Opini

Akselerasi Menuju Kota Bima “BISA” Melalui Kesadaran Kolektif

81
×

Akselerasi Menuju Kota Bima “BISA” Melalui Kesadaran Kolektif

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Usman*

Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar). Foto: Ist

Sejumlah daerah telah meluncurkan berbagai gerakan, program atau apapun namanya, seperti Gerakan Kota Bima “BISA”, yang muara akhirnya tercipta daerah atau kota yang bersih, indah, sehat, asri, lestari, aman, nyaman, tertib. Pemerintah Kota Makassar misal, sejak belasan tahun lalu meresmikan program gerakan “Makassar ta’ Tidak Rantasa”. Dalam memperkenalkan gerakan “Makassar ta’ Tidak Rantasa”, program tersebut diabadikan pada tulisan di papan reklame dan lain sebagainya.

Karena ini semua adalah bentuk kepedulian pemerintah pada lingkungan. Maka dibuatlah berbagai istilah seperti, gerakan MTR (Makassar ta’ Tidak Rantasa), LISA (Lihat Sampah Ambil), LONGGAR (Lorong Garden), MABASA (Makassar Bebas Sampah), MABELO (Makassar Bersih Lorong), dan masih banyak lagi istilah lainnya. Semua ini bertujuan agar masyarakat bisa lebih mudah mengingat dan menjadikan slogan tersebut sebagai motivasi untuk mengkaji betapa pentingnya menjaga kebersihan, keindahan, kesehatan, keasrian, dan kelestarian lingkungan.

Tidak rantasa dalam bahasa Makassar berarti tidak kotor atau tidak jorok. Secara sosiologis menggunakan bahasa tidak rantasa untuk membangkitkan siri’ na pacce (Bugis Makassar) atau “maja labo dahu” (Bahasa Bima) yang akan selalu malu jika tidak menjaga kebersihan.

Akselerasi atau percepatan menuju Kota Bima “BISA” membutuhkan upaya dan kesadaran kolektif bersama. Setiap orang punya tanggung jawab, seperti terus menumbuhkan empati dan solidaritas sosial dalam kehidupan kolektif.

Kesadaran kolektif sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang bersih, indah, sehat, dan asri. Ketika individu dalam suatu komunitas memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya menjaga kebersihan, keindahan, kesehatan, keasrian, dan kelestarian lingkungan, maka akan tercipta upaya bersama yang lebih efektif untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan nyaman. 

Kesadaran Kolektif (Collective Consciousness)

Konsep collective-consciousness ini adalah bahasan yang tak asing di ranah keilmuan sosiologi. Collective-consciousness atau biasa disebut kesadaran kolektif adalah solusi paling tepat di saat sekarang ini. Kenapa bisa tepat? Karena tidak akan bisa jika kita hanya bergerak sendiri-sendiri, perlu satu nafas pergerakan yang didahului dengan kesadaran serta keyakinan untuk melawan satu musuh.

Tentu juga harus diikuti dengan collective-action. Collective-action ini adalah gerak responsif secara kolektif yang mana menjadi bagian mutlak dari keberlanjutan collective-consciousness ketika sudah terbentuk.

Konsep ini tidak akan asing bagi orang yang belajar tentang sosiologi dan tokoh fenomenalnya, Emile Durkheim. Bukunya di tahun 1893 berjudul The Division of Labour Society telah membedah tuntas tentang konsep tersebut.

Mari kita lihat definisi langsung yang diberikan langsung oleh tokoh sosiologi tersebut: “The totality of beliefs and sentiments common to the average members of a society forms a determinate system with a life of its own. It can be termed the collective or common consciousness.” (Allan dalam Umanailo, 2016).

Durkheim berpendapat bahwa kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri (Ritzer & Goodman, 2011).

Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi Durkheim. Peratam, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut keseluruhan kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain, kesadaran kolektif bukan hanya sekadar cerminan dari basis material. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual (Ramadhana, 2017).

Emile Durkheim dengan jelas menunjukkan bahwa kesadaran kolektif berwujud keyakinan secara total di rata-rata anggota dari masyarakat. Jika ini terbentuk, maka sistem kehidupan akan terbentuk menyesuaikan kesadaran kolektif tersebut. Bahkan lebih lanjut, Durkheim dalam bukunya berjudul ‘Suicide‘ memberikan contoh konkrit dalam hubungannya konsep ini terhadap tingkat kasus bunuh diri. Ia membuktikan jika kesadaran kolektif semakin rendah, maka akan berefek terhadap solidaritas yang semakin rendah pula, kemudian berujung kepada tingkat bunuh diri yang meningkat.

Menurut Tom Campbell (Umanailo, 2016) kesadaran kolektif mengandung semua gagasan bersama yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman dari setiap individu-individu yang ada di masyarakat dan yang menjadi tujuan atau maksud kolektif. Masyarakat harus memiliki kesadaran situasi kedaruratan.

Aksi Kolektif

Setelah terbentuk kesadaran kolektif terkait situasi kedaruratan, seperti dalam menghadapi kedaruratan sampah, baru beranjak ke kolektif aksi atau aksi kolektif. Kolektif aksi akan otomatis terwujud jika ada kesadaran situasi kedaruratan.

Aksi kolektif adalah proses pengambilan keputusan bersama untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Damsar, 2011.). Cohen (2002) berpendapat bahwa aksi kolektif ditandai oleh aksi yang tidak tersusun, spontan, emosional, dan tidak dapat diduga, individu-individu yang terlibat dalam perilaku kolektif tanggap terhadap rangsangan tertentu yang mungkin datang dari orang lain dan bersifat khusus.

Marshal (Usman, 2024) mengartikan aksi kolektif sebagai aksi yang  dilakukan oleh sebuah kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh partisipannya yang membedakannya dengan usaha kolektif oleh kelompok-kelompok pekerja yang dibayar.

Milgram dan Touch (Daulay, dkk. 2020) berpendapat bahwa aksi kolektif ialah aksi yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisir serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada situasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya.

Setiap aksi kolektif senantiasa melibatkan organisasi untuk mendisain aturan-aturan main dan melaksanakan aksi kolektif yang disepakati, menggalang proses partisipasi,  dan menegakan aturan-aturan yang telah diterima, yang dianggap akan memberikan manfaat bagi kelompok.  

Meskipun terdapat banyak manfaat non material yang diperoleh melalui aksi-aksi kolektif, namun terdapat banyak bukti bahwa manfaat yang bersifat material juga mempengaruhi kemuncuan berbagai aksi kolektif.

Menurut Eggertsson (Dayakisni,2009), masalah-masalah penting dalam aksi kolektif atau bersama adalah (a) munculnya perilaku free riding sehubungan dengan keinginan individu untuk memaksimumkan utilitasnya, (b) biaya aksi kolektif (collective action cost) sehubungan dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan, (c) ukuran kelompok (group size), dan (d) koordinasi antar pelaku.

Jadi aksi sosial bisa ditafsirkan secara umum sebagai tindakan bersama yang dilakukan untuk kepentingan bersama dengan kriteria sebagai berikut : dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang bekerja sama; tidak diwajibkan/diperintahkan oleh siapapun;  dilakukan tidak untuk keuntungan pribadi tapi dilakukan untuk kebaikan masyarakat; dan merupakan usaha untuk membawa perubahan sosial.

Atau dalam kesimpulan lain bahwa aksi kolektif : dilakukan secara bersama oleh sejumlah orang; bersifat spontanitas dan tidak terstruktur; tidak bersifat rutin; dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.

Kesadaran Kolektif Versus Kesadaran Individu

Di samping memperkuat kesadaran kolektif sebagai upaya cerdas menuju Kota Bima “BISA”, diperlukan pula kesadaran diri.

Kesadaran kolektif bermula dari kesadaran individu. Dalam bidang ilmu psikoanalisa, Freud (Semiun, 2006) menyebut kesadaran merupakan satu-satunya tingkat kehidupan mental yang secara langsung tersedia bagi kita.

Kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual. Menurut Wolff (Dayakisni,2009) ada dua kesadaran dalam diri kita, yakni kesadaran atas apa yang individu yakini dan kesadaran terhadap suatu keyakinan bersama. Kesadaran individu terbentuk dari setiap pemikiran individu dan pemikiran tersebut dibentuk oleh aturan moral yang ada di masyarakat.

Kesadaran diri menurut Stein & Howard (Endarti, 2016) merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa seseorang merasakannya seperti itu dan pengaruh perilaku seseorang terhadap orang lain.

Kemampuan tersebut diantaranya : kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan seseorang, mempertahankan pendapat dan membela diri (sikap asertif), kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengarahkan dan berdiri dengan kaki sendiri (kemandirian), kemampuan untuk mengenali kelemahan dan kekuatan orang dan menyenangi diri sendiri meskipun seseorang memiliki kelemahan (penghargaan diri), dan kemampuan mewujudkan potensi yang seseorang miliki dan merasa senang (puas) dengan potensi yang seseorang diraih tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi (aktualisasi). Kesadaran diri merupakan pondasi hampir semua unsur kecerdasan emosional, langkah awal yang penting untuk memahami diri sendiri dan untuk berubah. Sudah jelas bahwa seseorang tidak mungkin bisa mengendalikan sesuatu yang tidak ia kenal (Stein & Howard dalam Endarti, 2016).

Goleman (1999) menyebutkan ada 3 kecakapan utama dalam kesadaran diri, yaitu: a. Mengenali emosi, mengenali emosi diri dan pengaruhnya. b. Pengakuan diri yang akurat; mengetahui sumber daya batiniah, kemampuan dan keterbatasan ini. c. Kepercayaan diri; kesadaran yang kuat tentang harga diri dan kemampuan diri sendiri.

Pentingnya Kesadaran Kolektif

Adanya kesadaran kolektif dari masing-masing individu memunculkan suatu tindakan kolektif, yang menurut Emile Durkheim, merupakan unsur yang paling mendasar dari keeksistensian sebuah kelompok sosial (Abdulsyani, 2012).

Kesadaran kolektif memberikan dasar-dasar moral yang tidak bersifat kontraktual namun untuk mendasari hubungan-hubungan yang kontraktual. Konsensus moral pada masyarakat modern yang lebih kompleks berada pada tingkatan nilai-nilai yang abstrak dari pada norma-norma yang bersifat khusus, maksudnya lebih kepada persetujuan yang luas pada prinsip-prinsip yang abstrak.

Kesadaran kolektif (collective conciousness) ini berada diluar individu (exterior), namun memiliki daya paksa terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran kolektif adalah suatu konsensus (kesepakatan) masyarakat yang mengatur hubungan sosial di antara anggota masyarakat yang bersangkutan.

Kesadaran kolektif lebih kuat pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, meskipun begitu pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik juga mempunyai kesadaran kolektif walaupun lemah. Sifat pembagian kerja sedikit banyak mengambil peran kesadaran kolektif dalam masyarakat organik. Kesadaran kolektif dalam masyarakat organik, memperkuat ikatan dalam masyarakat yang saling mempunyai ketergantungan sosial yang semakin bertambah. Masyarakat yang semakin terspesialisasi dalam pembagian kerja tidak menghancurkan kesadaran kolektif, namun sedikit mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan kebebasan pada individu dan menjadikan masyarakat lebih heterogen namun tidak harus membuat individu terpisah satu sama lain dari ikatan sosial yang berdasarkan pada konsensus moral (Johnson, 1994).

Dalam Pickering (Jamaludin, 2016), kesadaran tidak akan terjadi di antara manusia yang terisolasi antara satu sama lain. Namun kesadaran terbentuk pada manusia-manusia yang dikelompokkan bersama. Sehingga kesadaran tidak berasal dari sifat dasar psikologis manusia pada umumnya, melainkan dari proses interaksi antara satu sama lain dan cara mereka mengasosiakannya bersama. Hasil dari kehidupan berkelompok ini yang dapat menjelaskan keadaan dari kesadaran.

Durkheim menyatakan ada dua sifat yang dimiliki oleh kesadaran kolektif yaitu sifatnya yang “exterior” dan sifatnya yang “constraint”. Kesadaran kolektif yang bersifat “exterior” berada di luar manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia yang dalam perwujudannya sebagai aturan-aturan moral, aturan agama, aturan tentang yang baik dan buruk. Meskipun individu-individu yang bersangkutan sudah tidak ada lagi, aturan-aturan itu akan tetap ada. Sedangkan dalam sifatnya yang “constraint”, kesadaran tersebut memiliki sifat memaksa. Jika individu-individu anggota masyarakat melakukan pelanggaran maka akan mendapatkan sanksi atau hukuman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran kolektif merupakan suatu konsensus dari individu-individu untuk mengatur hubungan sosial di masyarakat (Siahaan, 1989).

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa aturan moral di masyarakat seperti adat istiadat, kebiasaan, norma dan penilaian membentuk kesadaran individu. Selain itu pengalaman serta pengetahuan juga mempengaruhi kesadaran individu. Melalui interaksi diantara individu-individu, kesadaran dari setiap individu terakumulasi sehingga menjadi sebuah kesadaran kolektif.

Beberapa poin penting mengenai pentingnya kesadaran kolektif (AI, 2025).

Pertama, efektivitas upaya. Kesadaran kolektif memungkinkan adanya partisipasi aktif dari seluruh anggota masyarakat dalam menjaga kebersihan. Ketika semua orang memiliki pemahaman yang sama, upaya menjaga kebersihan menjadi lebih terorganisir dan efisien.  Contohnya, jika semua orang membuang sampah pada tempatnya, maka akan tercipta lingkungan yang lebih bersih.  Dengan kesadaran kolektif, masalah lingkungan seperti sampah yang menumpuk dan penyumbatan saluran air dapat diatasi secara bersama-sama. 

Kedua, dampak kesehatan. Lingkungan yang bersih dan asri berkontribusi pada kesehatan yang lebih baik. Lingkungan yang kotor dapat menjadi sarang penyakit, seperti demam berdarah, malaria, dan penyakit lainnya.  Dengan lingkungan yang bersih, risiko penyebaran penyakit dapat diminimalkan, sehingga masyarakat dapat hidup lebih sehat. 

Ketiga, peningkatan kualitas hidup. Lingkungan yang bersih, indah, dan asri menciptakan suasana yang lebih nyaman dan menyenangkan. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, lingkungan yang hijau dan asri dapat memberikan rasa tenang dan bahagia, serta meningkatkan produktivitas.

Keempat, keberlanjutan lingkungan. Kesadaran kolektif mendorong pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Masyarakat yang memiliki kesadaran lingkungan akan lebih peduli terhadap kelestarian alam dan lingkungan.  Hal ini akan membantu menjaga keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang.

Kelima, peningkatan kerjasama dan gotong royong. Kesadaran kolektif membangun rasa kebersamaan dan tanggung jawab bersama.  Masyarakat akan lebih mudah untuk bekerja sama dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan. Contohnya, kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan akan lebih efektif jika didukung oleh kesadaran kolektif. 

Keenam, menciptakan lingkungan yang aman. Lingkungan yang bersih dan teratur dapat mencegah terjadinya bencana seperti banjir akibat saluran air yang tersumbat sampah. Dengan kesadaran kolektif, masyarakat dapat berpartisipasi dalam menjaga kebersihan saluran air dan lingkungan sekitar.

Ragam dan Tingkatan Kesadaran Masyarakat

Kesadaran adalah kewajiban dalam kehidupan masyarakat untuk melakukan sesuatu secara sukarela. Kesadaran berarti keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran adalah keadaan tahu, mengerti, dan merasa. Kesadaran untuk mematuhi ketentuan yang berlaku, seperti membuang sampah pada tempatnya tentu menyangkut faktor-faktor apakah ketentuan tersebut telah diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati. Bila seseorang hanya mengetahui berarti kesadarannya masih rendah.

Kesadaran masyarakat lahir dari masyarakat itu sendiri yang lahir dari kebiasaan dalam masyarakat, dipengaruhi oleh lingkungan, peraturan-peraturan dan peranan pemerintahnya.

Kesadaran masyarakat diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti dan mampu oleh masyarakat untuk menyeimbangkan, menyelaraskan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seperti Gerakan Kota Bima “BISA” yang didukung oleh adanya etika dan moral masyarakat tersebut. Kesadaran masyarakat akan mendorong timbulnya keinginan untuk memperhatikan kepentingan bersama guna mencapai kehidupan yang lebih baik.

Djamaludin (Uyun, 2012) membagi kesadaran masyarakat dapat dilihat dari tiga bagian atau tahap yaitu: (1) knowledge (pengetahuan) yaitu pengetahuan tentang disebut lembaga-lembaga dan program-program yang dijalankan; (2) attitude (sikap) yaitu melalui tanggapan emosional, pernyataan senang, tidak senang, pernyataan tentang ketidakpercayaan dan tanggapan untuk bertindak; (3) practice (tindakan) yaitu pernyataan perilaku seperti ramah, hangat, agresif, maupun apatis terhadap suatu program.

Berdasarkan tingkatannya, N.Y. Bull (Uyun, 2012) mengemukakan bahwa kesadaran dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yang masing-masing tingkatan menunjukkan derajat kesadaran seseorang. Tingkatan-tingkatan kesadaran tersebut antara lain : pertama, kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya. Kedua, kesadaran yang bersifat heteronomus, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi/motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. Ketiga, kesadaran yang bersifat sosionomus, yaituy kesadaran atau kepatuhan yang berorientasi kepada kiprah umum atau karena khalayak ramai. Keempat, kesadaran yang bersifat autonomus, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep atau landasan yang ada dalam diri sendiri.

Teori Emile Durkheim

Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1893/1964), Emile Durkheim menganalisa ikatan-ikatan sosial pada masyarakat primitif dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif ikatan sosial itu adalah moralitas bersama atau kesadaran kolektif yang disebut solidaritas mekanik.

Kesadaran kolektif (terkadang hati nurani kolektif atau sadar) adalah konsep sosiologis fundamental yang mengacu pada sekumpulan keyakinan, ide, sikap, dan pengetahuan bersama yang umum untuk kelompok sosial atau masyarakat. Kesadaran kolektif menginformasikan rasa memiliki dan identitas kita, dan perilaku kita. 

Gagasan kesadaran kolektif berasal dari sosiolog Prancis Emile Durkheim yang menjelaskan bagaimana seorang individu bisa melihat bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat luas yang memungkinkan masyarakat bekerja sama dalam banyak hal dan karenanya menjadi fondasi berfungsinya sebuah negara. Durkheim pertama kali memperkenalkan teorinya tentang kesadaran kolektif dalam bukunya tahun 1893 yang berjudul “The Division of Labor in Society“. Durkheim menjelaskan bahwa dalam masyarakat industri modern yang dicirikan melalui keragaman identitas masyarakat saling membagi peran (spesialisasi pekerjaan) yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain. Pada konteks ini, solidaritas yang terjadi adalah “solidaritas organik” yang tidak dibangun berdasarkan relasi kekerabatan atau ritual kepercayaan yang homogen, melainkan oleh hukum atau norma yang mengatur hubungan antar individu tersebut.

Menurut Emile Durkheim (Soedijati, 1999) solidaritas adalah perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau orang saling percaya, maka mereka akan menjadi satu atau menjadi persahabatan, menjadi saling hormat-menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan sesamanya.

Menurut George Ritzer (2014), solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Karena dalam masyarakat organik melaksanakan setiap pekerjaan yang relatif sempit, mereka banyak membutuhkan tenaga dari orang lain agar dapat memenuhi kelangsungan hidupnya.

Dalam buku Teori Sosiologi Klasik dan Modern (1994) karya Doyle Paul Johnson, solidaritas merujuk pada suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama, serta pengalaman emosional bersama. Solidaritas yang dipegang, yaitu kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama, dan kepentingan bersama di antara para anggotanya.

Diambil dari buku Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern (2014) karya George Ritzer, perkembangan masyarakat dilihat dari masyarakat yang berkembang di lingkungan sederhana menuju masyarakat di lingkungan modern.

Sosiolog yang membahas tentang kesadaran adalah Charles Horton Cooley (1864-1929). Cooley dikenang hingga dewasa ini karena pemahamannya tentang aspek psikologis dan sosial dari kehidupan manusia. Pemikirannya kurang lebih sejalan dengan pemikiran George Herbert Mead. Dia menekankan pentingnya kesadaran tetapi kesadaran itu selalu terkait dengan konteks sosial. Hal ini ditunjukkan dengan konsepnya yang terkenal yakni looking glass self. Dengan konsep itu Cooley mau mengatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu dibentuk oleh interaksi sosial yang berlangsung secara terus-menerus.

Mengenai konsep kesadaran, hal ini dapat pula dianalisis dalam pendekatan fenomenologi Edmund Husserl (Silmi Qurota Ayun dalam Fajar, dkk., 2020). Bagi Husserl, kesadaran tentang sesuatu, “consciousness of something”. Jadi ada dua aspek kesadaran yang saling mengisi, yakni yang pertama proses sadar itu sendiri, “the process of being conscious” (the cogito), yang wujudnya bisa beberapa macam (misalnya mengingat, melihat, menilai), dan yang kedua yang menjadi objek dari kesadaran tersebut. Dengan mengingat, melihat, dan menilai akan membentuk kesadaran, manusia dalam memandang suatu gejala atau peristiwa akan memberi pengalaman dari pengalaman tersebut akan membentuk kesadaran.

Sebuah Harapan

Kesadaran kolektif adalah perekat sosial yang mempersatukan masyarakat. Ia memandang kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar penjumlahan kesadaran individual, tetapi merupakan entitas yang memiliki kehidupan sendiri (Durkheim dalam Haslinda, 2020). Kesadaran kolektif, melalui nilai-nilai budaya, membentuk jati diri bangsa dan menjadi penanda identitas suatu masyarakat (Geertz dalam Haslinda, 2020)

Para ahli sosiologi modern (Usman, 2024) menyoroti pentingnya kesadaran kolektif dalam membentuk norma, nilai, dan perilaku sosial, serta dalam menjaga solidaritas sosial dan kohesi masyarakat. 

Dampak kesadaran kolektif, di antaranya : pertama, meningkatkan kohesi sosial. Kesadaran kolektif menciptakan rasa persatuan dan kebersamaan di antara anggota masyarakat, memperkuat solidaritas sosial dan mengurangi potensi konflik. Kedua,  membentuk norma dan nilai. Kesadaran kolektif menjadi dasar bagi pembentukan norma sosial, nilai-nilai budaya, dan aturan-aturan yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat. Ketiga, memfasilitasi kerjasama. Ketika individu memiliki kesadaran kolektif yang kuat, mereka lebih cenderung bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan mengatasi tantangan sosial. Keempat, membangun ketahanan sosial. Kesadaran kolektif yang positif dapat memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan, seperti bencana alam, krisis ekonomi, dan bencana-bencana lainnya. 

Kesadaran kolektif memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas, kohesi, dan ketahanan masyarakat. Memperkuat kesadaran kolektif yang positif dapat membawa manfaat besar bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. 

Kesadaran kolektif merupakan kunci utama dalam menciptakan lingkungan yang bersih, indah, sehat, dan asri. Dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh anggota masyarakat, lingkungan yang sehat, nyaman, dan berkelanjutan dapat terwujud.

Semoga bermanfaat!!!

*Dosen Universitas Mbojo Bima