Kabupaten Bima, Kahaba.- Tempat Ibadah umat Hindu, Pura yang dibangun di lokasi Oi Bura, Kecamatan Tambora mendapat kecaman dari berbagai Ormas Islam Dompu dan MUI Kabupaten Bima. Pasalnya, pembangunan Pura yang diklaim terbesar di Asia Tenggara itu menganggu sumber mata air warga.
Menyoal itu, Forum Umat Islam (FUI) Kabupaten Dompu, Senin (22/9) mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima, dan meminta kepada Pemerintah untuk meninjau ulang ijin pembangunnya.
Menurut Juru bicara (Jubir) FUI Dompu, Muhamad Taqiyuddin, pembangunan pura di kawasan Tambora sudah menyalahi aturan kebersamaan dalam kehidupan antar umat beragama. Pasalnya pura kecil yang dibangun diatas sumber mata air itu mengganggu kebutuhan warga sekitar.
“Ini perlu kami sampaikan, agar konflik horizontal tidak terjadi. Kami juga mendesak pihak berwenang untuk segera membongkar Pura itu,” tegasnya.
Diakui Taqiyuddin, pihaknya sudah melihat langsung lokasi tempat ibadah itu, terbukti sumber mata air sudah ditutup beton, dan dibangun pura kecil. “Kami juga sudah klarifikasai dengan Pemerintah Dompu,” katanya.
Berdasarkan surat keputusan dari tiga kepala daerah, masing – masing Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima dan Kabupaten Sumbawa, lanjutnya, pembangunan pura diijinkan. Bahkan, surat itu dikeluarkan Tahun 2002 dan di tandatangani Bupati Kabupaten Bima saat itu Drs. H. Zainul Arifin.
“Untuk itu, kami meminta agar MUI Kabupaten Bima melakukan koordinasi kembali dengan Pemerintah Kabupaten Bima, bahas masalah yang meresahkan warga tersebut, apalagi lokasi tersebut merupakan hutan lindung,” ungkapnya.
Ia juga menyorot penggunaan istilah pura terbesar di Asia Tenggara, padahal Pura itu tidak sebesar yang disebutkan. “Kami minta istilah itu tidak digunakan,” tambahnya.
Anggota FUI yang lain, Syaiful Takim, SH pada pertemuan itu mengungkapkan, sekitar lima hektar wilayah pinggir mata air Oi Bura dijadikan lahan bangunan pura. Masyarakat Oi Bura kini resah karena sumber mata air telah dibangun tempat Ibadah umat Hindu.
Diakuinya, saat ini masyarakat Oi Bura sedang mencari keadilan. Dari tahun 2005 awal pembangunan itu sudah menuai protes warga, tapi Kepala Desa dan Pemerintah setempat tidak bisa beruat banyak.
“Mereka berada dibawa tekanan sehingga tidak bisa melawan. Kalau ada yang melawan mereka ditakut-takuti dengan aparat,” ungkapnya.
Bahkan pada saat proses peribadatan Umat Hindu yang digelar pertamakali pada tanggal 9 September lalu. Dilihat banyak penjabat tinggi dari daerah bahkan dari aparat keamanan yang ikut merayakan waktu itu. “Masyarakat melihat ada dari Panggdam Udayana, Korem serta Polisi dan anggota TNI yang berpakaian preman juga hadir,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua MUI Kabupaten Bima, Abdurrahim Haris menyampaikan terimakasi pada FUI dan sejumlah ormas lain yang semangat mencari keadilan kerukunan beragama. Dia juga berterima kasih karena sudah menunjukan beberapa bentuk bukti foto-foto mata air Oi Bura sebelum di bangun dan sesudah dibangun.
“Ini akan menjadi bukti yang akan kita sampaikan ke Pemerintah Kabupaten, Gubernur maupun Kapolda,” katanya.
Kaitan masalah itu, pihaknya dalam waktu dekat akan koordinsi dengan Dinas Kehutanan, Kemenag Kabupaten Bima, selaku pihak yang menyimpan bukti pemberian izin pembangunan ibadah. Setelah itu akan melakukan cek langsung ke lokasi pembanguna pura dimaksud.
“Kami ingin tahu pura yang terbesar se Asia Tenggara itu untuk apa, sementara jumlah umat hindu yang ada dekat lokasi itu tidak banyak,” terangnya.
Ia menambahkan, sudah lama pihaknya mendapat informasi itu, hanya saja tidak memiliki bukti-bukti untuk menghentikan pembangunanya.
“Ijin pembangunannya juga pernah kita koordinasi dengan Drs. H. Zainul Arifin, tapi beliau mengaku dan membantah pernah mengeluarkan surat izin pembangunan pura,” tambahnya.
*Abu/Teta/Bin