Kabar Bima

‘Jeritan Rakyat’ Dibalik Biaya KK dan Akta

438
×

‘Jeritan Rakyat’ Dibalik Biaya KK dan Akta

Sebarkan artikel ini

Kabupaten Bima, Kahaba.– Pengurusan biaya cetak Akta Kelahiran (AK) dan Kartu Keluarga (KK) pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bima, melambung tinggi. Masyarakat pun menjerit karena biayanya melampaui tarif normal sesuai Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan. Tak tanggung-tanggung, masyarakat yang mengurus AK dan KK di dinas setempat, dikenakan biaya hingga Rp 105 ribu. Biaya tersebut melebih dari ketentuan Perda yang seharusnya senilai Rp 65 ribu.

Ilustrasi
Ilustrasi

Penarikan sepihak biaya AK dan KK yang melanggar Perda itu, dilakukan oleh petugas bagian pengurusan AK dan KK Disdukcapil dengan dalih macam-macam. Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Raba Kodo Kecamatan Woha Kabupaten Bima, Ag.

Ag mengaku, saat mengurus AK dan KK di Disdukcapil Kabupaten Bima, membayar senilai Rp105 ribu. “Saya membayar untuk cetak KK sebesar Rp50 ribu. Sementara AK-nya diminta Rp 65 ribu oleh petugas Disdukcapil,” ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Disdukcapil Kabupaten Bima, Andi Sirajudin, mengatakan, biaya pembuatan AK dan KK tersebut dianggap cukup ringan. Jika merujuk pada aturan pasal 90 Undang-Undang (UU) Nomor 23 terkait Akta kelahiran, maka dikenakan denda keterlambatan maksimal Rp 1 juta bagi anak usia di atas satu tahun.

Kata dia, sebelum aturan pasal 32 UU Nomor 23 diberlakukan, salah satu sarat untuk pembuatan AK harus mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri setempat. Dalam rangka membantu masyarakat, pihaknya membuat dan menandatangani kerjasama (memorandum of understanding, MOU) dengan Pengadilan. Sehingga diberlakukan sidang keliling terkait AK tanpa memungut biaya dari masyarakat.

Menurutnya, tahun 2012 lalu, ada sekitar tiga ribu yang disidangkan terkait AK. Sementara tahun 2013, Disdukcapil baru menjalankannya, namun terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 1 Tangga 31 April Tahun 2013 yang membatalkan pasal 32 UU Nomor 23 tersebut.
“Kalau saya berlakukan dengan ketentuan yang sesungguhnya, saya tidak yakin masyarakat bisa membayarnya. Sehingga saya melakukan negosiasi dengan Kabag Hukum. Saya bersurat agar dibuatkan Peraturan Bupati yang meringankan masyarakat. Maka jadilah peraturan Nomor 17 Tahun 2013, dengan biaya sebesar Rp 50 ribu sebagai kontribusi untuk PAD,” terang Andi.

Kalau pun ada kelebihan biaya, kata dia, kemungkinan karena ada komitmen aparat desa dan petugas dengan masyarakat setempat. Apalagi, petugas yang melakukan pencetakan di lapangan tidak diberi makan, sehingga muncul komitmen biaya yang melebihi ketentuan PAD. Kelebihan pembayaran itu, diakui Andi, Disdukcapil telah menghadap Kepala Desa setempat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hanya saja, desa yang keberatan saat itu adalah Desa Rabakodo.

Terkait kelebihan pembayaran administrasi pencetakan AK dan KK bagi 80 warga yang mecapai Rp 2,2 juta, Andi mengaku, jika uang tersebut sudah dikembalikan kepada Kepala Desa setempat. ”Yang saya kembalikan hanya Rp 25 ribu yang diambil oleh staf saya. Sementara Rp 10 ribu adalah urusan desa, bukan urusan saya karena mereka yang mengambil,’’ ujar Andi. [SR]