Kota Bima, Kahaba.- Beberapa bulan terakhir, jumlah anak yang menjadi pekerja serabutan di Kota Bima menunjukan peningkatan signifikan. Hal ini menjadi fenomena baru kawasan perkotaan. Rata-rata pekerja usia anak berasal dari wilayah Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Persoalan ini menjadi topik pembahasan dalam Rembug Terbatas yang digelar Lakpesdam PCNU Kabupaten Bima di sekretariat Kelurahan Santi, Rabu (19/7) kemarin. Tema yang diangkat yakni “Urbanisasi dan Pekerja Anak (Ancaman atau Kekuatan Pembangunan).
Ketua Lakpesdam PCNU Kabupaten Bima, Asrul Raman dalam pemaparannya mengatakan, berdasarkan survey awal Lakpesdam memang ada semacam gelombang migrasi pekerja anak yang diduga terjadi secara massif dan terkoordinir di Kota Bima.
Disisi lain kata dia, belum ada sikap dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menangani persoalan ini. Keberadaan anak sebagai pekerja menurutnya, telah menciderai masa depan anak karena diusia mereka mestinya memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari orangtua.
“Saya pernah bertemu lima anak sekaligus yang berasal dari timur. Saya kaget ketika mereka mengaku tidak sekolah dan datang ke Kota Bima hanya untuk menjadi pengamen dan pengemis,” terang Ketua Asrul.
Anak-anak yang dijumpai Asrul juga mengaku, tidak sendiri datang ke Kota Bima, tetapi bersama rekan-rekannya dari wilayah timur. Tanpa kompetensi yang dimiliki, bisa dipastikan anak hanya bekerja serabutan. Mulai dari tukang parkir, pengamen, pengemis bahkan buruh di pertokoan.
“Problem yang kami lihat adalah potret kemiskinan. Ketika mereka bekerja apa saja dengan gaji yang minim karena tidak ada keahlian dan pendidikan,” sambungnya.
Persoalan ini lanjutnya, belum ada perhatian pemerintah, seperti melakukan pendataan serius. Karenanya, Lakpesdam menginisiasi diskusi terbatas menghadirkan tokoh lintas agama dan mahasiswa untuk mendapatkan pandangan sekaligus solusi agar bisa disampaikan ke pemerintah daerah.
Dalam dinamika diskusi, Taufikurrahman dari HMI Cabang Bima juga mengakui keberadaan pekerja anak di Kota Bima semakin banyak dijumpainya di lapangan. Ia bahkan pernah bertemu beberapa anak yang bekerja sebagai tukang parkir di depan toko di Kota Bima.
“Saya tanyakan kepada adik-adik itu, ternyata mereka dari Sumba. Mereka mengaku tidak langsung datang begitu saja dan tidak punya keterikatan dengan pengusaha toko. Ada dugaan mereka dikoordinir pihak tertentu,” sebut pemuda yang disapa Opik ini.
Ia juga menemukan di beberapa lokasi lain di Kota Bima, ada beberapa anak dari wilayah timur menjadi pengemis. Kekuatiran Opik, selain menjadi pekerja, anak-anak tersebut jangan sampai menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
“Ini harus segera disikapi pemerintah daerah agar tidak menjadi persoalan yang sulit diuraikan nantinya,” kata dia.
Pandangan yang sama juga disampaikan Mantan Ketua HMI Cabang Bima, Gufran. Menurutnya, apabila tidak disikapi secepatnya oleh pemerintah daerah, maka akan menjadi tantangan berat bagi pembangunan Kota Bima ke depan. Apalagi, Kota Bima belum tersedia lapangan pekerjaan memadai.
“Saya juga mendorong peran dari tokoh lintas agama untuk mendata keberadaan mereka sekaligus memberikan pembinaan,” ujarnya.
*Kahaba-03