Opini

Tema Hardiknas “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” dan Permasalahan Pendidikan

165
×

Tema Hardiknas “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” dan Permasalahan Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Adi Hidayat Argubi, S.Sos, SST.Par, M.Si*

Adi Hidayat Argubi, S.Sos, SST.Par, M.Si. Foto: Ist

Semangat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tahun 2025 sangat terasa di Kota Bima Nusa Tenggara Barat. Siswa-siswa dengan pakaian adat baik lokal maupun nusantara menghiasi sepanjang jalan yang penulis lewati ketika akan menuju sekolah untuk mengikuti upacara peringatan Hardiknas. Tema Hardiknas tahun ini sangat menggugah, yakni “Partisipasi semesta wujudkan pendidikan bermutu untuk semua”. Kenapa menggugah? Karena dalam tema ini menggugah semua elemen yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk meneguhkan dan memperkuat tekad serta komitmen untuk memajukan pendidikan. Tema yang diusung ini selaras dengan amanat konstitusi kita.

Dalam konstitusi kita, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sudah tentu usaha untuk mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan tersebut, tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.

Partisipasi semesta sangat diperlukan dalam peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang berkualitas tidak dapat dicapai hanya oleh satu pihak misalnya pemerintah saja, melainkan memerlukan keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk: Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penyedia anggaran, dan pengawas sistem pendidikan; Sekolah dan Guru sebagai pelaksana utama proses pendidikan yang menentukan keberhasilan pembelajaran di lapangan; Orang Tua dan Keluarga sebagai pendidik pertama dan utama yang membentuk nilai-nilai dasar siswa; Dunia Usaha dan Industri (DUDI) sebagai mitra penting dalam penyesuaian kurikulum agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja; Masyarakat Sipil dan LSM sebagai pengawas independen dan pendukung dalam isu-isu seperti inklusi, pemerataan akses, serta advokasi kebijakan; Media dan Teknologi sebagai penyebar informasi dan penyedia sarana belajar modern serta Siswa itu sendiri sebagai subjek utama dalam pendidikan, partisipasi aktif mereka dalam proses belajar sangat menentukan mutu hasil akhir. Tanpa kolaborasi semua pihak, perbaikan yang dilakukan akan cenderung bersifat parsial dan tidak berkelanjutan. Sebaliknya, partisipasi semesta menciptakan sistem pendidikan yang lebih responsif, kontekstual, dan berorientasi pada kebutuhan nyata masyarakat.

Tema yang diusung dalam peringatan Hardiknas tahun 2025 merupakan sindiran bagi seluruh elemen masyarakat kita yang seharusnya menjadi renungan, sudahkah semua eleman masyarakat yang penulis sebutkan di atas mengambil peran dan bagian dalam perbaikan mutu pendidikan?. Silahkan masing-masing menjawab pertanyaan ini!.

Pandangan penulis bukan hanya pemerintah yang harus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat, tetapi elemen masyarakat tersebutlah yang harus melibatkan diri dalam konteks perbaikan mutu pendidikan ini. Semua elemen masyarakat harus bertanggungjawab dalam memajukan pendidikan, misalnya orang tua/wali siswa menanamkan karakter dalam pembinaan berbasis keluarga, masyarakat melibatkan diri dalam menjaga agar nilai, norma dan moralitas, seperti ketika melihat siswa berpacaran, melakukan perbuatan asusila disepanjang pantai Amahami, Lawata, Wadumbolo, Ni’u sampai Panda dengan berpelukan di atas motor dan perbuatan menyimpang lainnya, maka masyarakat harus merasa bersalah untuk tidak menegur dan wajib untuk menasehati mereka untuk tidak melakukan hal yang melanggar nilai, norma dan moralitas baik dari aspek agama maupun nilai dan norma yang berlaku di masyarakat “Dou Mbojo”.

Kasus penangkapan terduga pelaku pembunuhan di depan SMAN 4 Kota Bima di Ntobo memberikan gambaran betapa remaja kita begitu sangat bebas di mana divideo penangkapan pelaku terlihat 2 (dua) orang laki-laki dan 2 (dua) orang perempuan tidur bersama dalam satu kamar, dan orang tua serta masyarakat kita lalai tidak mengetahui dan menegur perilaku menyimpang dan tidak “pantas” dalam kontek agama dan sosial “dou mbojo”. Orang tua/wali siswa dan masyarakat menjadi abai atau kurang peduli terhadap persoalan ini maka tidak heran sering kita mendengar kalimat “Ana janga na ma moda na ngupa ku sampe raka na…Ana ndai na ma moda wati bade na dawara ta uma”.

Bukankah leluhur kita mengajarkan bahwa anak antara magrib dan isya diantarkan ke guru ngaji atau diajari mengaji? Kenapa kita lupa dengan ajaran ini?. Peran orang tua/wali dan juga masyarakat ini harus direvitalisasi dalam sebuah sistem pendidikan yang terikat satu dengan yang lain, sehingga perbaikan mutu pendidikan ini dapat sinergi.

Demikian juga dengan elemen lain, kira-kira Dunia Usaha dan Dunia Industri (DuDi), LSM, Media dan elemen lain mengambil peran apa dalam konteks perbaikan mutu pendidikan ini harus diformulasi bersama. Penulis sepakat bahwa ekosistem pendidikan ini harus dibenahi, pemerintah, masyarakat, orang tua/wali, sekolah, siswa, DuDi, Media dan LSM terlibat dalam upaya ini demi pendidikan yang bermutu sesuai tujuan pendidikan nasional kita.

Selama ini penulis melihat ada gap yang tampak atau mata rantai yang terputus antar semua elemen pendidikan ini bahkan terlihat jalan sendiri. Tampak selama ini terlihat gap antara pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dengan pendidikan formal, sehingga ketika ada masalah maka akan saling menyalahkan satu sama lain. Sering sekolah sebagai lembaga formal yang disalahkan dan menjadi kambing hitam atas setiap permasalahan siswa, misalnya ketika ada masalah siswa yang telibat narkoba, prostitusi, perkelahian dan bahkan pembunuhan maka pihak yang disorot adalah sekolah. Kita lupa bahwa pendidikan ini adalah sebuah sistem dan setiap elemen merupakan sub-sub sistem yang terkait satu dengan yang lain dan memiliki tanggungjawab ketika ada masalah.

Ketika sekolah sebagai lembaga formal sering disalahkan maka penulis sebagai guru melakukan intropeksi dan menyadari bahwa sekolah selama ini lebih banyak memberi ruang dengan lebih banyak kegiatan murid yang mengisi kognisi mereka, karena anggapan bahwa apabila keilmuan murid baik maka akan berbanding lurus dengan sikap dan perilaku mereka. Maka tidak heran guru setelah selesai mengajar sesuai beban mengajar syarat sertifikasi 24 jam merasa bahwa sudah selesai tugasnya sebagai guru, padahal ada peran yang dapat diupayakan untuk terus membina karakter murid misalnya membersamai murid sholat Dhuha sebelum mulai belajar, menemani ketika kegiatan Imtaq Jum’at, bahkan membina mereka untuk persiapan menjadi pengisi Imtaq, mendampingi murid sholat Dhuhur berjamaah di Mushollah sekolah dengan menuntun mereka dari kelas, mengambil air wudhu dan mendampingi mereka sholat serta bahkan memberikan nasehat singkat yang dapat merubah sikap dan perilaku mereka, atau bahkan meluangkan waktu di sore hari untuk membina mereka melalui kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh guru, dengan jadwal bergantian sehingga guru mendapat jatah membina.

Kira-kira bisa dan rela tidak Bapak/Ibu guru hebat di Kota Bima melakukan ini dalam konteks perbaikan mutu pendidikan disekolah?.

Harus kita sadari bahwa asumsi jika keilmuan atau prestasi bagus maka akan berbanding lurus dengan sikap perilaku tetapi faktanya sering tidak seperti itu, banyak orang pintar tetapi memiliki moral yang kurang baik. Ini menjadi “pekerjaan rumah” kita guru untuk menyeimbang aspek pendidikan berbasis kognisi siswa dengan pendidikan berbasis karakter.

Peringatan Hardiknas Tahun 2025 menjadi momentum untuk menilai apakah pendidikan kita sudah berhasil mencapai tujuan pendidikan nasional atau belum. Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa. Namun, sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan saling berkaitan. Beberapa permasalahan yang mencolok antara lain adalah kesenjangan akses pendidikan, kualitas tenaga pendidik, kurikulum yang belum adaptif, dan dampak teknologi yang belum sepenuhnya termanfaatkan secara positif.

Poin masalah terakhir menjadi cacatan khusus penulis dalam artikel ini. Dalam era digital seperti sekarang, sumber belajar semakin beragam, mulai dari video pembelajaran, artikel daring, hingga aplikasi edukatif. Namun, di tengah banjir informasi ini, muncul kembali perdebatan tentang urgensi siswa untuk “kembali ke buku teks.” Buku teks yang sempat menjadi sumber utama belajar kini kerap dianggap usang. Namun, jika ditinjau secara kritis, buku teks masih memegang peranan penting dalam mendukung proses pendidikan yang sistematis, terarah, dan berbasis kurikulum.

Salah satu tantangan utama dari penggunaan internet sebagai sumber belajar adalah keabsahan informasi. Banyak siswa mengandalkan hasil pencarian cepat tanpa memverifikasi kredibilitasnya. Buku teks, sebaliknya, disusun oleh ahli di bidangnya dan melewati proses editorial yang ketat. Ini menjadikannya sumber yang relatif lebih aman dan terpercaya untuk membentuk dasar pengetahuan. Penggunaan buku teks mendorong siswa untuk membaca secara mendalam, tidak hanya sekadar mencari informasi secara cepat. Aktivitas ini memperkuat kemampuan membaca kritis, memahami konteks, serta menarik kesimpulan dari teks panjang semua keterampilan penting dalam berpikir akademik dan analitis. Buku teks memungkinkan siswa untuk mencatat, memberi tanda, atau mengulas kembali bagian-bagian penting. Hal ini membentuk kebiasaan belajar yang konsisten dan reflektif berbeda dengan pembelajaran digital yang cenderung bersifat cepat dan fragmentaris.

Permasalahan lain yang muncul pada konteks ini adalah penyalahgunaan Ponsel/HP sebagai alat untuk mencari sumber informasi belajar yang beralih menjadi media untuk bermain game online dan mengakses konten negatif, menjadi penyakit baru dikalangan siswa yang perlu ditangani secara bijak, sehingga penggunaan keduanya menjadi seimbang dan positif dampaknya.

Permasalahan pendidikan di Indonesia adalah persoalan multidimensi yang memerlukan solusi strategis dan terintegrasi. Perlu ada reformasi menyeluruh, mulai dari peningkatan kualitas guru, pemerataan akses, hingga penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan zaman. Penggunaan teknologi juga harus diarahkan secara bijak untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, bukan sekadar menjadi alat formalitas.

Dengan komitmen dari semua elemen sebagaimana yang penulis sebutkan dalam sistem pendidikan kita, pendidikan Indonesia umumnya dan Bima khususnya dapat berkembang menjadi lebih inklusif, berkualitas, dan relevan. Partisipasi semesta wujudkan pendidikan bermutu untuk semua adalah jawaban untuk perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan kita. Selamat Hari Pendidikan Nasional…Menjadi Guru Adalah Pilihan Profesi Mulia.

*** Penulis adalah Guru SMK Negeri 3 Kota Bima dan Kepala Badan Penjaminan Mutu Universitas Mbojo Bima