Opini

Ironi Partisipasi Politik Masyarakat

510
×

Ironi Partisipasi Politik Masyarakat

Sebarkan artikel ini
Oleh: H. Hamzah H. Syahrir, A.Md. S.Pd. MM.

Opini, Kahaba.- Sejak era reformasi, politik menjadi panggung yang terbuka bagi siapa saja. Setiap orang berhak berpartisipasi dalam politik. Setiap orang berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pemimpin. Intinya, partisipasi masyarakat dalam politik dibebaskan sepanjang tidak melanggar norma atau peraturan UU politik.

Ilustrasi
Ilustrasi

Hanya saja, saat ini perlu dipertanyakan sejauh mana sesungguhnya keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam politik? Pertanyaan ini penting dikaji mengingat masyarakat adalah subyek politik yang paling menentukan kualitas kepemimpinan bangsa baik lokal maupun nasional.

Kalau diamati sejak pemilihan langsung diberlakukan pada tahun 2004, partisipasi politik masyarakat hanya musiman. Masyarakat betul-betul terlibat dalam politik dalam musim kampanye atau menjelang pemilihan, baik itu pemilihan kepada daerah, presiden maupun anggota legislatif. keterlibatan masyarakat yang paling menonjol hanya memilih di bilik suara. Sebelumnya masyarakat hanya dijadikan sasaran money politik dalam bentuk bagi-bagi sembako, uang dan sebagainya dalam istilah ‘serangan fajar’.

Pemaparan visi misi dan program kerja calon pemimpin amat jarang dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat selalu hanya menjadi subyek yang meramaikan kampanye di jalanan atau panggung kampanye yang identik dengan konser, karnaval atau pawai. Setelah pemilihan, masyarakat dilupakan, ‘habis manis sepah dibuang’.

Partai politik, elite-elite politik atau calon-calon pemimpin amat jarang, malah nyaris, melakukan pendidikan politik pada masyarakat. Masyarakat hanya menjadi objek politik. Belum menjadi subjek yang betul menentukan kepemimpinan politik. mengapa tiga belas tahun sudah reformasi bergulir, kualitas perpolitikan bangsa masih tergolong merah, jauh dari kualitas yang seharusnya.

Sejatinya selama reformasi yang barangkali telah mencapai ratusan kali kita menggelar pemilu di jagat nusantara, masyarakat sudah menjadi subyek yang pandai memilih dan menentukan pemimpinnya. Bukan pemilih tradisional, yang memilih kandidat karena money politik, kedekatan suku, daerah atau kekeluargaan.

Pemilih cerdas, yang memilih calon pemimpin berdasarkan kapasitas, pengalaman, dan kualitas kepemimpinannya, masih amat sedikit di negeri ini. Kategori pemilih cerdas tampaknya hanya ada di Jakarta. Ketika mayoritas pemilih Jakarta memilih pasangan Jokowi-Ahok yang jejak rekamnya sudah terbukti, bekerja untuk kepentingan rakyat. Selebihnya, rata-rata pemilih daerah di seantero Indonesia adalah pemilih-pemilih tradisional.

Pembodohan politik

Fenomena pemilih tradisional ini menjadi bukti nyata absennya pendidikan politik. Partai-partai politik yang semestinya berperan melakukan pendidikan politik selama ini hanya menjadi kendaraan politik. Proses kaderisasi dan pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat tidak berjalan. Elite politik hanya sibuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Sehingga yang terjadi adalah pembodohan politik.

Dalam berpolitik, misalnya, masyarakat diajar untuk menyuap dan berperilaku pragmatis dengan praktik money politik. Masyarakat diajar untuk bermain curang dan melakukan pembohongan publik dengan cara manipulasi data dan janji-janji kosong. Masyarakat pula diajar untuk berseteru atau berkonflik sesamanya dengan melancarkan politik identitas (suku, agama dan kelompok). Unsur-unsur golongan dan kedaerahan sengaja dimuculkan untuk meraih dukungan politik. Politik identitas semacam ini tentu sangat membahayakan semangat kebangsaan. Masyarakat diadu dalam persaingan politik yang tidak sehat. Sehingga tidak jarang masyarakat terjerumus dalam konflik pemilukada yang berujung pada kekerasan.

Kekerasan pemilukada memang kerap kali terjadi dalam arena politik lokal. Fenomena kekerasan adalah akibat dari praksis politik para elite politik yang tidak mendidik dan mencerahkan masyarakat. Politik hanya dimaknai sebagai upaya perburuan kekuasaan. Selama hasrat kekuasaan itu belum tercapai, segala cara dan taktik ditempuh.

Praktik politik yang sejatinya melahirkan kesadaran dan daya kritis masyarakat dalam berpolitik, malah berbalik menjadi proses pembodohan politik. Ironisnya, banyak elite politik kita yang mengklaim masyarakat kita sudah cerdas memilih. Mereka sudah tidak gampang disuap atau dibohongi. Padahal tingkat kecerdasan masyarakat dalam memilih sesungguhnya masih rendah. Kalau pun berkembang, hal itu bukan karena pendidikan politik yang dilakukan oleh elite politik dan partai-partainya. Yang sesungguhnya berperan melakukan pendidikan politik selama ini adalah media (cetak atau elektronik)

Peran media di tengah masyarakat pemilih begitu penting. Media menyediakan bacaan-bacaan atau informasi politik yang mencerahkan. Media juga berperan memfasilitasi dialog-dialog politik para kaum intelektual, dan media jugalah yang memfasilitasi debat publik para calon-calon pemimpin kita yang bertarung dalam pemilukada atau pilpres. Peran media sangat bermanfaat bagi pendidikan politik masyarakat. Melalui media, masyarakat pun mendapatkan informasi yang lengkap tentang calon-calon pemimpin bangsa. Meski harus diakui peran media kadang-kadang bertendensi atau memihak pada elite politik tertentu. Tetapi paling tidak, peran media sebagai pilar demokrasi bisa berjalan di negeri ini.***

* Penulis sehari-hari bekerja pada Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi NTT