahut Sarjan.
Sebelum meninggalkan tempat kos “feeling” Sarjan sudah “on”, berfungsi baik. Untuk berjaga-jaga, dia sudah tahulah kalau lagi jalan begini perlu ada antisipasi segala sesuatu. Uang sebanyak Rp 70.000-Rp 80.000 yang dibawanya dia selipkan di tempat lain.
Tak menemukan apa-apa di dompet, kedua preman yang salah yang mengenakan celana levis, berkaos, dan barjaket itu mengalihkan perhatiannya ke gawai (telepon seluler) milik Sarjan. Salah seorang di antaranya memegang-megang gawai tersebut diawasi perasaan khawatir Sarjan yang selangit. Kondisi gawai yang di sana-sini retak-retak, membuat mereka agaknya tidak bernafsu mengambilnya.
“Kalau mau silakan ambil saja,” dengan berani Sarjan berkata yang terpaksa dipilihnya agar dia tidak mencari barang berharga yang lain, seperti laptop yang terselip di antara lipatan pakaian itu.
Rupanya, preman tersebut tidak tertarik dengan gawai yang mungkin menurut penilaiannya tidak bisa laku jika dijual.
“Mungkin dia kasihan saja lihat HP saya,” kisah Sarjan dalam wawancara tersebut.
Langkahnya kembali diayunkan menuju Pasar Minggu, lalu Condet ke bawah, Kali Malang. Hari sudah malam ketika tiba di tempat terakhir ini. Lonceng menunjuk pukul 22.00 WIB. Sarjan sudah mematok batas waktu kakinya berayun setiap hari hingga pada jam itu. Dia istirahat. (Bersambung).
*Penulis M Dahlan Abubakar -Wartawan Senior, Akademisi, Penulis Buku, Putra Bima dan Tinggal di Makassar