Oleh: A Fandir SPd MPd*

Konflik horizontal di beberapa kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Bima dan Kota Bima seringkali terjadi, tidak terkecuali di bagian Kecamatan Wera yang baru-baru ini terjadi aksi pemanahan antar pemuda yang baru berumur sekitar 18-20 tahun ke atas.
Hal ini merupakan fenomena sosial yang kompleks, berakar pada berbagai faktor struktural, kultural, dan psikososial. Fenomena ini bukan hanya sekadar ekspresi agresi individu, tetapi juga merupakan hasil dari dinamika sosial yang melibatkan sejarah, ekonomi, pendidikan, serta nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Untuk memahami secara lebih mendalam, diperlukan pendekatan multidisipliner yang mencakup perspektif akademis, agama Islam, dan teori sosial lainnya.
Akar masalah konflik dalam perspektif akademis sebagai pemerhati problematim sosial, mencoba memberikan pandangan dalam kacamata akademisi, sebagaimana dalam kajian sosiologi konflik, perkelahian antar kampung dapat dijelaskan dengan beberapa teori, di antaranya seperti Teori Konflik Sosial dalam persepktif Karl Marx.
Perspektif ini melihat konflik sebagai konsekuensi dari ketimpangan sosial-ekonomi. Kemiskinan, keterbatasan akses terhadap pendidikan, dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya dapat memicu rasa ketidakpuasan kolektif, yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kekerasan. Jika pemuda di Kecamatan Wera tidak memiliki akses terhadap peluang ekonomi dan sosial yang memadai, mereka cenderung mencari identitas dan eksistensi melalui kekerasan kelompok.
Berikutnya, dalam teori anomi, versi Emile Durkheim menjelaskan, bahwa ketika norma-norma sosial melemah atau tidak lagi berfungsi secara efektif, individu dan kelompok dalam masyarakat akan mengalami kekosongan moral yang berujung pada perilaku menyimpang. Perubahan sosial yang cepat, tanpa adanya kontrol sosial yang kuat, dapat mendorong individu untuk mencari validasi melalui aksi-aksi destruktif, seperti perkelahian dan tindakan brutal.
Selain itu, Wolfgang dan Ferracuti dalam teori subkultur kekerasan menjelaskan bahwa dalam kelompok masyarakat tertentu, kekerasan dijadikan sebagai norma atau budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Jika komunitas di Kecamatan Wera memiliki sejarah konflik yang panjang, maka perkelahian antar kampung dapat dianggap sebagai “warisan sosial” yang terus direproduksi.
Perspektif Agama Islam dalam menyikapi konflik sebagai seorang muslim, pada umumnya seringkali memaknai bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Dimana Agama sangat menekankan pentingnya kedamaian, persaudaraan, dan penyelesaian konflik secara damai. Sebagaimana dalam Al Qur’an yang Artinya: “Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103).
Selanjutnya, Islam mengajarkan penyelesaian konflik melalui beberapa konsep utama, diantara lain adalah Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Islam) dimana masyarakat yang berpegang teguh pada nilai ukhuwah tidak akan mudah terprovokasi oleh emosi sesaat. Islam mendorong setiap individu untuk saling menghormati, menjunjung tinggi kemaslahatan bersama, dan menghindari perpecahan.
Berikutnya, Konsep Islah (Mediasi dan Rekonsiliasi) yaitu, proses penyelesaian konflik harus dilakukan dengan pendekatan damai dan keadilan. Mediasi (islah) antara pihak yang berseteru sangat dianjurkan. Kemudian, Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyeru kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran). Disini, peran keluarga atau orang tua, para tokoh Agama, pemuka adat, dan pemerintah daerah harus lebih aktif dalam mendidik generasi muda agar menjauhi budaya kekerasan dan lebih mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan.
Strategi mengatasi dan mengubah konflik menjadi potensi positif setiap problematik sosial yang memiliki banyak latar belakang tentu harus menghadirkan solusi-solusi dan penanganan secara intensif yang dapat dilakukan, hal tersebut dilakukan sebagai upaya agar perkelahian antar kampung atau perkelahian antar kelompok dapat diatasi dan dikonversikan menjadi sesuatu yang lebih positif.
Dengan begitu diperlukan pendekatan komprehensif berbasis pendidikan, budaya, dan ekonomi sebagai berikut: 1, penguatan pendidikan karakter, langkah ini harus menjadi garda terdepan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter generasi muda yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dan persaudaraan. 2, pemberdayaan ekonomi Berbasis Masyarakat, dimana pada umunya kita tahu bahwa kemiskinan dan pengangguran sering kali menjadi pemicu utama konflik sosial.
Oleh karena itu, solusi yang dapat dilakukan oleh pihak terkait mencakup beberapa hali, yaitu dengan menciptakan program ekonomi kreatif bagi pemuda, seperti UMKM berbasis syariah. Mengembangkan komunitas sosial yang mendorong pemuda untuk terlibat dalam kegiatan produktif, seperti pertanian, perikanan, dan teknologi digital. Dan melibatkan pemerintah daerah dalam memberikan akses terhadap modal usaha dan pelatihan kewirausahaan.
Strategi selanjutnya adalah pembentukan ruang ekspresi positif untuk Pemuda sebagai ruang ekspresi yang sehat. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengadakan kegiatan olahraga tradisional dan modern sebagai pengalihan dari aksi kekerasan. membangun pusat kreativitas pemuda (youth center) yang berfokus pada seni, budaya, dan teknologi dan menyelenggarakan kompetisi akademik dan sosial untuk menyalurkan potensi positif anak muda. Dan terakhir pendekatan hkum yang berkeadilan, point ini sangat penting sebab langkah ini bagian dari keterlibatan instrumen birokrasi. Dengan begitu, Pemerintah daerah harus memperkuat penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Aparat keamanan harus berperan sebagai fasilitator perdamaian, bukan sekadar penegak hukum represif. Keberlanjutan perdamaian harus didukung oleh sistem hukum yang mengedepankan keadilan restoratif.
*Dosen Akademi Bisnis Lombok (AKBIL), Mahasiswa Doktoral UPI Bandung