Hukum & KriminalKabar Kota Bima

Permohonan Rehab Kasus Narkoba Agus Mawardy Dipersulit, Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

910
×

Permohonan Rehab Kasus Narkoba Agus Mawardy Dipersulit, Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Sebarkan artikel ini

Kota Bima, Kahaba.- Pengacara muda Alumni Universitas Mataram Muh Alhusaini menyoroti perkara narkotika yang mendera Agus Mawardy dan saat ini masih berproses di Polres Bima Kota. Jika dilihat pada sejumlah aturan, dirinya pun melihat ada kejanggalan proses. Padahal pada kasus Agus Mawardy yang hanya memiliki barang bukti 0,5 gram, sangat bisa dilakukan rehabilitasi.

Permohonan Rehab Kasus Narkoba Agus Mawardy Dipersulit, Menimbulkan Ketidakpastian Hukum - Kabar Harian Bima
Muh Alhusaini. Foto: Ist

Apabila melihat urgensi rehabilitasi penyalahgunaan narkotika, Alhusaini memaparkan beberapa aturan. Mulai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik, pada Pasal 1 angka 13 menyatakan pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pada angka 15 menyatakan, penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak dan melawan hukum.

Pada intinya kedua pengertian di atas, masyarakat tidak ada permufakatan jahat terkait narkotika, mengedarkan narkotika, produksi narkotika, impor ataupun ekspor narkotika, memberikan/menawarkan kepada orang lain memfasilitasi peredaran Narkotika dan memberikan akses untuk mendapatkan Narkotika, maka dapat dinyatakan orang tersebut merupakan pecandu atau penyalahguna.

“Jika seseorang menjadi tersangka/terdakwa dalam tindak pidana narkotika berdasarkan bukti dan keterangan saksi, serta keterangan tersangka tidak membuktikan adanya perbuatan tersebut, maka dapat dinyatakan jika ia adalah pecandu atau penyalahguna narkotika,” paparnya, Kamis (15/12).

Kemudian pasal yang mengatur seseorang sebagai penyalahguna Narkotika sambungnya, yaitu Pasal 127 UU Narkotika yang berbunyi, setiap penyalahguna, poin a, Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, poin b, Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan poin c, Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103.

“Maka dalam hal penyalahguna sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,” jelasnya.

Pada aturan lain, seperti pada Pasal 54 UU Narkotika menyatakan, Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

Peraturan BNN Nomor 11 Tahun 2014 juga mengatur bahwa pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan kewajiban melawan hukum sebagi tersangka dan/atau terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

Di sisi lain terang Alhusaini, Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisan RI, Kepala BNN RI Nomor: 01/PB/MA/III/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor : 11 Tahun 2014, PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi.

“Berdasarkan Peraturan Bersama tersebut, pecandu narkotika tidak lagi bermuara pada sanksi pidana penjara, melainkan bermuara di tempat rehabilitasi karena sanksi bagi pecandu disepakati berupa rehabilitasi,” ungkapnya.

Alhusaini menguraikan, walaupun jauh-jauh hari sebelum peraturan bersama tersebut diundangkan, Mahkamah Agung sebelumnya telah menerbitkan SEMA (Surat edaran) Nomor 4 Tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.

Selain mempertegas agar penyalahgunaan narkotika dapat diproses dengan cara rehabilitasi, peraturan bersama tersebut dibuat agar lembaga penegakan hukum baik dari BNN, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, mempunyai persepsi yang sama terhadap penyalahguna narkotika adalah pihak korban dan bukan pelaku kriminal.

Dirinya juga menegaskan, arah politik hukum dalam Undang-Undang Narkotika telah memberikan oase, bagi ketertinggalan dalam melihat hukum yang masih stagnasi pada aliran hukum pidana klasik yang mengedepankan sifat retributif, padahal dalam diskursus hukum pidana, telah bergeser dan menempatkan pembalasan atau pemenjaraan pada hal yang ultimum remidium atau opsi terakhir.

“Jadi ketika para penyalahguna Narkotika dipaksakan untuk di penjarakan, maka sebenarnya kita sedang menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Sehingga rehabilitasi yang menjadi kewajiban dan memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang Narkotika harus dilihat sebagai hal yang urgen,” tukasnya.

Maka menyinggung kasus yang menyeret Agus Mawardy menurut Alhusaini, begitu keliru penyidik Polres Bima Kota mengabaikan sejumlah aturan yang mestinya menjadi pedoman untuk setiap tahapan proses.

Jika melihat proses hukum kasus Agus Mawardy yang hingga saat ini masih ditangani, dan yang bersangkutan sudah lebih dari 20 hari menjalani penahanan di ruang tahanan Polres Bima Kota. Jelas telah mengabaikan regulasi dan UU yang mengatur rehabilitasi penyalahgunaan narkotika. Apalagi jika melihat narasi yang disampaikan pihak keluarga dan pengacara Agus Mawardy, muncul tebang pilih penanganan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan.

“Apabila pihak keluarga dan pengacara sejak awal sudah mengajukan permohonan rehabilitasi, namun prosesnya lama, maka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

*Kahaba-01