Opini

Menakar Jargon Politik ‘Indonesia Maju’ dan ‘Indonesia Adil dan Makmur’

437
×

Menakar Jargon Politik ‘Indonesia Maju’ dan ‘Indonesia Adil dan Makmur’

Sebarkan artikel ini

Oleh: Didid Haryadi*

Menakar Jargon Politik ‘Indonesia Maju’ dan ‘Indonesia Adil dan Makmur’ - Kabar Harian Bima
Didid Haryadi

Kurang dari sepekan, pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota legislatif, segera tiba. Tak heran jika dalam dua bulan terakhir, gegap gempita kampanye menyeruak keruang-ruang publik, baik berupa iklan tertulis, visual, reklame di televise maupun elektronik.

Kita seringkali mendengar bahwa salah satu rumus dalam kompetisi politik adalah tidak pernah mengenal kawan dan lawan abadi, karena yang lebih dominan di atas kedua hal tersebut adalah kepentingan. Begitulah anekdot yang biasanya dituturkan ketika banyak orang hendak belajar filsafat politik. Selain hal-hal tersebut, jargon-jargon politik tugasnya hanya sebagai pelengkap dan sarana untuk mendapatkkan atensi publik.

Saat ini sendiri kontestasi politik nasional pada level electoral eksekutif hanya menyajikan dua narasi besar pembangunan rakyat Indonesia untuk lima tahun yang akan datang, baik yang diusung oleh calon presiden maupun wakil presiden. Semisal Joko Widodo dan Ma’ruf Amin selalu lantang mengumandangkan pentingnya slogan ‘Indonesia Maju’ dalam setiap momen kampanyenya. Sedangkan rivalnya, Prabowo Subianto bersama Sandiaga Uno menawarkan jargon Indonesia yang ‘Adil dan Makmur’.

Jargon-jargon tersebut tentunya diciptakan melalui proses diskusi panjang, mendalam, dan intensif. Jejak-jejak pembangunan masa lalu sekiranya menjadi referensi untuk merajut hari-hari selanjutnya. Merujuk pada pemikiran Foucault, salah satu kekuasaan yang paling signifikan membentuk pengalaman manusia adalah bahasa. Lebih lanjut, Foucault menyatakan bahwa suatu system bahasa secara keseluruhan, seperti dalam tindakan berbahasa individual—dikenal dengan istilah “diskursus”.

Dalam konteks ini, istilah diskursus dapat dipahami sebagai bahasa dalam tindakan. Diskursus harus dilihat sebagai istilah yang secara keseluruhan merujuk kepada semua pernyataan, lebih tepatnya, aturan ihwal pernyataan tersebut terbentuk dan diproses. Meskipun demikian, pada dasarnya bahasa senantiasa mengkomunikasikan tiga hal penting dan mendasar,yakni buah pikiran, emotif, dan afektif (Kellner, 1964).

Bahas-Bahasa

Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan salah satu unsure penting dalam sebuah kebudayaan. Dengan adanya bahasa, manusia bukan hanya dapat berpikir, bernalar secara terstruktur/sistematis, namun juga dapat mengkomunikasikan sesuatu hal yang sedang dipikirkan kepada orang lain, serta mengekspresikan sikap dan perasaan. Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama, pertama, sebagai sarana komunikasi antar manusia. Kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media berkomunikasi (Jujun Suria sumantri, 1982).

Dalam konteks berpolitik, jargon-jargon dapat menjadi medium penyampaian pesan. Sehingga secara tidak langsung, jargon politik merefleksikan fungsi bahasa dalam konteks berpolitik.

Setiap hari kita menggunakan bahasa sebagai cara untuk menyampaikan pesan. Sementara pengalaman menjadi faktor yang melatarbelakangi pemakaian bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tentu tak asing dengan frasa ‘batas bahasaku adalah batas duniaku’ yang dilontarkan oleh Lutwig Wittgenstein pada tahun 1972. Artinya, semakin melimpah pengalaman dan referensi ilmu yang dimiliki maka akan berpotensi besar memengaruhi stock of knowledge seseorang.

Oleh karena itu, jika diinterpretasikan jargon ‘Indonesia Maju’ terlihat merujuk tentang harapan yang ingin dicapai pada masa depan. Dengan berbagai program pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya, yang telah direalisasikan maka Joko Widodo tentu saja memiliki hasrat untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya di istana untuk Indonesia dalam durasi lima tahun mendatang. Pada setiap kesempatan berkampanye, frasa ‘Indonesia Maju’ misalnya, banyak menawarkan narasi tentang pelayanan dan upaya memenuhi kebutuhan public melalui penerapan Kartu Pra Kerja, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Sembako, dan sebagainya. Untuk memaksimalkan hal tersebut, Joko Widodo menawarkan inovasi program ‘Dilan’ yang berarti Digital Melayani. Artinya, platform digital akan menjadi keunggulan untuk memudahkan aktivitas pelayanan masyarakat pada yang akan datang. Hal ini sekaligus mempertegas gaung era revolusi 4.0 yang disosialisasikan oleh pemerintah.

Sementara itu, jargon ‘Indonesia Adil dan Makmur’ seperti yang sering kita dengar merupakan cita-cita agar keadilan social dan kemakmuran dapat terdistribusi secara merata bagi rakyat Indonesia. Beberapa program untuk mewujudkan hal tersebut misalnya, Prabowo berjanji tidak akan melakukan impor beras, memaksimalkan sector ekonomi pada tingkat lokal dan nasional, serta membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Serta berjanji menata Indonesia yang berdikari—berdiri di atas kaki sendiri—terutama perihal pengelolaan kekayaan Negara.

Secara kasat mata, sebenarnya tidak ada perbedaan yang kontras antara kedua frasa tersebut. Sebab, tujuan yang ingin dicapai adalah sama-sama berusaha merealisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Seturut dengan hal di atas, jika ditinjau dalam kontestasi 2014 silam, tidak banyak hal-hal baru yang ditawarkan oleh kedua calon pada pemilu kali ini. Adapun perbedaan yang paling dominan adalah gerbong politik dari masing-masing kontestan. Serta suhu politik yang lebih “memanas”, sebab rivalitas para calon tidak hanya menjadi obrolan politik pada level elit saja. Namun juga membawa semangat yang serupa bagi para pendukungnya di level publik.

Menunggu Klimaks

Mimbar-mimbar kampanye selalu menjadi momen untuk menyampaikan ide, visi, danmisi kepada publik. Tak heran, jika Anda memiliki pengalaman hadir secara langsung, maka ada energy dan semangat yang menggebu-gebu ketika jargon-jargon politik digelorakan. Kemudian para pendukung dan simpatisan mengafirmasikannya melalui ekspresi-ekspresi di lapangan. Untuk mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Tata bahasa, merupakan alat dalam menggunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan aturan-aturan tertentu (Charlton Laird, 1953).

Pemilu untuk wilayah luar negeri misalnya di Turki, baru saja dihelat secara berkala sejak Selasa (9/4). Selanjutnya kita semua menanti proses Pemilu secara serentak di Indonesia pada 17 April mendatang. Masa kampanye yang semakin singkat, mengharuskan para pendukung dan partai pengusung bekerja keras untuk menyalakan mesin politik dalam level akselerasi yang maksimum.

Jika menilik rilis dari beberapa lembaga survey nasional, sang petahana (Jokowi) masih unggul dari rivalnya, Prabowo. Situasi ini tentu saja hanyalah gambaran sementara dan bias menjadi rujukan bagi para pemilih untuk mempertegas preferensinya atau pun kembali mempertimbangkan hal-hal lain sebelum hari pencobosan tiba.

Kita berharap akan ada perubahan yang signifikan baik dalam penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia, advokasi buruh, konflik ekologi dan agrarian. Serta implementasi supremasi hukum, dan isu lain baik di bidang politik, pendidikan, maupun budaya.

Kita sedang menanti Indonesia yang sejuk dan harmonis dengan segala jaminan perbaikan dalam berbagai sector kehidupan sosial. Dan Pemilu 2019 akan menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia bahwa perjalanan demokrasi harus selalu mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Dengan cara mengangkat derajat hak asasi manusia untuk dapat dihargai dan didengarkan oleh pemimpin yang terpilih demi terciptanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirnya, momentum Pemilu harus mampu menjadi gelanggang pendidikan politik yang penting bagi lanskap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa perbedaan pilihan adalah sebuah keniscayaan. Dan setelah itu semua tuntas, kita akan kembali akrab dengan realitas social masing-masing. Untuk selanjutnya menyalakan harapan dan menjaga waras dalam hajatan politik yang akan dating serta terus melakukan pengawasan dalam setiap kebijakan pembangunan.

*Dosen Sosiologi FISIP Universitas Nasional, Jakarta