Kota Bima, Kahaba.- Pemkot Bima telah mencatat sejarah baru saat Pawai Rimpu yang dihelat, Sabtu kemarin. Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai lembaga yang bertugas menghimpun data, dan menganugerahkan penghargaan terhadap prestasi superlatif karsa dan karya Bangsa Indonesia, mencatat Pawai Rimpu yang diikuti 20.165 warga Kota Bima merupakan yang terbanyak dalam sejarah. (Baca. Pecahkan Rekor Dunia, Pawai Rimpu 20.165 Warga Kota Bima Dapat Piagam MURI)
Tentu saja perhelatan itu menjadi kebanggaan, tentu saja penyelenggara kegiatan yakni Pemerintah Kota Bima melalui Dinas Pariwisata. Sebab, masyarakat berbondong – bondong memadati ruas jalan yang menjadi jalur pawai. Saking banyaknya, kemacetan lebih dari satu jam di sekitar lokasi finis Pantai Lawata, sulit diurai oleh petugas.
Di balik kemeriahan acara dimaksud, tentu saja tak lepas dari pujian, pengakuan dan kritik. Seperti yang disampaikan oleh akademisi STISIP Mbojo Bima Syarif Ahmad. Dirinya mengapresiasi perhelatan akbar itu, apalagi telah memecah rekor dan MURI memberikan piagam sebagai Pawai Rimpu terbanyak yang tercatat.
Tapi pria yang bergelar Doktor itu menilai, jika rimpu itu konteksnya hanya untuk sekedar mengejar rekor MURI, itu mestinya tidak menjadi target atau orentasi pawai dimaksud. Lebih dari itu, ada nilai filosofi yang harus dibangkitkan kembali dari indentitas yang saat itu mulai tergerus.
“Menurut saya, kalau rimpu hanya sekedar mengejar rekor MURI, kita adalah orang-orang yang rugi,” jelas Syarif, Minggu malam (13/10).
Idealnya kata dia, rimpu itu tidak hanya sekedar berorientasi untuk mengejar rekor. Karena memang saingan untuk mengejar rekor tersebut hanya ada pada di 2 wilayah, yakni di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima, tidak ada yang lain.
“Jadi memang harus diinjeksi kepada program-program pemerintah. Seperti masuk dalam kurikulum pendidikan sebagai local wisdom atau kearifan lokal,” kata Syarif.
Ia mencontohkan, untuk pendidikan, pemerintah bisa menjadikannya kurikulum yang mengupas tentang filosofi rimpu. Karena semua tahu, itu merupakan kearifan lokal yang identitasnya begitu kuat.
Kemudian sambungnya, oleh Pemerintah Kota Bima sendiri menerapkannya sebagai busana kerja pada hari – hari tertentu. Demikian juga pada pendidikan, guru dan siswi memakai rimpu pada hari yang ditetapkan. Dan itu terus diterapkan, identitas daerah itu akan terjaga dengan baik dan tidak tergerus zaman.
“Kita bisa lihat di beberapa daerah lain di Indonesia. Seperti di Denpasar Bali, itu ada hari-hari tertentu orang menggunakan pakaian adat pada instansi-instansi pemerintah. Lantas identitas kita ini apa?, ya rimpu ini juga. Ini identitas dan kearifan lokal kita,” urai pria yang menyelesaikan gelar Doktornya di Universitas Indonesia (UI).
Artinya tambah Syarif, kegiatan semacam ini jangan hanya sebatas omprengan yang hanya mengejar setoran atau poin. Tapi pemerintah pun harus memikirkan dan mengimplemantasikan rimpu ini sebagai nilai dan indentitas daerah yang terus melekat dan dipakai oleh semua generasi.
*Kahaba-01