Opini

Meramal Masa Depan Visi Bima Ramah IDP dan Dahlan

359
×

Meramal Masa Depan Visi Bima Ramah IDP dan Dahlan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Zulchijjah

Zulchijjah Djuwaid
Zulchijjah

Sebagai sebuah konsep, visi Bima Ramah merupakan salah satu gagasan ideal dalam menjalankan roda pemerintahan. Ide ini bahkan akan cocok bila ditempatkan pada skala nasional.  Bila ditinjau dari segi filosofis, konsep Ramah dari pasangan terpilih ini bahkan melampui jargon kerja milik Jokowi. Intinya, secara filosof Kerja belum tentu bermakna Ramah, namun Ramah sudah pasti bermakna Kerja. Sebagai sebuah konsep,  Ini adalah sebuah visi yang perlu diapresiasi.

Namun bagaimana dengan masa depannya? Bisakah terwujud atau hanya “pemanis” yang digunakan untuk menarik massa pemilih kala itu. Tak elok memang bila hal ini dibicarakan kembali, dan masih cukup dini bila hal ini diharapkan langsung menjadi nyata dalam waktu yang singkat. Intinya, memang tak semudah membalikan telap tangan. Namun, perlu penulis ingatkan, bahwa jatuhnya pilihan para pemilih kala itu, salah satu faktornya adalah karena begitu tingginya harapan pemilih untuk terwujudnya visi Bima Ramah.

Sebelum penulis lebih jauh membicarakan “masa depan” visi Bima Ramah ini, ada baiknya sedikit penulis mengupas inti dari Ramah yang dimaksud bupati dan wakil bupati terpilih. Ramah merupakan perpaduan dari kata Religius, Aman, Makmur dan Handal. Religius secara spesifik ditunjukkan sebagai upaya membangun karakter islami dalam masyarakat. Aman sebagai upaya memberikan rasa aman kepada masyarakat, seperti penegakkan supremasi hukum. Makmur yaitu sebuah komitmen membangun ekonomi kreatif, inovatif, dan kompotitif untuk menciptakan kesejahteraan, dan Handal adalah upaya menciptakan birokrasi yang mampu memberikan pelayanan sebaik mungkin.

Melihat penjelasan tersebut diatas, intinya adalah visi Bima Ramah tidak sekedar “senyum manis”, tapi lebih jauh dari itu. Ramah adalah perangkat yang akan digunakan untuk membangun Bima kearah yang lebih manusiawi. Dekat dengan agamanya, aman dari konflik, makmur secara ekonomi, dan handal dalam menciptakan birokrasi yang melayani.

Dalam melihat masa depan visi bima ramah ini, penulis akan menyajikan beberapa variabel terpisah, namun terikat satu sama lainnya, sebagai upaya untuk menemukan satu kesimpulan atas sebuah realitas awal, untuk kemudian dibuatkan terkaan-terkaan objektif mengenai nasib (masa depan) visi Bima Ramah, sebagaimana upaya yang ingin penulis sajikan dalam tulisan ini. Secara terstruktur, penulis akan sajikan variabel-variabel tersebut dibawah ini yang merupakan suatu “tantangan” atas realitas politik yang tak terelakkan.

Upeti dan Balas Jasa

Dalam politik, tidak ada makan siang gratis. Kalimat tersebut senyatanya telah bisa mewakili dua variabel diatas (upeti dan balas jasa). Seperti Upeti adalah sesuatu yang harus dibayarkan oleh penguasa terpilih untuk membagikan sebagian yang diperolehnya dari kedudukannya kepada (umumnya adalah) partai politik pendukung (setoran yang biasanya dilakukan untuk membuat mesin partai tetap survival).

Sedangkan balas jasa berkaitan dengan utang budi yang harus pula dibayarkan oleh penguasa dari apa yang diperolehnya kepada orang-orang yang dulunya “mendukung”. Balas jasa tersebut seperti alokasi value (kebijakan) berupa bagi-bagi jabatan (jabatan strategis dijajaran SKPD seperti Kepala Dinas, Sekwan, Sekda, dll), bagi-bagi paket proyek ke kontraktor, mempermudah surat ijin bagi pengusaha, hingga alokasi dana-dana sosial ke relawan.

Sebuah kewajiban yang sangat sulit dielakkan sekaligus untuk dipenuhi. Sebab, itu artinya ada sebagian kepentingan yang harus pula diperhatikan penguasa disamping memperhatikan kepentingan rakyatnya. Diantara keduanya, tentu harus ada yang dikorbankan. Sebuah dilema yang hanya bisa dipecahkan oleh penguasa itu sendiri. Bagi penulis, ini adalah tantangan tersendiri bagi terwujudnya visi bima ramah.

Dalam teori oligarki, realitas diatas ditunjukkan untuk menjelaskan bagaimana cara kerja “tuan-tuan politik” dalam melakukan pengamanan dan peningkatan sumber daya (kekayaan) yang dimilikinya melalui jalur kekuasaan yang didominasinya melalui tangan-tangan orang lain dalam struktur pemerintahan.

Legislatif Sebagai Partner Pemerintah

Dalam menjalankan roda pemerintahan, eksekutif sebagai pelaksana harus bekerjasama dengan legislatif. Konsekuensinya, legislatif sebagai lembaga pengontrol yang juga ikut terlibat dalam pembahasan pengelolaan pemerintahan tentu memiliki posisi strategis yang tak mungkin menjadi bagian terpisah dalam merumuskan konsep visi Bima Ramah pasangan IDP dan Dahlan.

Karenanya, setiap program kerja pemerintah harus disetujui oleh DPRD dengan cara memastikan bahwa posisi kepala daerah cukup kuat dilembaga legislative (kecuali program dari pemerintahan pusat). Indikator politik untuk menentukan posisi kuat atau tidaknya adalah dengan menghitung jumlah kursi partai pengusung dan partai koalisinya.

Berdasarkan data penelusuran penulis bahwa jumlah kursi partai pengusung dan koalisi adalah sebanyak 14 kursi, diluar itu yang merupakan partai pengusung pasangan lain (sebut saja Oposisi) adalah 31 kursi. Hal ini seperti menjelaskan, bahwa bagaimana sulitnya kepala daerah mendapat persetujuan untuk menjalankan program kerjanya. Satu lagi yang menjadi tantangan untuk me”nyata”kan visi Bima Ramah.

Duet Dinda dan Dahlan

Antara kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak sepenuhnya bisa dimaknai sebagai satu kesatuan yang berbaur untuk satu kepentingan yang sama, mereka dapat terpisah karena divergensi kepentingan. Kita ambil contoh misalnya di masa kepemimpinan Dae Fery dan Usman.

Dalam teori patron dan clien, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah adalah variabel terpisah yang harus ditempatkan sebagai patron yang akan memberikan sebagian sumber dayanya kepada cliennya masing-masing. Dalam hal ini, dua patron tersebut bersaing untuk membagi sumber dayanya, yang artinya diantara keduanya harus berkompotisi. Selanjutnya, ini disebut sebagai tantangan lainnya untuk merealisasikan visi Bima Ramah.

Sebuah kesimpulan

Uraian diatas secara keseluruhan menggambarkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan, penguasa selalu saja dihadapkan dengan realitas-realitas poltik yang rumit. Itulah mengapa sebagian orang menyebut politik adalah seni mengelola kemungkinan yang ada.

Mungkinkan bagi pasangan IDP dan Dahlan mampu mengelola setiap peluang yang ada. Atau malah terjebak pada politik transaksional. Mengingat banyaknya tantangan yang akan dihadapi, sebagaimana yang telah penulis ulas diatas. Ini adalah sebuah pertanyaan besar, sebab setiap kebaikan yang tidak disertai kemampuan yang mumpuni, takkan pernah mampu menjadi kebaikan yang nyata. Visi Bima Ramah adalah impian besar yang disertai kebaikan-kebaikan didalamnya.

Pasangan IDP dan Dahlan harus menjadi yang lain dari sekian penguasa yang ada, yaitu mengambil keputusan dengan tetap menempatkan kepentingan rakyat diatas segalanya. Urusan politik praktis memang sulit untuk dihindari, tapi hal demikian akan mengalir dengan sendirinya. Ada kalanya kepentingan praktis dipenuhi, tapi sejauh itu tidak melukai hati rakyat dan semata-mata untuk tetap menjaga marwah, kehormatan, dan harga diri penguasa.

Untuk membangun kepercayaan diri penguasa dalam mengambil keputusan, Machiavelli pernah berkata bahwa seorang penguasa tak perlu risau dengan berbagai macam konspirasi sejauh rakyat dapat diperintah dengan baik. Tapi ketika rakyat tidak diperintah dengan baik dan mulai membenci, seorang penguasa harus khawatir dengan berbagai macam ancaman yang ada.

*Penulis juga Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta