Oleh: M Dahlan Abubakar*
Seiring dengan merebaknya virus Corona, Covid-19, di media sosial beberapa hari terakhir ini beredar tulisan berkaitan dengan novel yang ditulis Dean Koontz berjudul “The Eyes of Darknes”. Novel tersebut dirilis pada tahun 1981, tepat 39 tahun silam.
“The Eyes of Darkness” satu novel thriller (sesuatu yang menggetarkan hati) berfokus pada seorang ibu yang berangkat pada pencarian untuk mengetahui apakah putranya benar-benar mati setahun yang lalu, atau apakah dia masih hidup. Dia mengirim putranya dalam perjalanan berkemah dengan seorang pemimpin yang telah memimpin perjalanan ini ke pegunungan 16 kali sebelumnya tanpa kecelakaan; itu sampai saat ini. Setiap kemping, pemimpin, dan pengemudi tewas tanpa penjelasan. Ketika ibu yang berduka yang merupakan protagonis mulai menerima kenyataan bahwa putranya, Danny, sudah meninggal, dia mulai mendapat serangan ganas seperti yang dia peroleh bahwa dia tidak mati, seperti menulis di papan tulis. Bersama dengan teman barunya, Elliot Stryker (Seorang pengacara yang dulu bekerja untuk Intelijen Angkatan Darat), Christina Evans (ibu Danny yang jadi korban) mencari tahu apa yang mungkin terjadi pada hari ketika putranya ‘meninggal’.
Setelah merebaknya virus Corona, Covid-19, orang kemudian mengaitkan dan melihat adanya kesamaan antara insiden wabah Covid-19 dengan skenario dalam buku juga dikabarkan sejumlah media massa. Misalnya, “India Today” yang dirilis 17 Februari 2020, seperti dilansir media massa menurunkan artikel berjudul, “Novel predicted Wuhan virus 40 years before Coronavirus outbreak”.
Di awal novelnya pada halaman yang sama, Koonzt menulis yang terjemahan bebasnya begini:
“ Saya tidak tertarik dengan filosofi atau moralitas perang biologis. Saat ini, aku hanya ingin tahu bagaimana lonceng Danny berhenti di tempat ini. Memahami itu. Anda harus kembali dua puluh bulan. Saya merasa bingung saat itu bahwa seorang ilmuwan Tiongkok bernama Li Chen membelot ke Amerika Serikat, membawa rekaman disket tentang senjata biologis baru yang paling penting dan berbahaya di Tiongkok dalam satu dekade”.
Saya ingin mengutip beberapa paragraf di dalam novel tersebut sebagaimana yang viral di media daring yang terjemahan bebasnya:
“They call the stuff ‘Wuhan-400’ because it was developed at their RDNA labs outside of the city of Wuhan, and it was the four hundredth viable strain of man-made micro-organisms created at that centre.
“Wuhan-400 is a perfect weapon. It afflicts only human being. No other living creature can carry it. And like syphilis, Wuhan-400 can’t survive outside a living human body for longer than a minute, which means it can’t permanently contaminate objects or entire places the way anthrax and other virulent microorganisms can. And when the host expires, the Wuhan-400 within him perishes a short while later, as soon as the temperature of the corpse drops below eighty-six degrees Fahrenheit”.
(Terjemahan bebasnya kira-kira: Mereka menyebutnya “barang” Wuhan-400 karena dikembangkan di laboratorium RDNA mereka di luar kota Wuhan dan merupakan keturunan ke-400 dari organisme yang dibuat di pusat penelitian itu.
Wuhan 400 adalah senjata yang sempurna. Itu hanya menimpa manusia, tidak ada makhluk hidup lain yang bisa membawanya. Dan seperti halnya dengan sifilis, Wuhan-400 tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia, yang hidup selama lebih dari satu menit, yang artinya tidak dapat mencemari objek secara permanen, seperti antraks dan mikroorganisme ganas lainnya. Dan ketika penderita berakhir, Wuhan-400 di dalam segera mati dalam waktu singkat, segera setelah suhu korban (mayat) turun di bawah delapan puluh derajat si Fachreneit).
Membaca “The Eyes of Darkness” saya teringat salah satu novel yang dikutip Prabowo Subianto dalam debat calon presiden pada tahun 2019 berjudul “Ghost Fleet” yang ditulis P.W Singer dan August Cole. Novel 400 halaman itu diterbitkan 30 Juni 2015 oleh Houghton Mifflin Harcour di New York, Amerika Serikat. Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030.
Perbedaan antara “The Eyes of Darkness” dengan “Ghost Fleet” adalah terkait aspek aksiologis, manfaat atau tujuannya. Jika novel pertama berkaitan dengan aspek kesehatan dan perlunya kewaspadaan, novel kedua justru ditujukan untuk kepentingan politik.
Pengambilan contoh novel “Ghost Fleet” jika dikaitkan dengan variabel situasional dan relasional dalam teori analisis wacana kritis-nya Norman Fairclough jelas terbaca. Pilihan pesan novel tersebut disampaikan dalam situasi pesta demokrasi (politik) dan demi kepentingan meraih dukungan.
Untuk memahami apakah sebuah novel dapat “dipercaya” sebagai rujukan untuk mengetahui suatu peristiwa, tentu saja kita harus kembali menengok hakikat karya sastra genre ini. Selain sebagai suatu karangan prosa panjang dan mengandung cerita kehidupan seseorang dan di sekelilingnya, novel juga merujuk pada karya roman yang pernah dikenal di Indonesia pada masa pra-kemerdekaan.
Kisah yang terungkap di dalam novel atau roman dapat berupa peristiwa nyata dan faktual yang dibangun dengan narasi novel atau roman. Namun, banyak novel dikenal sebagai cerita fiksi. Walter Scott (1771-1832), seorang novelis sejarah, penyair dan dramawan Scotlandia mendefinisikannya sebagai “narasi fiktif dalam bentuk prosa atau sajak. Tujuannya. menjadikan peristiwa di dalamnya sebagai momen yang luar biasa dan jarang terjadi”, sementara dalam novel “peristiwa-peristiwanya merupakan rentetan peristiwa nyata yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia dan keadaan masyarakat saat itu”.
Fiksionalitas, hal yang paling sering disebut sebagai pembeda antara novel dengan historiografi. Sejarawan juga membuat gaya penulisan yang serupa untuk tujuan didaktik. Novel pun dapat menggambarkan realitas sosial, politik, dan kepribadian seseorang atau suatu tempat dan periode waktu. Berkaitan dengan “The Eyes of Darkness”-nya Dean Koontz terserah pembaca memaknainya.
*Wartawan Senior Sulawesi Selatan, pensiunan dosen Unhas dan penulis buku, tinggal di Makassar