Editorial, Kahaba.- Menjadi aparatur birokrasi adalah prioritas utama masyarakat untuk menjatuhkan pilihan terhadap pekerjaannya. Selain jelasnya gaji yang diterima tiap bulan, jaminan hari tua di masa pensiun dan mudahnya akses mengambil kredit bank dengan menjaminkan SK adalah kelebihan menjadi PNS di negeri ini.
Setelah SK PNS dikantongi, langkah selanjutnya adalah mencari jabatan strategis. Disanalah pendapatan tambahan yang biasanya diperoleh selain dari gaji pokok. Pertarungan memperoleh jabatan adalah seni politik tersendiri di birokrasi. Banyaknya jumlah PNS menjadi dinamika kompetisi para birokrat untuk menduduki sebuah jabatan strategis seperti bendahara, lurah, camat, kepala bidang, kepala dinas/kantor/badan, sekretaris daerah, maupun jabatan deputi dan dirjen di lingkup kementerian.
Di Bima, baik Pemerintah Kota dan Kabupaten Bima memperebutkan jabatan tak pernah lepas dari peranan politik para birokratnya. Tak jarang PNS terlibat politik praktis di momentum Pemilihan Umum Kepala Daerah yang rata-rata orientasi akhirnya adalah sebuah jabatan. Ada yang ingin mempertahankan dan merebut dengan berbalik melawan penguasa yang sedang berkuasa saat ini.
Namun, ada dinamika menarik bila sebuah jabatan yang diberikan tapi ‘ditolak’ PNS tersebut. Contoh kasus di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKP2) Kota Bima, dimana bendahara pengeluaran yang dulu dan bendahara pengganti masing-masing mengundurkan diri.
Bukankah jabatan itu akan menambah pendapatan Sang PNS, lalu mengapa mereka mengundurkan diri? Wakil Walikota, A. Rahman, SE, saat apel pagi di kantor Pemerintah Kota Bima menyinggung hal tersebut.
Kebiasaan mengadakan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) palsu mungkin saja faktor dibalik penolakan itu. Atau mungkin saja tak adanya koordinasi serta transparansi yang dibangun Sang Kepala kepada anak buahnya. Tapi yang pasti ada ketidakcocokan antara pimpinan dan bawahan yang terjadi di kantor itu.
Tak ada orang yang ingin susah diakhir karirnya karena membuat SPJ-SPJ ‘palsu’ yang akan menjadi temuan aparat hukum nantinya. Tak mungkin pula seseorang harus merasakan dosa yang orang lain lakukan, mungkin itu alasan di luar kedinasan dengan mundurnya Sri Rahmayanti, SE yang di SK-kan Walikota 1 Agustus 2012 lalu. Apalagi pasca pengunduran diri bendahara pengeluaran lama (Masita, SP), tiba-tiba laptop kerjanya hilang di kantor (15/9) dan meraibkan data-data yang ada. Tragis, jika seandainya ada permainan di balik kehilangan itu semua. Betapa muslihat kotor telah menjadi cara oknum pejabat kota ini.
Lemahnya sistem yang dibangun adalah tolak ukur kepiawaain pasangan pimpinan dalam mengatur sebuah pemerintahan. Kebiasaan menempatkan kepala dinas/badan yang tidak cocok adalah kebiasaan buruk pemerintah. Memilih kepala dinas selalu karena faktor loyalitas semu dan politik kekuasaan semata. Akhirnya, orang yang tak pantas harus menduduki jabatan puncak yang tanggungjawabnya berdampak pada kemaslahatan orang banyak yang tak pernah terakomodir secara utuh dan terbuka.
Mencari keuntungan akan jabatan yang dimiliki atau trendnya dikenal dengan korupsi adalah budaya sekaligus virus abadi di mana-mana apalagi di kantor permerintahan. Banyaknya kasus korupsi yang tak putus-putusnya terkuak ke permukaan adalah ukuran betapa akutnya virus yang satu itu.
BKP2 Kota Bima adalah Badan yang sedang terjangkit virus itu. Jika diinvestigasi secara mendalam, tentu akan terbongkar betapa kotornya isi dalam kantor itu. Korupsi, kolusi jelas tertanam di sana. Indikatornya jelas dari sumber Inspektorat yang enggan dimuat namanya, mengungkapkan temuan di sana sejak tahun lalu pun belum dituntaskan. Apalagi fenomena pengunduran diri bendahara keuangan karena alasan hamil di tengah tahun anggaran berjalan tentu ada factor X yang disembunyikan. Padahal bendahara atas nama Masita itu, pernah hamil tahun yang lalu saat dia menjadi bendahara tapi tidak mengundurkan diri. “Mungkin saja dia sudah tak tahan dengan mengikuti alur kerja pimpinannya yang harus memungut kuitansi di ‘jalan-jalan’,” duganya. ***