Oleh: Dr. Muhammad Athar Ismail Muzakir*
Dalam rangka meredam penyebaran Covid-19, sejak pertengahan Maret lalu, Pemerintah memberlakukan kebijakan social distancing. Satu bulan kemudian, yaitu sejak 10 April, untuk lebih mengefektifkan penanganan pandemi korona nasional, pemerintah secara bertahap menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Namun sayang, efektivitas penanganan pandemi korona di Indonesia belum menunjukan kemajuan yang signifikan. Merujuk pada laporan Tim Penanganan Covid-19 nasional diketahui bahwa selama era social distancing, penambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif sangat cepat, dari 117 kasus di 15 maret menjadi 1.528 kasus di 31 Maret atau terjadi penambahan 1411 kasus. Adapun sejak PSBB mulai diberlakukan, jumlah kasus terkonfirmasi positif melonjak tajam dari 3.512 di 10 April menjadi 10.118 di akhir April atau terjadi penambahan 6606 kasus. Bahkan, sebagaimana dinyatakan Juru Bicara Penanganan Covid-19 bahwa penyebaran virus korona yang sudah menjangkau ke seluruh provinsi ini telah menembuh angka 16 ribu kasus yang terkonfirmasi positif covid-19.
Pertanyaannya adalah, apakah sebab utama belum efektifnya social distancing?
Menurut penulis, sebelum menilai efektif atau tidaknya kebijakan social distancing atau PSBB, ada dua aspek yang harus ditelaah yaitu: data tingkat kepatuhan masyarakat dan analisis pengalaman negara lain yang sukses menggunakan pendekatan social distancing sebut saja Singapura dan Korea Selatan. Bahkan Singapura relatif mirip dengan Indonesia, dimana setelah sempat menggunakan pendekatan social distancing pada 26 Maret, selanjutnya sejak 7 April, Singapura menerapkan kebijakan semi-lockdown/ “circuit breaker”. Kebijakan yang mirip dengan PSBB ini mengharuskan warga untuk tetap di rumah, tempat kerja ditutup, dan hanya layanan penting seperti pasar, supermarket, klinik, rumah sakit, transportasi dan perbankan yang diperbolehkan buka.
Tingkat Kepatuhan Masyarakat
Sejauh penelusuran yang dilakukan, belum ada sumber data resmi yang dapat diakses terkait tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia selama masa social distancing dan PSBB. Adapun data yang dapat diakses adalah The COVID-19 Community Mobility Reports sebagaimana dapat dilihat di www.google.com/covid19/mobility/. Meskipun tentunya, laporan tersebut memiliki keterbatasan karena menggunakan data agregat pengguna smartphone yang mengaktifkan pengaturan location history. Apalagi, berdasarkan Survei Pew Research Center tahun 2018 sebagaimana dikutip https://tekno.tempo.co/ pada 4 maret 2019 bahwa dari seluruh orang dewasa pemilik hand phone di Indonesia, yang baru memiliki smartphone hanya 42 persen.
Terlepas dari keterbatasannya, laporan tersebut menunjukan bahwa pada era social distancing, tren mobilitas masyarakat Indonesia yang ke restoran, kafe, pusat perbelanjaan, taman, museum, perpustakaan hingga bioskop menurun ke angka 47 persen. Sementara Korea Selatan hanya turun 19 persen dan Singapura naik 28 persen. Adapun kriteria lainnya yaitu mobilitas masyarakat ke toko dan pusat belanja, tempat rekreasi, transportasi publik menunjukkan bahwa tren penurunan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura dan Korea Selatan. Artinya pada era social distancing, tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia justru lebih baik dibandingkan kedua negara tersebut.
Namun di era PSBB, tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia menurun dibandingkan di era social distancing. Salah satu yang paling mencolok adalah tren mobilitas masyarakat yang ke taman nasional, rekreasi pantai, plasa hingga taman publik hanya turun 35%. Padahal, di era social distancing, tren ini menurun hingga mencapai angka 52 persen. Untuk kriteria yang sama, Singapura justru menunjukan yang sebaliknya, pada era social distancing tren mobilitas masyarakat yang ke taman nasional dll hanya turun 12 persen, namun naik menjadi 70 persen pada era circuit breaker. Begitu juga mobilitas masyarakat ke restoran, kafe, pusat perbelanjaan, taman, museum, perpustakaan hingga bioskop, dimana pada era social distancing hanya turun 28 persen, namun pada era circuit breaker naik menjadi 67 persen.
Adapun Korea Selatan menunjukan femonena yang relatif stabil, hal ini disebabkan karena sejak awal maret hingga akhir april, Korea Selatan secara konsisten tetap menerapkan kebijakan social distancing.
Jika ditelaah secara seksama, diantara penyebab tingginya tingkat kepatuhan masyarakat Korea Selatan dan Singapura dalam social distancing adalah kuatnya bonding social capital (modal sosial yang merekatkan). Yaitu modal sosial struktural yang mampu memperkuat ikatan antar anggota masyarakat yang membuat orang memiliki perhatian dan dukungan satu sama lain. Adapun modal sosial struktural yang dimaksud adalah penerapan punishment untuk pelanggaran social distancing. Korea Selatan memberlakukan kepada siapa pun yang menolak tes dan karantina dapat dipidana 1 tahun atau denda sekitar 3 hingga 10 juta won. Nominal tersebut sama dengan Rp 40 juta hingga Rp 133,8 juta. Adapun Singapura menerapkan hukuman penjara 6 bulan bagi warganya yang melanggar aturan social distancing atau denda maksimal 10.000 dollar Singapura atau sekitar Rp. 112,8 juta, atau bisa juga kombinasi keduanya.
Ajaran Islam adalah Modal Sosial
Dalam konteks Indonesia, berdasarkan landasan hukum PSBB saat ini, maka sebagaimana dinilai oleh Ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra adalah sulit untuk menegakan disiplin masyarakat dan sanksi dalam melaksanakan PSBB. Artinya, secara ekosistem kebijakan, upaya untuk mengadopsi pendekatan modal sosial struktural Korea Selatan dan Singapura masih terkendala.
Oleh karena itu, selain tetap segera mencari alternatif bagi penegakan disiplin PSBB, memaksimalkan potensi modal sosial lainnya yaitu modal sosial cognitive yaitu melalui penguatan nilai-nilai agama menurut penulis sangat tepat. Apalagi, sebagaimana telah ditunjukan oleh beberapa penelitian bahwa agama adalah salah satu modal sosial (Rofik dan Asyahbuddin, 2005). Bahkan agama Islam yang merupakan rahmatan lil ‘aalamin (rahmat bagi semesta), jika dipahami dan dipraktekan dengan benar adalah modal sosial yang sangat kuat (Siddiqi, A, 2008).
Salah satu contoh ajaran Islam yang berpotensi sebagai modal sosial cognitive khususnya bagi peningkatan kedisplinan masyarakat dalam PSBB adalah muroqobah. Muroqobah adalah sifat seseorang yang merasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah Ta’ala. Penguatan nilai ini tidak hanya dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam menjalankan PSBB tetapi juga memperkuat ikatan antar anggota masyarakat yang membuat orang memiliki perhatian dan dukungan satu sama lain dalam penangangan pandemi korona.
Meskipun kegiatan pengajian di masjid yang sejatinya dapat menjadi media bagi penguatan ajaran Islam dibatasi sebagai tuntutan PSBB. Namun seyogyanya, momentum ramadhan ini dapat tetap dimaksimalkan oleh segenap pihak terutama Pemerintah untuk terus mendukung peningkatan iman dan ilmu agama seperti diantaranya: melalui program ceramah virtual, penyebaran buletin dakwah atau leaflet ke rumah penduduk atau di setiap check point atau melalui media sosial dan lain-lain. Materi-materi yang disampaikan tentunya selain meliputi edukasi COVID 19 juga memuat ajaran-ajaran Islam yang relevan bagi efektifitas PSBB atau social distancing, seperti konsep muroqobah, ketaatan kepada ulil ‘amri, islam sebagai rahmatan lil ‘aalamin dll. Semoga dengan keberkahan bulan ramadhan, pandemi korona di Indonesia dapat segera diatasi, aamiin.
*Dosen Pasca Sarjana-Universitas Islam Syekh Yusuf dan Pejabat Kemenristek-BRIN