Oleh: Nur Arfian Naufan*
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur kemandirian keuangan suatu daerah. Salah satu sumber PAD yang cukup potensial adalah retribusi parkir. Namun, di banyak daerah termasuk Kota Bima, pengelolaan retribusi parkir kerap menjadi sorotan akibat adanya indikasi kebocoran yang disebabkan oleh praktik parkir liar dan lemahnya sistem pengawasan. Oleh karena itu, audit kepatuhan terhadap pengelolaan retribusi parkir menjadi sangat relevan untuk memastikan akuntabilitas dan optimalisasi penerimaan daerah.
Retribusi Parkir: Potensi vs Realisasi
Secara teori, retribusi parkir seharusnya menjadi sumber pendapatan yang stabil karena tingginya aktivitas kendaraan di pusat-pusat kota. Namun dalam praktiknya, masih banyak laporan masyarakat tentang pungutan liar yang tidak masuk ke kas daerah, tidak adanya karcis resmi, hingga ketidaktertiban dalam pencatatan transaksi. Ketimpangan antara potensi dan realisasi retribusi ini mengindikasikan lemahnya sistem internal dan pengawasan yang dijalankan.
Peran Audit Kepatuhan
Audit kepatuhan dalam konteks ini berperan untuk menilai sejauh mana pengelolaan retribusi parkir telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Auditor akan mengevaluasi apakah proses pemungutan telah sesuai dengan Perda, apakah seluruh hasil retribusi telah disetor ke kas daerah, serta bagaimana mekanisme pengawasan dan pelaporan dilakukan oleh Dinas Perhubungan atau instansi terkait. Audit ini juga dapat membuka temuan atas praktik penyimpangan seperti: Penggunaan juru parkir liar yang tidak terdaftar resmi. Tidak digunakannya karcis parkir retribusi daerah. Pengelolaan pendapatan parkir oleh pihak ketiga tanpa pengawasan yang memadai.
Kasus Parkir Liar di Kota Bima
Kota Bima menghadapi tantangan nyata dalam penertiban parkir liar, terutama di area pasar, pusat perbelanjaan, fasilitas umum, dan lokasi pelayanan publik. Banyak juru parkir yang beroperasi tanpa identitas resmi dan tidak memberikan karcis kepada pengguna jasa. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk Pembangunan daerah.
Sebagai bentuk inovasi, Pemerintah Kota Bima melalui kerja sama antara Dinas Perhubungan dan pemerintah daerah telah mulai menerapkan program parkir berlangganan sebesar Rp200.000 per tahun. Program ini diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi pungutan liar dan meningkatkan efisiensi retribusi parkir. Namun sayangnya, implementasi program ini masih belum merata di semua titik parkir, informasi penggunaannya belum tersebar luas ke masyarakat, dan belum ada tindak lanjut sistematis dari pihak terkait untuk melakukan evaluasi dan perluasan wilayah penerapan.
Penelitian oleh Azhari (2021) menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan internal dan ketidaktegasan dalam pelaksanaan regulasi menjadi faktor utama terjadinya kebocoran PAD dari sektor retribusi. Senada dengan itu, Putri dan Fauziah (2022) juga menyatakan bahwa efektivitas pengelolaan keuangan daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dalam mengontrol proses pemungutan retribusi dan mengawasi petugas lapangan secara berkelanjutan. Studi lain oleh Ramadhani dan Arifin (2019) menyebutkan bahwa keberhasilan kinerja instansi pemerintah salah satunya ditentukan oleh tata kelola yang transparan dan budaya organisasi yang mendukung pengawasan serta akuntabilitas.
Solusi: Perbaikan Sistem dan Digitalisasi
Audit kepatuhan dapat menjadi langkah awal menuju reformasi sistemik. Pemerintah daerah perlu menindaklanjuti temuan audit dengan memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan internal, serta mengadopsi sistem digital dalam pengelolaan retribusi parkir. Kota-kota besar seperti Surabaya dan Bandung telah sukses mengimplementasikan sistem e-parking yang lebih transparan dan minim manipulasi.
Audit kepatuhan terhadap pengelolaan retribusi parkir bukan sekadar prosedur administratif, melainkan upaya nyata dalam mengamankan hak publik dan mengoptimalkan PAD. Kota Bima memiliki peluang besar untuk meningkatkan penerimaan retribusi parkir jika mampu membenahi sistem yang ada dan menindak tegas pelanggaran di lapangan. Dengan demikian, audit bukan hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga sebagai katalis perubahan menuju tata kelola keuangan daerah yang lebih baik dan transparan.
*Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mataram