Kabupaten Bima, Kahaba.- Dalam pandangan sebagian orang, menjadi seorang jurnalis sangatlah mudah. Namun sebagian orang pula menilai, menjadi seorang jurnalis sejati juga tidak gampang. Karena banyak aspek yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar.
Berpedoman pada aturan dan kode etik bukanlah perkara mudah. Karena saat menjalankan tugas di lapangan, kerapkali profesi tersebut dihadapkan pada persoalan yang menyimpang dari tugas-tufgas jurnalitik.
Untuk menjadi seorang jurnalis yang baik dan profesional, Pimpinan Redaksi (Pimred) Radar Tambora, Muhammad Saptoto mengatakan, ada beberapa aspek yang harus dipenuhi. Selain melaksanakan profesi mulia itu dengan berkiblat pada UU Pokok Pers dan kode etik, menjadi wartawan juga harus berani dan bisa menjadi insan yang ditakuti. Bukan karena sikap dan prilakunya, tetapi dengan keberanian menulis dan mengungkap fakta dan kebenaran.
“Wartawan itu ditakuti, bukan menakut-nakuti orang atau sumber, kemudian mengambil keuntungan pribadi ataupun golongan,” ujarnya.
Saat menjadi pembicara pada pelatihan jurnalistik yang digelar Mbojo Journalist Club (MCJ) dengan Tema “Pelatihan Jurnalistik, Menuju Pers yang Berintegritas” di Taman Wisata Madapangga, Sabtu (25/01/14) lalu, Saptoto mengingatkan, menjadi seorang wartawan tidak boleh terlambat. Apabila wartawan terlambat, maka akan ketinggalan informasi dan berita. “Wartawan itu harus cepat,” katanya.
Tidak hanya itu, lanjut Saptoto, wartawan juga harus pintar. Karena jika wartawannya tidak pintar, maka berita yang disajikan tidak akan dimengerti oleh pembaca.
Bagaimana caranya agar bisa pintar, menurut Saptoto, yakni dengan banyak bertanya. “Jangan saat berhadapan dengan sumber lebih banyak diam daripada bertanya. Jika terus bertanya, maka analisa terhadap sudut berita akan bisa lebih banyak dikembangkan,” jelasnya.
Menjalani profesi seorang jurnalis, juga harus jujur. Jika wartawan berbohong, maka akan menulis berita bohong. Sebisa mungkin juga menghindari kepentingan pribadi dalam berita. “Jika ada kepentingan pribadi dalam menulis berita, maka akan ada intervensi opini wartawan dalam pemberitaan,” tutur Saptoto.
Dia mengajak wartawan di Bima untuk menjaga integritas. Tidak menjual diri dan profesi dengan nilai yang rendah. “Kita harus menjadi wartawan yang bisa dipercaya oleh masyarakat,” ingat Saptoto.
Menurutnya, pemberitaan di Bima, sering melebar-lebarkan dan dipanjang-panjangkan tulisannya. Padahal, dalam Lead berita bisa dibuat pendek, namun tidak menghilangkan esensi Lead. “Jangan selalu menumpuk akar masalah berita pada alinea pertama. Bisa saja saat menulis berita kejadian, 5 W + 1 H ditempatkan pada alinea kedua atau dialenia ketiga,” urainya.
Mengenai kalimat langsung dalam pemberitaan juga dibahas. Kata Saptoto, kalimat langsung itu merupakan kutipan langsung dari sumber dan tidak boleh dibuat sendiri oleh wartawan. “Kutipan itu tidak boleh salah dan tidak boleh dibuat-buat. Karena fungsi kalimat langsung itu mempertegas kalimat tidak langsung yang berada pada alinea sebelumnya,” jelasnya.
Dia menambahkan, menulis berita juga harus hati-hati dan teliti. Jangan menyerahkan sepenuhnya tulisan yang dibuat kepada redaktur. Wartawan harus membiasakan diri untuk mengoreksi hasil tulisannya. Karena jika salah pada satu huruf saja, maka akan berbahaya. Kelebihan atau kekurangan nol saja pada suatu angka, maka akan berbahaya. “Kita di Redaksi, akan bangga jika ada wartawan yang menulis berita dengan clear. Sudah tidak ada yang diperbaiki. Makanya penting membaca ulang berita, apalagi tiap kalimat,” ujar Saptoto.
Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Ir. Khaerudin M. Ali, M.AP mengingatkan, profesi wartawan sangat dihargai orang, bukan karena cara petantang-petentengnya dalam mencari berita. Bukan juga karena menakuti dan menekan pejabat, ataupun karena memiliki mobil dan mengerjakan proyek. Tetapi, dihargai dengan karya tulisnya yang mampu menyampaikan kebenaran.
Saat memberikan materi jurnalistik dalam pelatihan tersebut, Khairudin menyampaikan jika Dewan Pers telah menerbitkan Surat Edaran tentang pendirian media. Setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi, yakni harus berbadan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT), tidak boleh Perseroan Komanditer (CV).
Kemudian berbadan hukum berupa Yayasan dan Koperasi. Tiga badan hukum inipun secara khusus menjalankan usahanya dibidang media. Selain itu, terbitan juga tidak boleh menggunakan print out, tetapi harus dicetak. “Kenapa harus dicetak, agar tidak bisa dibuat ulang oleh orang lain. Kita harus sadar betul, kita harus membangun media yang tidak dimudah-mudahkan, tapi harus sesuai dengan ketentuan,” ujar Khairudin.
Dia mengajak agar media yang menggunakan Print Out atau belum dicetak untuk bergabung dengan perusahaan lain, karena itu lebih baik. Karena berbicara menuju media yang integritas, jadi harus memenuhi unsur dan ketentuan. “Jika tidak dilakukan, maka akan berbahaya dan berimplikasi pada media dan wartawan,” tandas Khairudin.
*BIN