Opini

Bekerja dengan Hati, Atasi Kebuntuan Manajemen Modern

908
×

Bekerja dengan Hati, Atasi Kebuntuan Manajemen Modern

Sebarkan artikel ini

Oleh: Hidayaturrahman*

Bekerja dengan Hati, Atasi Kebuntuan Manajemen Modern - Kabar Harian Bima
Hidayaturrahman, Penggagas Inovasi Kaki Intens, juga Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dikes Kota Bima. Foto: Ist

Manajemen modern ala Taylor serta pendekatan manajemen modern yang lahir setelah itu melalui fokus pembagian tugas, tupoksi serta insentif tidak mampu menjelaskan persoalan yang dihadapi organisasi akibat perkembangan dinamika kebutuhan pegawai, Pegawai yang sudah diatur sedemikian ketat melalui tupoksi, dan pemberian kompensasi yang memadai dalam kenyataannya tidak mampu mendongkrak kinerja secara maksimal serta diperparah oleh formalism pelaksanaan tugas yang terbelenggu oleh kekakuan “sekat sekat” birokrasi.

Pelaksanaan tugas Pegawai sangat sulit keluar dari kebiasaan yang sudah berkarat puluhan tahun tanpa ada best practices. Tugas dilaksanakan berdasarkan tiru kebiasaan, praktek turun temurun dari pendahulu dan tidak ada nilai nilai kebaruan serta waktu dan energi terbuang dalam kerangka rutinitas “tupoksi” yang membelenggu.

Meminjam konsep “Dialektika” maka pendekatan “Bekerja dengan hati” menjadi sintesa atas antitesa kebuntuan manajemen modern “ala scientific manajement” serta pendekatan-pendekatan manajemen modern lainnya dalam memahami dan menjawab dinamika pelaksanaan tugas.

Manajemen Ilmiah

Manajemen Ilmiah pertama kali dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya yang berjudul “Principles of Scientific Management” pada tahun 1911. Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah sebagai “Penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan”, ide tentang penggunaan metode ilmiah muncul ketika Taylor merasa kurang puas dengan ketidakefesienan pekerja di perusahaannya.

Berdasarkan pengalamannya itu, Taylor membuat sebuah pedoman yang jelas tentang cara meningkatkan efesiensi pelaksanaan tugas. Terdapat empat karakteristik utama dari manajemen ilmiah adalah: 1). Manajemen ilmiah menghendaki adanya pembagian tugas menjadi elemen-elemen yang lebih kecil untuk menjamin bahwa suatu pekerjaan dapat diselesaikan. Tujuan dari pembagian tugas menjadi elemen-elemen yang lebih kecil ini adalah agar suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan efisien. 2). Dalam manajemen ilmiah, manajemen menganggap bahwa uang adalah bentuk penghargaan yang paling tepat untuk memotivasi karyawan. Para pekerja memperoleh insentif berdasarkan output yang dihasilkan. Dengan demikian tujuan efisiensi perusahaan dapat tercapai, dan target produksi pun terpenuhi. 3). Berdasarkan konsep manajemen ilmiah, pekerja merupakan alat yang digunakan perusahaan dalam proses produksi. perusahaan menetapkan standar-standar dalam bekerja yang harus dipenuhi oleh para pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Sebagai akibatnya, pekerja melakukan tugas tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan keahliannya. Pekerja harus melakukan pekerjaan yang sama dan berulang-ulang. 4). Dalam manajemen ilmiah, manajer memikul tanggung jawab yang lebih besar karena minimnya kemampuan pekerja.

Pendekatan manajemen ilmiah dihajatkan untuk menciptakan cara yang paling tepat dalam mengerjakan suatu tugas untuk meyakinkan bahwa suatu pekerjaan dilaksanakan secara efisien, produktif, sesuai dengan rencana dan prinsip kerja, juga penghargaan serta insentif yang akan diterima para pekerja jika mereka telah menyelesaikan pekerjaannya. Prinsip utama dari Taylorisme adalah membagi tugas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan tujuan menyederhanakan elemen dan gerakan kerja. Manajemen ilmiah berpendapat bahwa dengan menghilangkan elemen-elemen atau gerakan-gerakan kerja yang tidak perlu akan meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Gerakan manajemen ilmiah hingga beberapa pendekatan manajemen modern yang lahir setelah itu memberikan dampak positif pada efisiensi pelaksanaan tugas dan sangat mempengaruhi pola kerja Pegawai hingga saat ini. Pola pekerjaan pendekatan ala Taylorism sampai saat ini mempengaruhi mindstream pegawai dalam pelaksanaan tugas dengan menekankan pada efisiensi, produktifitas hingga berimbas pegawai terbelenggu pada kekakuan “tupoksi”.

Dibalik semua dampak positif yang dibawa era manajemen ilmiah dan pendekatan modern lainnya, tidak dapat dipungkiri bahwa era ini menuai banyak kritik bahwa pada jaman ini cenderung sangat mentekniskan pekerjaan yang memandang manusia sebagai bagian eksistensi sebagai sebuah mesin.

Dalam perkembangan dinamika pelaksanaan tugas manajemen modern ala Taylor tidak mampu menjelaskan beberapa kebutuhan pegawai atas persoalan yang dihadapi organisasi, misal dalam situasi tertentu tidak mampu menjelaskan pegawai yang sudah diatur sedemikian ketat melalui tupoksi, dan pemberian kompensasi yang memadai namun tidak mampu mendongkrak kinerja secara maksimal.

Pelaksanaan tugas dipahami secara sempit dan seringkali kata kata “tupoksi” menjadi kambing hitam. Pola kerja linear sangat formalistik dan tidak dipahami bahwa ada dinamika, ada fleksibilitas dalam pelaksanaan tugas yang menyebabkan pekerjaan berkembang sesuai tuntutan kebutuhan dan dinamika pelayanan. Pegawai sangat sulit keluar dari kebiasaan yang sudah berkarat tanpa ada best practices, tidak ada nilai nilai kebaruan dalam kerangka rutinitas “tupoksi” yang membelenggu.

Bekerja dengan Hati

Bekerja dengan hati akan menjembatani kekakuan dan keterbatasan manajemen modern atas pelaksanaan fungsi manajemen. Bekerja dengan hati mampu memberikan solusi atas kekakuan manajemen taylor. Bekerja dengan hati bergerak untuk melengkapi keterbatasan manajemen modern dengan penerapan nilai nilai keikhlasan, jujur, semangat bekerja, suka menolong, sabar, disiplin, silaturrahim atau membangun jaringan dalam bekerja. Dan sandaran semua yang dilakukan bernilai ibadah sebagai bentuk ketaatan seorang hamba insaniah, sehingga semua pelaksanaan tugas dilakukan dengan sungguh sungguh.

Bekerja dengan hati di samping memenuhi asas manajemen modern juga dilengkapi dengan landasan nilai nilai religius. sehingga bekerja dengan hati akan melahirkan totalitas dalam kerja, selalu semangat dan selalu tuntas dalam pelaksanaan tugas disertai hasil maksimal.

Manajemen ala Taylorism memberi kesan bahwa bekerja hanya sebatas formalitas belaka, melaksanakan kegiatan hanya menggugurkan kewajiban sesuai tertera dalam dokumen dan memenuhi kelengkapan administrasi. Bekerja dengan hati di samping melaksanakan kegiatan formal juga berlandaskan pada mindset bahwa apa yang dilakukan sebagai sebuah ibadah yang memberikan dampak multiplier effect bagi pribadi, organisasi serta aura positif bagi lingkungan sekitar.

Beberapa penerapan “bekerja dengan hati”, misal, Pelaksanaan kegiatan tidak sekedar untuk memenuhi kelengkapan administrasi namun akan dikaji berbagai aspek untuk optimalisasi hasil kegiatan. Pertemuan di luar kota atau kunjungan lapangan dalam bentuk perjalanan dinas tidak hanya sebagai upaya formal pertanggungjawaban administratif belaka tanpa bermakna dan tidak berpengaruh sama sekali dalam pelaksanaan tugas. Namun bekerja dengan hati akan berlandaskan nilai-nilai pelaksanaan tugas sebagai ibadah, nilai silaturrahim, dan bagian membentuk kedekatan hubungan networking jaringan.

Begitu pun memenuhi kehadiran Pegawai sebagai syarat untuk mendapatkan insentif tunjangan kinerja (TUKIN) atau TPP, bagi Pegawai yang bekerja berlandaskan pola manajemen modern ala Taylorims maka dia berusaha maksimal agar mendapatkan tunjangan kinerja maksimal alias tidak dipotong, dengan berjuang melaksanakan pengisian daftar kehadiran di kantor saat jam masuk pagi hari, demikian juga saat jam pulang dengan selalu mengisi daftar hadir untuk pulang, walau mesin elektronik tidak dapat mendeteksi keberadaan Pegawai yang bersangkutan dalam riil bekerja.

Sebaliknya bagi Pegawai yang berlandaskan pola “bekerja dengan hati” tidak memburu formalitas pengisian daftar hadir agar tunjangan tidak dipotong namun kehadiran dan keberadaannya di kantor selalu diniatkan untuk beribadah dan menjamin “keberkahan” TUKIN/TPP yang dia terima karena penghasilannya tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh keluarganya. Dia tidak pernah galau alias khawatir dengan pemotongan TUKIN/TPP, yang Dia selalu jaga dan khawatir adalah keberkahan TUKIN /TPP yang diterima. Dengan prinsip seperti itu maka keberadaannya akan selalu terdeteksi dalam bekerja melaksanakan tugas dengan penuh tanggungjawab.

Penutup

Bekerja dengan hati menjadi terobosan jawaban atas ketidakmampuan “scientific manajement” ala Taylorism dan manajemen modern yang dipegang teguh Pegawai dalam bingkai “tupoksi”. Bekerja dengan hati berlandaskan pada hati nurani dan nilai religious sesuai prinsip keikhlasan, jujur, suka membantu, semangat dalam bekerja dan disiplin akan menjembatani dinamika pelaksanaan tugas sehingga totalitas dalam bekerja, hasil kerja maksimal dan berkah dalam hidupnya.

*Penulis Penggagas Inovasi Kaki Intens, juga Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dikes Kota Bima