Hukum & KriminalKabar Kota Bima

Ketua KPK Jadi Tersangka, Advokat Sorot Penanganan Kasus Mantan Wali Kota Bima

2514
×

Ketua KPK Jadi Tersangka, Advokat Sorot Penanganan Kasus Mantan Wali Kota Bima

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Dugaan kasus pemerasan oleh FB selaku mantan Ketua KPK menyeretnya sebagai tersangka di Polda Metro Jaya, membuat Sutrisno Azis, Advokat di NTB bertanya-tanya. Jangan-jangan korban FB bukan hanya mantan Menteri Pertanian SYL, tetapi masih ada korban lain yang perkaranya ditangani oleh KPK, termasuk perkara korupsi mantan Wali Kota Bima.

Ketua KPK Jadi Tersangka, Advokat Sorot Penanganan Kasus Mantan Wali Kota Bima - Kabar Harian Bima
Sutrisno Azis. Foto: Ist

Karena itu, Sutrisno meminta kepada Pimpinan KPK yang baru agar mengusut kemungkinan adanya dugaan gratifikasi atau pemerasan oleh FB terhadap tersangka HML, atau para saksi yang berpotensi menjadi tersangka selama penanganan perkara tersebut di KPK.

Ketua KPK Jadi Tersangka, Advokat Sorot Penanganan Kasus Mantan Wali Kota Bima - Kabar Harian Bima

“Hal ini perlu saya sampaikan setelah melihat progres penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima yang sedikit lamban dan hanya mendudukkan satu tersangka saja,” ujarnya, Jumat 1 Desember 2023.

Dirinya mempertanyakan, apa iya karena belum cukup bukti untuk mentersangkakan yang lain, ataukah sudah ada dugaan gratifikasi atau pemerasan terhadap saksi-saksi saat FB menjabat Ketua KPK, sehingga menyebabkan kasus ini seolah dilokalisir dengan menempatkan HML sebagai tersangka tunggal.

Jika memperhatikan pasal yang diterapkan KPK yakni Pasal 12 Huruf i dan/atau Pasal 12B UU Tipikor, rasanya mustahil tindak pidana tersebut bisa diwujudkan sendiri oleh HML tanpa bantuan pihak lain. Apalagi perkara ini berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, yang sudah pasti melibatkan kumpulan banyak orang dalam satuan kerja dan kepanitiaan.

“Orang-orang ini semestinya dapat didudukkan sebagai pelaku penyerta, apakah perannya hanya sebatas membantu atau bersama sama dengan HML mewujudkan tindak pidana,” terangnya.

Demikian juga dengan penerapan Pasal 12B UU Tipikor sebagai penerima gratifikasi sambung Sutrisno, semestinya ikut ditersangkakan pula pemberi gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Tipikor, bukankah gratifikasi baru bisa terwujud setelah adanya interaksi langsung atau tidak langsung antara pemberi dan penerima gratifikasi.

“Di sinilah kerancuannya,” tegas mantan Hakim Adhoc Tipikor itu.

Sejauh ini kata dia, KPK hanya menyematkan penerima gratifikasi saja sebagai tersangka sedangkan pemberi gratifikasinya tidak, rasanya sulit diterima akal sehat.

Dan mengingat nilai gratifikasi atau suap yang diduga diterima oleh HML cukup signifikan sekitar Rp 8,6 M, semestinya diproses berbarengan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), karena instrumen hukum TPPU dengan sistem pembuktian terbaliknya, selain lebih mudah pembuktiannya juga efektif buat merampas hasil kejahatan korupsi untuk kas negara.

“Atau mungkin KPK punya rencana lain, misalnya melimpahkan atau menyidangkan dulu perkara korupsi, baru kemudian TPPU nya menyusul seperti yang dilakukan terhadap oknum atau mantan hakim agung GBS yang saat ini sedang diproses hukum di KPK,” tuturnya.

Beberapa keganjilan proses penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima tersebut, kiranya dapat diatensi oleh KPK secepatnya. Dan sekali lagi dirinya meminta kepada pimpinan KPK yang baru agar bisa mendalami kembali kemungkinan adanya gratifikasi atau pemerasan yang diduga dilakukan oleh FB terhadap saksi-saksi yang berpotensi menjadi tersangka.

Karena boleh jadi korban dugaan pemerasan bukan hanya dialami oleh Mantan Menteri Pertanian SYL, tetapi juga dialami oleh korban-korban lain selama FB memimpin KPK.

“Tak terkecuali terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam perkara mantan Wali Kota Bima ini,” tambahnya.

*Kahaba-01