Editorial, Kahaba.- Merdeka! 68 tahun silam jargon kata itu menjadi semangat yang tak terelakkan dalam membangun nusantara menjadi negara yang berdaulat—lepas dari himpitan dan penindasan penjajah. Kemerdekaan yang kian mencari bentuknya memilih demokrasi untuk menjadi falsafah negeri ini. Berdemokrasi berarti mengharuskan kita untuk bisa menjadi dewasa sebagai warga internasional. Menghargai perbedaan dan mementingkan kepentingan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dalam hidup di bangsa yang merdeka, ketimpangan sosial yang kian menjadi sorotan publik, semestinya harus menjadi prioritas kebijakan penguasa. Jika tidak, maka sebuah dampak krisis tentu tak bisa di hindari lagi. Demonstrasi sampai tindakan penjarahan akan menjadi dampak turunan ketika ketimpangan sosial tidak di tangani secara serius.
Semestinya pula, kado kemerdekaan negeri dengan Sumber Daya Alamnya yang begitu melimpah ini, sudah memberikan angin segar dalam menyejahterakan rakyatnya. Bukan sebaliknya, mengabaikan rakyat sendiri dan mementingkan rakyat negeri lain dengan kebijakan luar negeri yang menghalalkan investasi asing dengan menyandarkan aturan yang jongos demi kepentingan kantong penguasa.
68 tahun merdeka yang kita rayakan di hari Sabtu 17 Agustus 2013 lalu, tak senilai dengan wajah rakyat dan hakekat kemerdekaan itu sendiri. Bagaimana ruahnya air di negeri ini yang harus dijual mahal kepada pribumi! Melimpahnya tambang hanya bisa memperelok negeri tetangga. Sumber Daya Alam tereksploitasi hingga melupakan anak cucu negeri ini di masa mendatang. Miris memang, potret kado kemerdekaan setelah lebih dari setengah abad kita terlepas dari belenggu penjajah ini.
Penjajahan, sekiranya tak pernah lepas dari negeri ini, cuman berbeda rupa dan caranya saja. Krisis ekonomi yang terjadi karena kita terlalu berjiwa murahan hingga mudah dikendalikan oleh negeri adidaya. Demikian pula moralitas ketimuran kita yang kian mengalami degradasi dan penurunan–tergilas dengan budaya asing yang cenderung liberal. Inikah dampak demokrasi, atau memang benteng kita belum siap dengan sistem negara yang satu ini?
Di Bima, krisis politik dan moral pun menjadi dagelan murahan yang terus dipertontonkan. Krisis politik yang terjadi di Kota Bima sarat dari mentalitas kita yang cukup memprihatinkan. Awam memahami aturan dan kecenderungan kita memaksakan kepentingan sendiri saja. Berkuasa, tentu bukan milik segelintir orang dan kelompok itu saja, bukan pula milik hasil proses pilkada, tapi hakekatnya kemerdekaan adalah milik rakyat yang ingin sejahtera.
Sikap feodalisme dan nepotisme yang selalu bergandeng dengan gaya berkuasa yang korup pasti akan terjadi, bilamana kekuasaan tidak mau belajar dari nilai nasionalisme Bung Karno yang merelakan kekuasaan dan singgasananya kepada Soeharto–lantaran menghindari perang saudara di negeri ini.
Bermain kepentingan kelompok dan menyampingkan kepentingan berbangsa dan bernegara adalah kado murahan yang seharusnya tidak dipertontonkan dalam momentum kita mengisi kemerdekaan bangsa ini yang ke 68 kalinya. Kita harus banyak belajar, seperti pohon yang tak pernah menyalahkan angin ketika daun-daunnya jatuh berguguran.***