Oleh Didid Haryadi
Organize your community, empower your surrounding”
Hampir sebulan ini realitas sosial yang tersaji lewat layar kaca memberikan cerita yang beragam. Mulai dari opini publik yang hampir sama, dan juga adanya fenomena para pengamat yang menjadikan mereka terdepan” dalam mengabarkan dan menganalisa sebuah peristiwa. Seolah-olah pengamatan sekilas yang tampak lewat permukaan mampu menghadirkan makna, status, dan cerita sendiri bagi para intelektual tadi.
Ruang-ruang perbincangan menjadi lebih luas dan mungkin saja menyuburkan cita-cita demokrasi. Ruang publik dalam benak Habermas merupakan cerminan kualitas kedewasaan masyarakat dalam alam demokratis. Menurut Habermas, demokrasi hanya akan terjadi dalam masyarakat dewasa (Mundigkeit), dimana ideologi-ideologi ditanggalkan dalam praktek komunikasi. Dan ia mempertegas bahwa ruang publik yang sehat menjadi infrastruktur utama dalam demokrasi.
Hegemoni Menurut Gramsci
Gramsci, tokoh sosial asal Sardinia Italia begitu populer mengemukakan gagasan tentang konsep hegemoni. Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana masyarakat kapitalis modern diorganisasikan, atau dimaksudkan untuk diorganisasikan, dalam masa lalu dan masa kini.
Ada hal yang menarik dalam memahami konsep hegemoni Gramsci. Dengan berbagai konsep-konsep dan konteks yang dikemukakannya, ia pertama-tama membedakan negara dengan masyarakat sipil. “Negara didefinisikan sebagai sumber kekuasaan koersif dalam suatu masyarakat dan masyarakat sipil didefinisikan sebagai lokasi kepemimpinan hegemoni” (Robert Bocock, 25). Akan tetapi, lebih lanjut ia menghubungkan kedua konsep ini satu sama lain untuk mendefinisikan apa yang dia sebut sbeagai “negara integral” sebagai kombinasi hegemoni yang dilengkapi dengan kekuasaan koersif.
Negara integral adalah masyarakat politik beserta masyarakat sipil, dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh kekuasaan koersif (J. Femia, 156). Negara integral, seperti yang dikonseptualisasi oleh Gramsci,, memiliki dua aspek: sarana pemaksaan (polisi dan militer); dan sarana untuk membentuk kepemimpinan hegemoni dalam masyarakat sipil (pendidikan, penerbitan, penyiaran (broadcasting), dan bioskop (cinema). Seorang tokoh lain, R. Simon telah menunjukkan bahwa Gramsci berusaha memperlihatkan bahwa “hubungan sosial dalam masyarakat sipil adalah hubungan kekuasaan tepat seperti halnya (meskipun dengan cara yang berbeda) hubungan koersif dalam negara (J. Femia, 165).
Memahami konsep Hegemoni oleh Gramsci tentu saja bukan perkara yang mudah. Terlebih jika membaca karyanya ‘Prison Notebooks’ yang banyak mengulas tentang paradiigmanya mengenai negara dan ekonomi. Akan tetapi, secara ringkas dapat diketahui bahwa terdapat tiga unsur yang menjadi formasi sosial yang membentuk landasan konseptualisasi hegemoni. Pertama adalah perekonomian, kedua adalah negara, dan ketiga adalah masyarakat sipil.
“Perekonomian” adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah pada suatu waktu. Perekonomian ini terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial produksi yang dibangun berdasarkan suatu pembedaan yang didalamnya kelas-kelas dikaitkan dengan kepemilikan sarana produksi, baik sebagai pemilik substansial atau sebagai bukan pemilik yang dipekerjakan dalam organisasi yang berkaitan dengan produksi.
“Negara” terdiri atas sarana kekerasan (polisi dan militer) dan suatu wilayah tertentu, bersama dengan pelbagai birokrasi yang didanai oleh negara (pamong praja/lembaga pemerintah, pelbagai lembaga hokum, kesejahteraan dan pendidikan). Sedangkan “Masyarakat sipil” mengandung arti organisasi-organisasi lain dalam suatu formasi sosial yang tidak merupakan bagian dari proses produksi material dalam perekonomian tersebut serta bukan merupakan organisasi yang didanai oleh negara, tetapi merupakan lembaga-lembaga yang relatif berumur panjang yang didukung dan dijalankan oleh orang-orang diluar kedua bidang tersebut
Intelektual Organik
Salah satu pemikiran Gramsci lainnya yang sangat relevan untuk konteks kehidupan sosial adalah, Intelektual Organik. Membenturkan antara ‘teks’ dengan ‘konteks’ adalah upaya untuk memahami fenomena sosial secara lebih mendalam. Dan mungkin saja ‘intelektual organik’ yang dimaksudkan oleh Gramsci bisa dijadikan alat untuk mengukur salah satu konteks ‘gerakan rakyat’ yang baru-baru ini menjadi perbincangan internasional.
Gramsci berpendapat bahwa kelas-kelas sosial yang minoritas atau kelas sosial yang rendah, atau yang lebih dikenal dengan istilah sub altern, juga harus mendapatkan tempat di dalam pembentukan budaya “organik”. Oleh karena itu dibutuhkan intelektual organik, yakni kaum intelektual yang mampu mengartikulasikan sekaligus menyebarluaskan kepentingan dari kelas-kelas sub altern. Dalam hal ini, kepentingan yang diartikulasikan oleh intelektual organik tidak terbatas hanya pada kepentingan kelas pekerja semata, tetapi juga bisa melampaui kepentingan partikular kelas tersebut, dan juga mampu menembus bats-batas yang memisahkan kepentingan kelas-kelas subaltern.
Terlebih dalam konteks yang hampir relevan, konsep intelektual organik ini memiliki relasi yang cukup menarik dengan nasionalisme. Konsep nasionalisme Gramsci mencakup pula kepentingan kelas-kelas subaltern yang telah diartikulasikan oleh kaum intelektual organik, sehingga bisa ikut serta dalam proses politik untuk mewujudkan nasionalisme yang ideal. Kepentinngan kelas-kelas subaltern tersebut tidak lagi berada dalam “ruang”nya masing-masing. Akan tetapi, mampu melampui demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Muara daripada ini semua adalah hadirnya keteraturan sosial. Salah satu komponen penting dalam membangun munculnya kelompok intelektual organik adalah harus adanya kesadaran bersama yang dibangun berdasarkan kepekaan terhadap konteks sosial yang terjadi. Alat untuk mencapai hal tersebut adalah pendidikan. Lebih lanjut, menurut Gramsci pendidikan adalah sebuah bagian dari proses politik, sama dengan partai politik. Oleh karena itu, keduanya sangat berperan dalam menyebarkan kekuasaan (socializing force).
Sebagai penutup, kiranya sangat penting untuk tetap menjaga kewarasan berpikir, meluaskan sudut pandang dan terbuka dengan segala sesuatu yang bersifat konstruktif tanpa melupakan esensi sosial dan semangat ilmu pengetahuan. Dan keadilan sosial adalah tujuan yang ingin dicapai. Memahami analisis Gramsci melalui konsep-konsepnya harus berdasarkan blok historis, hegemoni, yang bisa dilihat jejak-jejak espitemologisnya dalam kaitannya perihal nasionalisme. Dimana hal tersebut membutuhkan penekanan pada dimensi historis, karena kelas-kelas yang berkuasa akan menciptakan hegemoni. Lebih mendalam, hegemoni dari kelas yang berkuasa tersebut adalah bagian dari aliansi yang bersifat kontinnual antara berbagai kelas-kelas sosial lainnya, termasuk kelas-kelas subaltern.
Berpikir kritis terhadap permasalahan yang muncul juga harus disertai melatih rasa panik. Hal terkecil yang bisa direalisasikan secara kolektif adalah “organize your community, empower your surrounding”.
*Penulis Mahasiswa Master Program Sosiologi di Istanbul University