Oleh: Muhammad Dzulfikar
Kontradiktif Antara Kehendak Rakyat Dengan Kehendak DPR:
“Persetujuan Budi Gunawan Sebagai Kapolri”
Negara merupakan sebuah sistem besar yang melakukan regulasi dan polarisasi dalam hal mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu, pembagian kerja atau spesialisasi kerja dibutuhkan dalam hal ini, sehingga wujud dari pembagian kerja tersebut, berupa keberadaan instansi-instansi negara yang dianugerahi tugas dan wewanang oleh sistem besar tadi, yaitu negara. Khusus, mengenai mekanisme spesialisasi kerja, kewenangan, dan pengangkatan aktor-aktor politik untuk menduduki singgasana instansi tertentu, di atur dalam konstitusi atau dasar hukum dari masing-masing negara (berdasarkan konsensus).
Khusus konteks ke-Indonesia-an, mekanisme-mekanisme politik dalam upaya pembentukan instansi atau pengangkatan aktor politik diatur oleh hukum, UUD 1945, UU, KEPRES, dll. Salah satu instansi NKRI yang diyakini sangat vital atau urgen bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yaitu DPR. Lembaga atau instansi ini merupakan lembaga yang menjadi penyeimbang Eksekutif atau Presiden, atau secara teoritis harus terjadi konektivitas atau relasi yang baik antara Presiden dan DPR agar “Cheks And Balance” bisa jalan sasuai dengan yang diharapkan.
Presiden Indonesia ke VII, Jokowi Widodo mengusulkan satu nama calon Kapolri. Yaitu, Komjen Pol. Budi Gunawan. Beliau mantan ajudan Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Secara teoritis berdasarkan konsep Cheks And Balance, untuk memuluskan kehendak Presiden Jokowi dan ekspetasi dari Budi Gunawan dibutuhan persetujuan dari Komisi III DPR.
Tetapi, KPK merupakan salah satu instansi Negara telah menggalkan skema Jokowi untuk mengangkat Budi sebagai Kapolri, dengan cara menetapkan Budi sebagai tersangka dugaan kasus suap dan gratifikasi ketika menjabat sebagai perwira Polisi. Pasca KPK meneluarkan ultimatum, bahwasanya Budi Gunawan mengalami kenaikan akan status hukum dari penyelidikan menjadi tersangka. Dimana dibelakang publik atau sorotan media, para aktor kubu Jokowi dan Budi melakukan gebrakan baru, dan dicurigai teraktualkan melalui keputusan komisi III DPR lewat rapat paripurna, yaitu tetap menyetujui Budi sebagai Kapolri Indonesia. Kondisi, seperti ini telah menambah ranting perdebatan politik antar berbagai kalangan di Indonesia.
Secara teoritis, DPR merupakan representasi dari rakyat secara universal. Interpretasi secara kontekstual, seluruh keputusan DPR harus menjadi cerminan akan kehendak rakyat Indonesia. Dalam teori sistem politik nya Gabriel. Almond : ”dimana sistem politik terdapat 2 komponen atau bagian yang memiliki relasi, yaitu infrastruktur politik merupakan manifestasi dari seluruh komponen masyarakat, yang siap memberikan tuntutan ataupun kehendak kepada bagian selanjutnya, yaitu suprastruktur poliitik (DPR dll ) yang berwenang merespon dan mengaktualkan apa yang menjadi keinginan rakyat”. Fenomena politik di lapangan, terjadi kontradiksi antara kehendak rakyat, dengan DPR yang bertindak sebagai wakil rakyat. Asumsi dan analisa itu berangkat dari teorinya Emile Durkheim tentang fakta sosial, yaitu keberadaan 2 bentuk fakta sosial :
- Bentuk materiil; sesuatu yang konkret, seperti struktur sosial atau masyarakat Indonesia.
- Bentuk non-materiil; sesuatu yang abstrak, seperti norma-norma sosial, norma agama, nilai, moralitas dll.
Analisis selanjutnya dan keterkaitan secara langsung kasus Budi Gunawan, masyarakat Indonesia secara identitas merupakan fakta sosial materiil, dan fakta sosial materiil itu atau sistem sosial memiliki norma atau etika (norma: fakta sosial non-materiil) yang menganggap individu yang telah berbuat sesuatu yang keluar dari norma-norma, moralitas yang menjadi konsensus kolektif akan susah dipercayai untuk selanjutnya. Seperti Budi yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus, hal itu akan mengkontruk opini atau persepsi publik, maka publik akan membangun sebuah ekspetasi baru, yaitu Menolak persetujuan DPR yang tetap mempertahankan Budi Gunawan.
Jadi, berdasarkan analisa dengan 2 teori dasar dalam ilmu politik dan ilmu sosiologi, yaitu G. Almond & E. Durkheim menunjukan sesuatu yang paradoks dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Letak paradoksnya adalah kontradiksi antara kehendak rakyat dengan kehendak DPR.
Penulis juga Mahasiswa Semester III Ilmu Politik Unhas