Kabar Kota Bima

Dituntut 2 Tahun Penjara, Agus dan PH Sampaikan Nota Pembelaan

768
×

Dituntut 2 Tahun Penjara, Agus dan PH Sampaikan Nota Pembelaan

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Agus Mawardy melalui kuasa hukumnya Nukrah Kasipahu menyampaikan pledoi atau nota pembelaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Raba Bima, Rabu 5 April 2022. Sidang terkait tindak pidana penyalahgunaan narkotika jenis Sabu-sabu tersebut pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Agus Mawardy dengan ancaman hukuman 2 tahun penjara.

Dituntut 2 Tahun Penjara, Agus dan PH Sampaikan Nota Pembelaan - Kabar Harian Bima
Nukrah Kasipahu, Kuasa Hukum Agus Mawardy. Foto: Ist

Nukrah melalui nota pembelaan mengatakan, dalam persidangan sebelumnya para saksi hanya dari anggota TNI saja. Tidak ada keterangan dari saksi lainnya seperti dari pihak masyarakat dan saksi anggota Kepolisian. Persidangan yang hanya berdasarkan keterangan saksi 3 anggota TNI yang awalnya mencurigai kliennya, karena memasuki rumah seorang wanita yang berstatus memiliki suami, diindikasi adalah sesuatu keadaan yang sengaja dikondisikan. Sebab, sepengetahuan kliennya, perempuan itu yang mengundang kliennya untuk ke rumahnya itu sebelumnya mengaku seorang wanita yang berstatus janda atau tak memiliki suami.

“Semestinya, saat persidangan dalam jadwal pemangggilan saksi, perempuan tersebut juga harus dihadirkan untuk dikonfirmasi beberapa hal terkait dengan pengungkapan fakta-fakta kebenaran, termasuk statusnya yang masih memiliki suami atau tidak,” katanya.

Di tambah pula, tidak dilakukan pengembangan terhadap perkara terdakwa dengan tidak diamankan atau ditangkapnya lelaki inisial B, selaku pengedar narkoba di Kelurahan Rabadompu Barat tempat kliennya membeli narkoba dan hanya ditetapkan sebagai DPO. Sementara informasi yang kliennya dengar, saudara B hingga saat ini ada di rumahnya dan masih bermain serta menjual narkoba, tapi tidak ditahan dan diamankan.

Selain itu, terkait dengan peranan kliennya dalam kasus narkotika jenis Sabu-sabu seharga Rp150 ribu atau seberat 0.05 gram yang juga telah diakui oleh kliennya digunakan sendiri. Dalam hal ini harus dapat dibedakan antara pengedar atau bandar dengan penyalahguna. Sebab, selama ini penegak hukum tidak mengedepankan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika, ketimbang penjatuhan hukuman pidana.

“Tindakan dan perlakuan yang berbeda antara pengedar dan penyalah guna narkotika tidak pernah tegas dilakukan para penegak hukum,” tegasnya.

Sejauh ini, para penegak hukum lebih banyak menjerat dengan Pasal 127 dan atau Pasal 112 terhadap penyalah guna, karena lebih mudah pembuktiannya. Dan mengabaikan adanya peraturan lain seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Permenkes tentang penyalahgunaan atau korban penyalahguna atau pecandu narkoba yang mesti dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kondisi tersebut berakibat penyalah guna narkotika tidak memiliki kesempatan memulihkan ketergantungannya. Dengan tidak pulihnya ketergantungan tersebut, berpotensi penyalah guna menggunakan/memakai narkotika kembali baik di dalam penjara maupun setelah menjalani hukuman penjara. Akibatnya, praktik jual beli narkotika semakin subur, bahkan di dalam penjara sekalipun.

Selain itu, UU Narkotika lebih mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara yang menimbulkan permasalahan lain yaitu daya tampung penjara yang saat ini sudah melebihi kapasitas (over kapasitas). Penjara yang penuh menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan bagi warga binaan dan petugas penjara. Sesaknya penjara juga berpotensi tingginya konflik di dalam penjara.

Untuk itu, terkait dengan perkara yang dialaminya dan sesuai dengan surat hasil assismen yang diterbitkan oleh BNN Kabupaten Bima bahwa kliennya Agus Mawardy sebelumnya telah direkomendasikan untuk dilakukan rehabilitasi. Maka, pihaknya harap kepada Majelis Hakim lebih mengedepankan putusan untuk dilakukan proses rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika atau kepada terdakwa dibanding penjatuhan sanksi pidana.

Tuntutan Jaksa terhadap kliennya yang hanya memiliki Sabu-sabu seberat 0.05 gram atau 10 kali lipat lebih kecil, malah dituntut 2 tahun penjara. Hal ini tentu mewujudkan rupa ketidakadilan hukum dalam perkara yang sedang kliennya jalani. Sementara itu, dalam tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum bahwa yang memberatkan di mana terdakwa karena dianggap tidak membantu program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan kesimpulan yang tidak bisa dibenarkan sepenuhnya.

Pasalnya, selama kliennya berprofesi sebagai aktivis sosial hingga berprofesi sebagai Jurnalis selama belasan tahun terakhir, selalu mendukung peran dan program pemerintah dalam upaya pemberantasan dan perang terhadap narkoba.

“Hal ini dilakukan Agus melalui tulisan-tulisan dan pandangannya di berbagai media konvensional, pemberitaan dan media sosial yang ada. Dan terkait masalah penggunaan narkoba yang dilakukan terdakwa adalah penyakit pribadi yang dialami oleh terdakwa agar bisa dilakukan proses rehabilitasi ke depannya,” katanya.

Sementara berdasarkan Analisis Yuridis, Nukrah menjelaskan Bahwa proses peradilan pidana adalah suatu proses persidangan yang sangat berbeda dengan proses persidangan lainnya, karena dalam suatu proses persidangan pidana haruslah dapat diukur seberapa jauh kesalahan yang terdapat pada diri seorang terdakwa pada dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian berdasarkan hal ini, dapat pula diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggungjawaban pidana yang bisa dilekatkan pada seorang terdakwa.

Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (strafbarehandeling) terletak pada wujud suatu perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari perbuatannya sebagai bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukumnya adalah bahwa seorang penuntut umum wajib membuktikan unsur esensial dari “strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan tersebut, begitu pula pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari strafbarehandeling tersebut.

Berbicara pertanggung jawaban pidana, maka semuanya akan bergantung dengan adanya suatu tindak pidana (delik). Tindak pidana di sini, berarti menunjukkan adanya suatu perbuatan yang dilarang. Kata delik atau delictum memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang, di mana dalam hal hukum pidana sendiri kita mengenal adanya dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Maka sambung Nukrah, kliennya yang saat ini duduk di hadapan Majelis Hakim sebagai terdakwa, benar-benar menaruh harapan agar kiranya dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Saat ini kliennya tidak ada harapan lain selain berharap kepada Majelis Hakim yang dapat memutus perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya.

“Kami meminta keringanan atas seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum untuk menjatuhkan hukuman kepada klien kami selama 5 bulan penjara atau menghukum impas sesuai dengan lamanya hukuman kliennya saat ini. Atau menjatuhi hukuman rehabilitasi medis,” tambahnya.

*Kahaba-01