Oleh: Dr. Muhammad Athar Ismail Muzakir, S.Si.,M.E*
Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) adalah pilar penting bagi pencapaian Visi Indonesia Emas 2045. Betapa tidak, di tahun 2045 nanti, Indonesia diharapkan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor lima dunia atau dengan target pertumbuhan ekonomi pertahun sejak 2022-2045 adalah mencapai 5,7% (Bappenas, 2022). Salah satu strategi kebijakan untuk mencapai target visi Indonesia Emas adalah melalui peningkatan sumbangan IPTEK dalam pembangunan nasional. Adapun indikator yang biasa digunakan untuk mengukur sumbangan IPTEK terhadap pembangunan adalah produksi faktor total (total factor productivity-TFP). Secara teoritis, menurut model pertumbuhan solow, TFP adalah komponen residu (sisa) dari selisih antara kontribusi total input tenaga kerja dan stok modal fisik dengan total output barang dan jasa. Semakin besar nilai TFP, semakin tinggi kontribusi faktor residu – teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan laporan Asian Productivity Organization-APO (2021), bahwa dalam periode 2015-2019 nilai TFP Indonesia adalah sebesar -1,0% dan menempati peringkat ke-23 dari 25 negara yang disurvei. Posisi Indonesia bahkan terendah dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya seperti Thailand (1,5%), Singapura (1,1%), Malaysia (0,4%) dan Brunei (0,0%). Rendahnya nilai TFP ini tentunya menjadi tantangan bagi bangsa kita, apalagi dengan target pertumbuhan ekonomi 5,7% dan target Multi Factor Productivity (MFP) 2045 adalah 70% sebagaimana tertuang di lampiran Perpres 38/2018 tentang RIRN 2017-2045, maka diketahui bahwa target TFP di tahun 2045 diharapkan naik menjadi 3,99%. Artinya jika disandingkan nilai TFP antara tahun 2019 dengan tahun 2045 didapati selisih yang cukup jauh yaitu hampir 5%.
Pertanyaannya, Bagaimana Meningkatkan Nilai TFP Indonesia?
Secara teori, sebagaimana model pertumbuhan solow, upaya meningkatkan nilai TFP dapat dilakukan dengan mengintervensi kinerja faktor-faktor input dan output dari fungsi produksi. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah penelitian, bahwa nilai TFP tidak semata dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, modal fisik, perubahan
komposisi aset meliputi infrastruktur IT dan litbang sebagaimana juga digunakan oleh APO (2021). Namun juga disebabkan oleh ekosistem kebijakan diantaranya adalah ekosistem kebijakan investasi dan inovasi industri (Craft, N., 2006; Dya, R.A. dan Budyanra, 2019, European Centrak Bank, 2020 dll). Salah satu contoh kebijakan investasi dan inovasi industri tersebut adalah insentif pajak jumbo litbang (super tax deduction). Negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan Singapura adalah diantara bukti empiris yang menunjukkan bahwa insentif STD litbang telah menjadi salah faktor kunci bagi tingginya nilai TFP.
Pelajaran dari Negeri Jiran
Dalam ruang ini, penulis mengambil Malaysia sebagai contoh, meskipun pada 1960-an hingga 1970-an, Malaysia pernah belajar IPTEK kepada kita, namun sebagaimana kata bijak yang berbunyi: jangan lihat siapa bicara, tapi dengarkan apa katanya. Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Irwanto (2020) bahwa STD litbang Malaysia dinilai telah berjalan dengan efektif. Fenomena tersebut menurut penulis menjadi salah satu faktor kunci tingginya nilai TFP Malaysia dibandingkan dengan Indonesia. Penilaian tersebut dibuktikan paling tidak jika membandingkan nilai pendapatan per kapita Malaysia dengan negara anggota ASEAN lainnya. Mengutip dari laman https://data.worldbank.org/indicator/ bahwa pendapatan per kapita Malaysia pada 2019 adalah hampir mencapai negara berpenghasilan tinggi (high income country) atau sebesar USD 11.260. Nilai tersebut hanya terpaut USD 1.275 dari USD 12.535 yang merupakan batas bawah untuk negara dengan kategori high income. Adapun negara-negara ASEAN lainnya kecuali Singapura dan Brunei, semuanya masih berada dibawah Malaysia.
Pertanyaan Lanjutan Adalah Apa Rahasia Malaysia?
Menurut penulis, rahasia Malaysia dalam mendorong STD litbang ada dua: pertama, rendahnya biaya administrasi pajak, hal ini senada dengan laporan Asian Development Bank (ADB) yang berjudul A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and The Pacific edisi 2020 hal 41 yang menempatkan Malaysia kedalam negara dengan biaya administrasi pajaknya yang rendah. Kedua, adalah efektifnya kolaborasi riset universitas dan Industri. Sebagaimana the global competitevenss report, bahwa dalam rentang 2015-2019, Malaysia menduduki peringkat ke-12 hingga ke-6. Bahkan untuk tahun 2018 dan 2019, ketika aktor kolaborasi yang diukur meliputi pengambil kebijakan, pelaku bisnis dan masyarakat sipil, pun Malaysia menduduki peringkat tertinggi diantara negara ASEAN. Ibne Afzal, M.N et.al (2018), dalam penelitiannya juga menemukan bahwa kerjasama riset industri dan universitas di Malaysia berjalan dengan baik. Industri maupun universitas sama-sama mendapatkan keuntungan timbal balik dari kolaborasi riset yang dilakukan.
Insentif Pajak Jumbo Litbang di Indonesia
Setelah sekitar dua tahun diundang-undangkan, minat industri terhadap STD litbang yang diatur melalui PMK No 153/2020 masih rendah. Meskipun efektivitas kebijakan tersebut masih terlalu dini untuk dinilai, karena jika merujuk pengalaman Malaysia, sejatinya kebijakan Income Tax Act yang mengatur STD litbang di Malaysia telah dimulai sejak tahun 1967 atau sekitar 50 tahun lebih dulu dibandingkan Indonesia. Diantara penyebab rendahnya implementasi STD litbang Indonesia adalah selain masalah administrasi perpajakan, lamanya pengajuan sertifikasi paten adalah rendahnya jumlah periset yang ada di Industri. Mengutip dari Buku Indikator Iptek (2022), total jumlah periset di industri pada 2020 adalah hanya 4.744 atau 13,36% dari total jumlah industri manufaktur di Indonesia. Dari jumlah tersebut, yang berpendidikan S3 adalah hanya 3,08% dan S2 adalah 13,49%, sisanya yaitu 83,43% berpendidikan S1 kebawah. Adapun periset dengan kualifikasi tinggi (doktor) justru lebih banyak tersedia di lembaga riset dan inovasi publik dan akademisi. Bahkan kalau kita bandingkan jumlah periset (peneliti) secara keseluruhan, sebagaimana penulis kutip dari Buku RIRN 2017-2025 edisi 28 Februari 2017, jumlah peneliti di Indonesia pada 2015 hanya 1.071 per sejuta penduduk, atau tidak sampai separuh dari jumlah peneliti Malaysia yang
memiliki sekitar 2.590 peneliti per sejuta penduduk.
Penguatan Mobilisasi Periset
Pelajaran berharga dari Malaysia bagi peningkatan nilai TFP melalui penguatan STD Litbang adalah selain mendorong kemudahan administrasi perpajakan dan percepatan pengurusan paten adalah penguatan kolaborasi riset antara lembaga litbang dengan Industri. Penguatan kolaborasi riset ini sekaligus dapat mengatasi lemahnya SDM periset yang ada di Industri. Di dalam konteks nasional, sejatinya sejumlah pendekatan kebijakan telah dilakukan pemerintah guna mendorong kolaborasi riset seperti di antaranya adalah skema open platform untuk pelaku usaha untuk menggunakan fasilitas pengujian di BRIN, program magang riset bagi mahasiswa atau skema Pusat Kolaborasi Riset (PKR) yang dikoordinasi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Begitu juga sejumlah program di Kemendikbud-Ristek seperti magang dosen ke industri, teaching factory dll.
Namun demikian, melihat periset tersebar di lembaga pemerintah, perguruan tinggi, industri dan lembaga non profit, apalagi kantong periset terbesar adalah justru berasal dari perguruan tinggi yaitu sebesar 88,16%. Dari total jumlah periset (dosen) nasional sebesar 263.554, ternyata 69,40% nya adalah berasal dari perguruan tinggi swasta dan 30,60% berasal dari perguruan tinggi negeri (Statistik Pendidikan Tinggi 2020, Dirjen Dikti-Kemendikbud).
Adapun periset dari sektor pemerintah hanya 7,29%, periset dari Industri hanya 3,48% dan 0,43% periset tersebar di sektor lembaga non profit (Buku Indikator Iptek, BRIN, 2022).
Artinya, dengan adanya perbedaan tradisi serta beberapa kendala regulasi dalam kerja sama riset antara lembaga riset pemerintah dan industri seperti permasalahan masih kakunya pertanggungjawaban keuangan yang bersumber APBN serta kepatuhan administratif yang dinilai masih berbelit (administrative compliance) dll. Maka, dibutuhkan dukungan kebijakan guna memperkuat mobilisasi periset ASN baik antar institusi litbang maupun dengan Industri sebagaimana spirit UU 5/2014 tentang ASN. Apalagi, merujuk pada sebaran periset yang ada, menurut penulis, peraturan teknis tersebut seyogyanya tidak hanya mengatur mobilitas periset ASN ke Industri, namun juga terus mendorong kemudahan partisipasi periset non ASN dalam pengembangan riset dan inovasi nasional.
Di antara yang dapat dilakukan adalah selain mendorong terealisasinya apa yang sejatinya sedang diupayakan pemerintah seperti membangun sistem informasi kepakaran periset, pemetaan kebutuhan periset di industri, menyusun strategi mobilisasi periset dan pengakuan bagi periset yang memberikan asistensi bagi industri adalah juga mendorong kemudahan administrasi perpajakan dan percepatan pengajuan paten untuk STD litbang. Harapannya, melalui segenap langkah-langkah kebijakan tersebut akan semakin mendorong kolaborasi riset dan inovasi tidak hanya bagi pemanfaatan STD litbang, namun juga bagi peningkatan kontribusi iptek terhadap pertumbuhan ekonomi nasional untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045 , semoga!!.
*Dosen Pasca Sarjana Imu Administrasi-Universitas Islam Syekh Yusuf