Opini

Angka Perceraian Tinggi, Rumah Tangga Butuh Solusi Hakiki

656
×

Angka Perceraian Tinggi, Rumah Tangga Butuh Solusi Hakiki

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rahmania, S.Psi*

Angka Perceraian Tinggi, Rumah Tangga Butuh Solusi Hakiki - Kabar Harian Bima
Ilustrasi

Tahun demi tahun, angka perceraian di daerah Bima selalu meningkat. Terutama dalam 5 tahun terakhir, trendnya meningkat tajam. Sejak tahun 2019 sebanyak 1.469 kasus, pada tahun 2020 meningkat menjadi 1.931 kasus, tahun 2021 meningkat menjadi 2064 kasus dan di tahun 2022 2.041 kasus. Walau sedikit turun dari trend 2021, hal ini tetap harus menjadi perhatian semua pihak.

Angka Perceraian Tinggi, Rumah Tangga Butuh Solusi Hakiki - Kabar Harian Bima

Perceraian Makin Marak

Dirilis dari media Lombokpost dan media lokal Kahaba.net, angka perceraian di daerah Bima terus mengalami kenaikan di 5 tahun terakhir. Penyebab perceraian didominasi percekcokan atau perselisihan antar pasangan, pertengkaran yang terus menerus terjadi, KDRT, kurangnya perhatian hingga masalah ekonomi. Kejadian ini membuat sedih atas tingginya angka perceraian di daerah kita ini. Daerah Bima dengan jumlah populasi penduduk sebanyak 687.817 jiwa (data dirilis dari google) ternyata harus mengalami ribuan kasus perceraian di setiap tahunnya.

Hal ini tentu meninggalkan dampak luar biasa, terutama bagi anak-anak korban perceraian. Walau kerusakan pada mereka bukan semata atas korban perceraian, namun perceraian tetap memiliki dampak negatif bagi anak-anak dalam menjalankan kehidupannya. Terutama dalam perkara nafkah, atas alasan perceraian tersebut banyak orang tua yang melepas tanggungjawab nafkah pada anak-anak apalagi jika sudah membangun keluarga baru. Akibatnya banyak anak yang terlantar tak dinafkahi, hingga ada yang melakukan tindakan buruk demi memenuhi kebutuhannya, seperti mencuri, melacur dan sebagainya.

Di balik tingginya laju perceraian, tentu ada masalah mendasar yang harus ditemukan solusinya oleh semua pihak. Tingginya kasus ini tak cukup hanya direspon dengan perasaan bersedih, prihatin atau miris. Atau sekadar menawarkan solusi yang parsial, tetapi harus ada langkah kongkrit dan keterlibatan semua pihak untuk menyelamatkan keluarga dan generasi dari perceraian dan dampak lanjutan dari perceraian.

Rumah Tangga tak Harmonis, KDRT dan Perceraian

Kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara suami dengan istri. Suami adalah sahabat istrinya dan sebaliknya istri adalah sahabat suaminya dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat mereka mendapatkan ketenangan hidup di dunia ini. Dalam menjalankan biduk rumah tangga antara suami dan istri, mereka adalah sumber ketenangan satu sama lain. Dan hari ini keharmonisan rumah tangga menjadi sulit terwujud. Tak jarang rumah tangga sekadar menjalin komunikasi hangat antar pasangan dan anak-anak menjadi hal yang sangat mahal, walau sumber konflik dan KDRT bukan semata tersebab kurangnya komunikasi.

Demikian maraknya KDRT bukan sebab ketiadaan hukum dan perundangan yang melindungi perempuan dan mengatur KDRT. Indonesia sudah mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Berarti negeri ini memiliki produk hukum terkait masalah kekerasan dalam rumah tangga yang telah diimplementasikan hingga hari ini. Maka patut menjadi pertanyaan, mengapa kasus KDRT justru semakin marak? Dan ibarat gunung es, data yang ada hanya sedikit mengungkap maraknya KDRT, sementara yang belum terdata (terlapor) bisa jadi sangat banyak.

Maka masalah KDRT bukan saja masalah kurangnya komunikasi atau tidak adanya hukum yang mengaturnya. Masalah KDRT adalah masalah sistemis, banyak aspek yang berkaitan satu sama lain. Untuk menyelesaikannya tidak cukup sekadar parsial, semisal menyelesaikan soal komunikasi suami istri atau merevisi UU dan membuat pasal-pasal baru terkait KDRT. Lebih dari itu, KDRT adalah masalah sistemik yang harus diselesaikan dengan sistemik pula.

Hari ini rumah tangga kaum muslimin tidak lagi diatur oleh Islam. Wajar jika relasi yang terjalin antara suami dan istri menjadi “sakit”. Ditambah dengan tekanan dan stressor yang dihadapi di lingkungan pekerjaan. Tak jarang suami istri hanya mencukupkan kewajiban dirinya dalam hal nafkah. Tersebab ketiadaan Islam yang mengatur kehidupan individu dan ketiadaan Islam di tengah rumah tangga berakibat pada rusaknya pemahaman dan _mindset_ mereka. Padahal peran suami dan istri harus dijalankan dengan takwa, ilmu dan hikmah.

Rumah tangga adalah ladang pahala yang sangat luas. Menjalankannya harus dengan fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan dan amal shalih. Ini tercermin dari amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan oleh keduanya. Jika istri tidak menutup aurat sesuai perintah syara’, maka suami wajib mengingatkannya. Demikian sebaliknya, jika suami lalai dalam memperhatikan kehalalan rezeki, maka istri wajib mengingatkan dan membantu suami dengan hidup qona’ah.

Selain ketiadaan Islam, beratnya tekanan ekonomi dan mahalnya biaya hidup hari ini memaksa keduanya untuk berorientasi materi. Tidak hanya suami yang bekerja, istri pun mewajibkan dirinya untuk bekerja, berbisnis, terlibat dalam panggung politik, UMKM dan sejenisnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan, maka mereka merasa telah memenuhi kewajibannya dalam rumah tangga. Jadilah istri sedemikian aktif di ranah publik yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Karena aktif di ranah publik seperti itu justru melalaikan istri dari tanggungjawabnya sebagai ummu wa robatul bayt, ummu madrasatul ‘ula dan ummu ajyal. Dan suami yang lalai akan tanggungjawab besarnya yaitu menjaga diri dan keluarganya dari siksa api neraka yang atas ini memiliki makna yang mendalam. Tanggungjawab ini adalah tanggungjawab besar di hadapan Allah Ta’ala yang membutuhkan kolaborasi untuk dapat menjalankannya. Kolaboarasi itu tidak lain adalah saling memberi nasehat, kebaikan dan takwa.

Maka dari uraian singkat tersebut dapat dipastikan bahwa KDRT terjadi sebab sekuler kapitalisme yang menjadi asas kehidupan umat Islam hari ini. ketiadaan Islam yang mengikat rumah tangga sehingga suami dan istri tidak paham akan hak dan kewajiban atas mereka. Hal yang terkesan sepele namun mampu menjadi problematika serius dalam kehidupan dan keutuhan berumahtangga. Kemudian kapitalisme telah memaksa rumah tangga kaum muslim hari ini untuk berorientasi pada pemenuhan kebutuhan atas beratnya tekanan hidup dan mahalnya kebutuhan. Kapitalisme telah memporakporandakan struktur keluarga, semisal nafkah menjadi kewajiban suami namun fakta hari ini istri juga bersusah payah memenuhi hal yang bukan kewajibannya. Kondisi ekonomi membuat mereka akhirnya masing-masing tidak saling perhatian, tidak hangat dan harmonis kemudian memicu munculnya konfilk atau pertikaian yang berujung pada kekerasan.

Islam Solusi Keharmonisan Rumah Tangga

Islam mengharuskan setiap manusia terikat kepada hukum syara’ sepanjang hidupnya dan dalam menjalankan perannya sebagai khalifah fil ardh di dunia. Dalam syariat, Islam mewajibkan suami istri saling bersikap baik dan lemah lembut, tidak kasar, dan memiliki adab yang baik satu sama lain. Laki-laki adalah qowwam yang memimpin rumah tangga dan segala permasalahan didalamnya. Problematika rumah tangga harus diselesaikan secara baik-baik, tidak emosional dan bersandar pada hukum-hukum syara’.

Dalam pemenuhan kebutuhan dan ekonomi keluarga, Islam mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya. Jika tidak mampu, nafkah keluarga akan dibebankan kepada saudara atau keluarga dari pihak laki-laki. Jika tidak ada yang mampu lagi maka negaralah yang akan memberikan bantuan langsung kepada keluarga tersebut. Sebab fungsi negara adalah sebgai ri’ayatu su’unil ummah, pelayan rakyat dan berperan dalam pemenuhan hajat hidup rakyatnya. Adapun bagi istri boleh-boleh saja untuk bekerja (mubah), tetapi ketika perempuan bekerja harus tetap memperhatikan kaidah syara’ seperti menutup aurat secara sempurna, tetap melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan ibu, juga menjaga pergaulan dengan lawan jenis di tempat kerja.

Begitu pula dalam hal hubungan sosial dan pergaulan, sistem Islam akan menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, seperti larangan khalwat dan ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan non mahram tanpa aturan dan hajat syar’i). Hal ini akan meminimalkan terjadinya perselingkuhan, zina dan sejenisnya yang bisa saja memicu KDRT. Terakhir, sistem hukum Islam memiliki sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan, termasuk KDRT. Maka masalah KDRT dalam rumah tangga hanya akan terselesaikan dengan diterapkannya syariat Islam. Karena hanya Islam yang bisa menjadi solusi tuntas berbagai problematika kehidupan di dalam keluarga muslim hari ini.

Wallahu a’lam.

*Aktivis Muslimah

Mengenal Penyebab Kebakaran dan Penanganan Dini - Kabar Harian Bima
Opini

Oleh: Didi Fahdiansyah, ST, MT* Terdapat Peribahasa “Kecil Api Menjadi Kawan, Besar Ia Menjadi Lawan” adapun artinya kejahatan yang kecil sebaiknya jangan dibiarkan menjadi besar. Begitupun…