Kota Bima, Kahaba.- Pasca kisruh yang terjadi di Pengadilan Raba-Bima, Kamis, 1 Agustus 2013 lalu antara Jaksa Penuntut umum (JPU), Edi Tanto Putra, SH dengan keluarga korban yang menilai lemahnya tuntutannya JPU (3 tahun, red) dalam kasus pemerkosaan seorang guru di Kecamatan Woha dengan terdakwa seorang anggota polisi.
Senin siang, 12 Agustus 2013, belasan orang keluarga korban yang berasal dari Desa Naru Kecamatan Woha Kabupaten Bima menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kejaksaan Negeri Raba Bima dan kantor Pengadilan Negeri Raba Bima.
Kordinator Aksi, M. Yusuf dalam orasinya menilai lemahnya tuntutan Jaksa terhadap kasus pemerkosaan menandakan lemahnya penegakan hokum di Bima. Semestinya, dalam kasus yang mengakibatkan rusaknya masa depan seseorang apalagi dilakukan oleh oknum polisi proses dan tuntutan hukum harus lepas dari intervensi, kepentingan maupun uang.
“Tuntutan Jaksa selama 3 tahun untuk terdakwa adalah indikasi kuat bahwa di Kejaksaan Negeri Raba Bima adalah lembaga ‘Bursa Saham’ (Jual Beli) kasus,” tudingnya.
Dalam pernyataannya, Yusuf mengklaim bahwa hukum di Bima selama ini selalu menindas kaum lemah, sementara yang memiliki uang dan kekuasaan dapat lebih leluasa mengatur hukum.
Lagi-lagi Yusuf mengungkapkan, tuntutan 3 tahun oleh Jaksa menandakan adanya konspirasi Jaksa dengan terdakwa. “Inilah potrem buram hukum di Bima, padahal hukum harus menjadi panglima dalam hidup berbangsa dan bernegara,” tandasnya.
Terkait kasus pemerkosaan, menurut Yusuf, tuntutan 3 tahun terhadap kasus pemerkosaan adalah ketidakadilan yang dilakukan pihak kejaksaan. Yusuf berharap pada hakim di pengadilan yang akan memvonis kasus ini jangan sampai ‘tingkah pongah’ kejaksaan ini menjadi acuan dalam memutus hukuman terhadap terdakwa nantinya, apalagi memvonis lebih ringan dari tuntutan JPU.
Menanggapi demonstrasi tersebut, Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Raba Bima, Hasan Basri, SH mengungkapkan, sidang di tanggal 1 agustus 2013 lalu dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU, terdakwa di jerat dengan dua pasal yaitu pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan dengan ancaman maksimal 12 tahun subsider pasal 289 KUHP tentang pencabulan dengan ancaman maksimal 9 tahun kurungan.
Berdasarkan fakta persidangan, lanjut Hasan, dan dari keterangan keenam orang saksi termasuk saksi korban, saksi ahli dan saksi meringankan bahwa penentuan tuntutan, jaksa berpatokan saat munculnya keraguan terhadap korban dalam perkara tersebut. ”Apa ini kasus pemerkosaan atau pencabulan,” ujarnya.
Faktanya, menurut Hasan, alat fital korban masih utuh. Tetapi dengan adanya bukti lain kasus ini mengarah ke kasus pemerkosaan sehingga jaksa simpulkan terdakwa dijerat hanya dengan pasal 285 dengan ancaman 3 tahun sesuai fakta persidangan.
“Tidak ada pertimbangan lain dalam memberikan tuntutan di kasus ini, kecuali fakta persidangan dan itu sudah cukup adil,” tegas Hasan.
Ada yang perlu diluruskan ungkap Hasan. Menurutnya, bukan berarti yang jaksa tuntut 3 tahun lalu vonisnya 3 tahun pula. “Itu tergantung pertimbangan hakim dan ini mungkin yang kurang dipahami oleh masyarakat,” kilahnya.
Terakhir Hasan menegaskan, dalam kasus ini tidak ada intervensi dari pihak manapun apalagi konspirasi dengan terdakwa. “Ini kasus murni hasil penyidikan pihak kepolisian dan fakta dipersidangan dan pihak kejaksaan meberikan tuntutan tanpa ada intervensi apapun di dalamnya,” ujar Hasan kepada Kahaba, Senin, 12 Agustus 2013. [BS]