Oleh: M Dahlan Abubakar*
Wabah pandemi Covid-19 sudah melanglangbuana. Dari waktu ke waktu kecenderungan korban menunjukkan grafik yang menaik. Secara global hingga Selasa (21/4/2020( tercatat 2.482.004 orang positif, sembuh 652.150 orang, dan meninggal 170.456 orang. Secara nasional pada periode yang sama, positif 6.760 orang, sembuh 747 orang, dan meninggal dunia 590 orang.
Di balik mewabahnya Covid-19 mengusung dua aspek yang sangat dominan, yakni ujian bagi kedisiplinan dan kepedulian kita sebagai mahluk sosial. Ujian kedisiplinan ini berkaitan ketaatan kita terhadap imbauan dan larangan pemerintah perihal tetap di rumah, tetap menjaga jarak, hindari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir, gunakan masker jika ke luar rumah, dan konsultasikan ke rumah sakit jika mengalami gangguan kesehatan. Imbauan ini semata-mata dimaksudkan agar setiap orang dapat memastikan diri tidak tertular oleh (dan menularkan) Covid-19.
Dari aspek kepedulian, sisi kedisiplinan pun merujuk kepada pentingnya kita juga peduli terhadap orang lain. Kepedulian ini berkaitan dengan tidak menjadi penular virus kepada orang lain. Bentuknya adalah dengan secara sadar menghindarkan diri dari kerumunan lebih dari empat orang. Ketika kita menularkan virus kepada orang lain, maka mata rantainya orang tersebut akan menularkan kepada orang lain yang pernah berinteraksi dengannya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah kita yang kebetulan memiliki berlebih dituntut peduli membantu pihak yang membutuhkan. Misalnya dalam bentuk urunan mengumpulkan dana bagi pengadaan alat pelindung diri (APD) atau kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) bagi yang sangat embutuhkan sebagai damppak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlaku di suatu daerah.
Ujian Berat
Menegakkan disiplin, termasuk di dalam kaitan dengan peraturan PSBB ini menjadi ujian berat bagi aparat penegak hukum dalam organiasi Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 ini. Pasalnya, meskipun seluruh media tidak jemu-jemunya menyiarkan mengenai imbauan dan larangan pemerintah kepada warga untuk menghambat dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19, namun masih banyak warga yang cuek. Seolah mereka tidak peduli dengan imbauan tersebut. Ya, identik dengan masih ada masjid di Makassar yang tetap terbuka sebagai tempat pelaksanaan salat Jumat dan salat berjamaah. Padahal, tempat ibadah merupakan salah satu tempat yang rentan terhadap terjadinya penularan virus ini. Apalagi di masjid tersebut ada pendingin ruangan, sehingga dikhawatirkan mempercepat penularan virus jika ada salah seorang yang positif.
Bicara soal kedisiplinan dan penaatan terhadap peraturan pemerintah, warga negara Indonesia memang termasuk “manusia elastis”. Maksudnya, dia bisa disiplin jika di suatu tempat diketahuinya pelanggaran terhadap suatu disiplin memang tidak ada ampunnya. Artinya dia akan dikenai sanksi yang tidak ada kompromi. Samahalnya dengan jika warga negara Indonesia ke Singapura, negara yang tidak sembarangan tempat bisa orang merokok, para perokok akan patuh dan tidak akan pernah berani melanggar aturan di negara itu karena sudah mengetahui sanksinya dan tidak ada kompromi. Namun, apa yang terjadi, setelah kembali ke Indonesia, segelintir orang yang tidak disiplin akan kembali cuek menaati larangan merokok di tempat yang sebenarnya sudah ada papan bicara “Dilarang Merokok”.
Persoalan disiplin memang tidak melulu masalah eksternal, peraturan dan sebagainya, tetapi yang lebih penting adalah pada kesadaran diri setiap orang. Kesadaran ini bersumber dari pendidikan, lebih khusus lagi berhubungan dengan pemahaman tentang pengetahuan suatu permasalahannya.
Di sinilah perlunya adanya sosialisasi yang masif dari pihak jajaran pemerintah memberi pemahaman kepada masyarakat. Sosialisasi ini merupakan awal dari pelaksanaan suatu peraturan yang mengikat warga, khususnya PSBB kelak.
Menjelang penerapan PSBB di Kota Makassar memang pemerintah kota memerlukan beberapa hari untuk melakukan sosialisasi kepada warga. Sosialisasi ini dimaksudkan guna memastikan bahwa masyarakat sudah mengetahui seperti apa larangan dan yang tidak boleh dilakukan selama PSBB. Yang juga sangat perlu adalah pengawasan dan sanksi yang harus diterima warga jika mengabaikan PSBB ini.
Penerapan PSBB di Kota Makassar merupakan pilihan yang berat bagi pemerintah karena akan berdampak luas bagi seluruh sektor kehidupan masyarakat kota ini dan daerah-daerah sekitarnya. Namun, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kota untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 kecuali menerapkan PSBB tersebut. Pejabat Wali Kota Makassar M.Iqbal Suhaeb menegaskan, dia tidak mau menunggu banyak korban baru mengambil tindakan menerapkan PSBB tersebut.
Melihat realitas penerapan PSBB di DKI Jakarta yang merupakan kota metropolitan, masih banyak warga yang cuek dengan pembatasan ini. Aparat penegak hukum masih menemukan banyak warga yang seolah tidak tahu kalau di DKI sudah diterapkan PSBB. Bagaimana dengan warga di Kota Makassar kelak?
Penerapan PSBB memang bagaikan dua sisi mata uang. Jika warga tetap tetap tinggal di rumah, lantas mereka yang bekerja di sektor nonformal, termasuk yang bekerja di sektor pelayanan jasa, bagaimana menyambung hidup agar dapur mereka tetap berasap. Apalagi pemerintah juga melarang mereka mudik karena dikhawatirkan akan menularkan virus ini ke keluarganya di kampung. Jika mereka ke luar rumah untuk bekerja, akan berhadapan dengan PSBB.
Melihat posisi PSBB tersebut yang bagaikan buah simalakamma, maka memang kita harus ada pilihan yang terbaik. Apakah tetap melaksanakan aktivitas di luar rumah dan membiarkan diri kita terbuka kemungkinan ditulari virus atau tetap tinggal di rumah dan terhindar dari penyebaran virus. Ini yang perlu dipahamkan kepada masyatakat. Sama dengan kepada segelintir jamaah masjid yang tetap melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah di masjid, meski sudah ada imbauan agar masjid ditutup untuk sementara hingga virus ini reda. Di Masjidil Haram saja sudah beberapa minggu ini tidak lagi terbuka sebagai lokasi salat bagi umat. Tayangan TV Arab Saudi yang sering menyiarkan langsung kegiatan ibadah di lokasi kiblat umat Islam tersebut, kini hanya menyajikan gambar gedung-gedung dan sepinya Kota Mekkah dari lalu lintas kendaraan dan orang. Mengapa kita di Indonesia masih ngotot mengatakan ini kewajiban? Padahal Majelis Ulama Indonesia juga sudah mengeluarkan fatwa. Ini terkait disiplin dan peduli kita.
Oleh sebab itu, kepedulian pemerintah menyediakan dana bantuan sosial adalah pilihan yang sangat tepat dan bijaksana. Penggelontoran dana bantuan sosial ini merupakan bentuk “sence of crisis” pemerintah terhadap penderitaan rakyat yang terkena dampak virus mematikan ini. Tetapi yang perlu diingat, berdasarkan pengalaman-pengalaman lalu, penggelontoran dana secara masif untuk kegiatan darurat dan bencana seperti ini kerap diikuti sikap tidak terpuji oleh para pengelolanya. Ya, seperti juga ada aparatur sipil negara (ASN) di Makassar yang menimbun masker di tengah kebutuhan APD tersebut sangat tinggi. Ya, singkatnya memanfaatkan kesempatan di tengah kedarurtan.
*Penulis, Wartawan Senior, Akademisi, Penulis Buku, Putra Bima dan Tinggal di Makassar