Editorial, Kahaba.- Regenerasi adalah sunatullah. Daun tua yang jatuh namun di sisi lain pucuk pohon melahirkan daun yang baru. Ada yang hidup ada pula yang mati. Semua berputar seirama bersama rotasi bumi.Potret itu hampir menjadi pembelajaran di tiap sisi kehidupan. Semua memiliki masa keemasannya.
Tapi, yang diingat, bahwa semua itu pun ada batasnya. Jabatan Presiden, Anggota Dewan, Gubernur maupun Walikota/Bupati hanya lima tahun saja. Masa-masa itu adalah masa pengabdian. Seyogyanya, dominasi kebijakan harus lebih pada investasi sosial karena memang pemimpin adalah penyambung lidah rakyat dan sejatinya mereka tak ubahnya sebagai pelayan bagi kesejahteraan para rakyatnya.
Karakter pemimpim berbagai jenis rupa. Ada yang memakai tahta demi dinasti semata. Ada pula yang menganggap itu adalah ibadah. Tergantung siapa dan cara pandang yang digunakannya. Dalam roda pemerintahan, gonta-ganti pejabat dan mutasi sudah menjadi hal yang biasa. Seorang pemimpin tentu memilih orang yang loyal dan berprestasilah yang diposisikan pada struktur penting pemerintahannya.
Kadang kala, meraih jabatan banyak caranya. Bisa dengan loyal dan cari muka, bisa pula menunjukkan prestasi sambil menyetor sederet angka, dan bisa pula masuk lewat jalur keluarga. Ketiga cara itu, hampir lumrah digunakan bagi dominan aparatur negara yang gila jabatan semata.
Bila itu terjadi dan berevolusi menjadi budaya baru negeri ini, maka kehancuranlah yang akan dirasakan dikemudian hari. The right on the right place, asas inilah semestinya yang digunakan seorang pemimpin dalam memposisikan para bawahannya. Jika hanya karena kepentingan politik semata, maka jangan harap kesejahteraan itu akan mudah terasa. Karena dalam kacamata politik yang ada hanya kepentingan berkuasa semata.
Memutasi atau menggonta ganti struktur jabatan, dalam regulasi negeri ini sudah bagus sistem dan caranya. Tapi, jika dilakukan karena kepentingan selera dan menanggalkan peraturan yang ada, tentu itu bukanlah mutasi melainkan amputasi. Dalam hal ingin menyegarkan dan memperbaiki kinerja aparatur, mutasi sudah didasari dengan asas dan regulasi. Tak perlu keluar dari koridor aturan itu, jika memang ingin memperbaiki dan mencari format pemerintahan yang baik.
Bagi bawahan yang berbeda sikap politik, tentu perlu dikotak-katik. Tapi, tidak harus menghilangkan hak kepangkatan seseorang yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri oleh negeri ini. Karena beda sikap politik, itu wujud dari hidup berdemokrasi dewasa ini.
Setelah Pemilukada atau momen pemilihan kepemimpinan apa pun, ketika menang, maka yang kalah pun harus diayominya. Pemimpin adalah simbol dari keanekaragaman dan perbedaan yang ada. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bisa menempatkan posisi yang dipimpin sesuai dengan proporsi. Bukan karena emosi apalagi melakukan tindakan amputasi.
Jika tidak bisa sperti ini, itu adalah ujian bagi seorang pemimpin sejati. Menjadi pemimpin bukan berarti mengetahui segala isi bumi. Pemimpin tak ubahnya seorang supir yang membawa kendaraan menuju surga atau neraka. Jika surga yang dipilihnya, maka akomodirlah semua perbedaan yang ada tentu dengan porsi yang cukup obyektih.
Jika ingin ke neraka, maka bersemayamlah bersama para penjilat dan pejabat yang hanya menjual kata-kata, miskin prestasi dan pandai membalut korupsi. Semoga tak ada seorang pemimpin yang hanya pandai bermimpi, tapi mandul dalam aplikasi. ***