Kabupaten Bima, Kahaba.- Sinar matahari menyengat cukup tajam seolah membakar kulit saat menelusuri lorong RT 09 Dusun Mada Nao Desa Tumpu Kecamatan Bolo, Kamis (30/11) siang. Tepat di sudut lorong, seorang wanita tua nampak duduk di pintu sambil berselonjor kaki di tangga rumah panggungnya.
Ia seperti tak mempedulikan terik matahari yang menyinari wajahnya. Entah apa yang dipikirkan, wanita beruban dengan wajah keriput ini hanya menatap kosong memperhatikan lalu lalang orang yang melintas. Sesekali suara batuknya terdengar mengisyaratkan usia yang tak lagi muda.
Wa’i Nau begitulah para tetangga memanggil wanita tua dengan nama asli Munja tersebut. Nenek berusia sekitar 81 tahun ini hidup sebatang kara dan tinggal di gubuk reot kecil yang sudah terlihat miring.
Sepintas, bangunan rumah panggung Wa’i Nau nyaris tidak nampak dibandingkan deretan rumah lain di sampingnya. Kayu-kayu lapuk berwarna kusam mendominasi, dengan atap genting yang banyak pecah.
Disanalah Wa’i Nau menjalani sisa masa tuanya. Sejak 6 tahun lalu, ia mengaku ditinggal mati oleh suami tercinta. Sejak itu pula ia tak lagi ada yang menafkahi.
Sementara untuk hidup sehari-hari, Wa’i Nau hanya berharap belas kasih dari tetangga. Bahkan untuk makan dan minum, sebab raganya yang sudah renta tidak lagi manpu bekerja.
Saban hari, gubuk kecil Wa’i Nau kian memprihatinkan. Kayu-kayu tiangnya sudah dimakan rayap, dindingnya yang terbuat dari bedek bambu lapuk dan banyak berlubang. Belum lagi atapnya disana-sini bocor karena genteng usang tak ada yang memperbaiki.
Saat hujan datang, air dengan leluasa masuk membahasi isi rumah. Wa’i Nau hanya berlindung di pojok tiang rumah, karena hanya disitulah yang tidak dibahasi air hujan. Untuk melawan dingin, ia hanya mengenakan sarung sisa suaminya.
Kini, Wa’i Nau hanya berharap ada hamba Allah yang berbelas kasih memberi bantuan untuk memperbaiki rumahnya agar tubuh rentanya tidak kedinginan saat hujan datang.
“Semoga pemerintah kasihan pada saya,” harapnya.
Wa’i Nau bukan tidak memiliki anak. Dia memiliki 5 orang anak. Namun ketiganya merantau ke Malaysia dan menjadi pekerja buruh bersama keluarganya. Sementara 2 yang lainya ada di desa setempat, tapi hidupnya juga tidak berkecukupan.
Kedua anaknya beberapa kali datang menjenguk Wa’i Nau, namun keadaan anaknya yang terbatas secara ekonomi tidak memungkinkan untuk menjenguknya terus karena harus bekerja menjadi buruh tani.
Sementara itu, tidak banyak bantuan pemerintah yang menyentuh Wa’i Nau. Bahkan untuk program bedah rumah yang masuk di Desa Tumpu tidak menyentuh rumah Wa’i Nau yang sudah hampir roboh.
*Kahaba-10