Kota Bima, Kahaba.- Mulyati didiagnosa menderita penyakit kanker payudara. Warga miskin yang berusia 55 asal RT 12 RW 04 Kelurahan Tanjung itu pun hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur.
Ibu 3 anak ini mulai mengidap kanker sejak 2 tahun lalu. Lantaran tidak mendapatkan pengobatan maksimal, kanker yang dialaminya kini semakin menjalar menggerogoti bagian tubuh lainnya. Saat ini, penjual jamu keliling ini hanya terus menahan sakit. Menanti keajaiban dan kesembuhan.
Menurut cerita putra pertama Mulyati, Abdul Rahman (31), awal penyakit itu datang setelah banjir tahun 2017 lalu. Bermula dari benjolan di bagian dada. Merasa hanya sakit biasa, orang tuanya hanya minum obat tradisional.
“Benjolan itu sempat mengecil. Beberapa minggu kembali membesar, dan bertambah sakit,” ungkapnya, Jumat (18/1).
Kata dia, Mulyati sempat diperiksakan ke dokter dan dirawat di rumah sakit. Setelah melalui tindakan medis biopsi dan benjolan diambil sampel untuk tes, baru diketahui Ibu Mulyati menderita kanker payudara.
“Saat itulah ibu direkomendasi dirujuk ke Mataram. Selain diharuskan kemoterapi rutin, dibagian luka ibu harus ganti perban rutin dan selalu membutuhkan 3 kantong darah untuk transfusi,” jelasnya.
Saat terakhir berobat di RSU Provinsi NTB beberapa bulan lalu, hasil analisa medis mengungkapkan kanker ibunya memasuki stadium 3B. Kondisinya semakin parah dan butuh segera ditangani serius.
Di tengah himpitan ekonomi dan hidup serba susah, keinginan untuk berobat hanya menjadi angan – angan. Suaminya Saminu (60) hanya sehari-hari hanya penjual bakso. Saat ini, ia juga sudah tidak punya pemasukan lagi, karena berhenti berjualan akibat sakit yang diderita.
Ironisnya, menurut Abdul Rahman, selama orang tuanya sakit, belum ada perhatian serius dari Pemerintah Kota Bima. RT, RW dan Kelurahan terkesan tutup mata. Puskesmas hanya sekali pernah turun meninjau. Begitu pula Dinas Kesehatan belum ada penanganan apa-apa.
“Selama ini hanya berobat menggunakan Kartu BPJS Kesehatan. Tapi kartu layanan kelas 3 untuk warga tidak mampu ini tidaklah cukup, karena banyak kebutuhan obat dan biaya lainnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan,” ungkapnya.
Abdul Rahman mengaku telah menghabiskan biaya sekitar Rp20 juta selama beberapa kali berobat. Diantaranya, untuk kemoterapi, kebutuhan darah dan biaya hidup selama pendampingan ibunda saat dirujuk di Mataram.
Ia menambahkan, pengobatan lanjutan orang tuanya masih terkendala biaya. Ia dan keluarga hanya bisa pasrah dan tak tahu harus berbuat apalagi.
*Kahaba-01