Kota Bima, Kahaba.- Mutasi yang dilakukan Walikota Bima beberapa pekan lalu, masih menggores hati para PNS korban mutasi. Luka hati karena tidak menerima pemindahan tempat kerja, para korban mutasi terpaksa mengadu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram. Mereka meluncur ke sana untuk mencari keadilan. Sejumlah PNS yang tak terima mutasi ke daerah pelosok dan dipelorotin jabatannya itu, serius membawa persoalan SK Mutasi yang dinilai cacat hukum ke jalur PTUN Mataram.
Mereka berangkat ke Mataram, Minggu (27/10/13). Berkas pengaduan diserahkan ke PTUN, Senin (28/10/13). Sebelum berangkat ke Mataram, sejumlah PNS korban mutasi berziarah ke makam mantan Walikota Bima, Almarhum Drs. HM. Nur Latif. Mereka haturkan doa di nisan almarhum yang dikenal sebagai bapak pembangunan Kota Bima tersebut. Ziarah dilakukan karena keberangkatan mereka untuk mencari keadilan di PTUN Mataram, bertepatan dengan hari lahir Nur Latif.
Salah satu PNS yang keberatan dengan mutasi itu, Muhammad Syahwan, ST, MT, mengaku, mutasi yang dilakukan sepihak tanpa melalui proses aturan yang jelas, adalah pemicu keinginan kuat dia bersama sejumlah rekannya untuk mengadu ke PTUN Mataram. Mutasi dilakukan tanpa mengikuti aturan seperti yang tertuang dalam PP Nomor 53 tahun 2010. “Tiba-tiba kami langsung diberikan hukuman, tanpa mengetahui apa bentuk pelanggaran yang kami lakukan,” ujar Syahwan kesal.
Menurut magister pertambangan itu, pemberian mutasi aneh karena tidak sesuai aturan. Dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 bagian kedua tentang tingkat dan jenis hukuman disiplin pasal 7, disebutkan tingkat hukuman disipilin. Baik itu hukuman ringan, sedang, maupun berat. “Pemberian sanksi ini aneh, karena tidak ada proses yang kami lalui sekalipun kami ini melakukan pelanggaran berat,” sorot salahsatu Kasi di Bappeda yang dimutasi menjadi staf di Kelurahan Ntobo itu.
Jika berpedoman pada PP nomor 53 tahun 2010, lanjut dia, bagian kelima aturan itu menjelaskan tentang tata cara pemanggilan, pemeriksaan, penjatuhan dan penyampaian keputusan hukuman disiplin. Pada pasal 23 ayat 1, PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dipanggil secara tertulis oleh atasan langsung untuk dilakukan pemeriksaan.
“Kami ini tidak pernah dipanggil oleh atasan langung kami masing-masing. Padahal, aturan itu jelas lho,” tandas Syahwan.
Kemudian pada pasal 24 ayat 1, lanjutnya lagi, setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran, sebelum diberi hukuman disiplin. Selanjutnya pada ayat 2, pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan (BAP). Mengenai keberatan terhadap mutasi, Syahwan dan rekan-rekan menyampaikan surat penolakan SK Mutasi. Langkah itu., seperti yang diatur dalam pasal 35 ayat 1 tentang keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat 1, diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan, dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.
“Surat keberatan itu sudah kami ajukan, tapi belum ada tanggapan dari Pemerintah Daerah,” ungkapnya.
Menurut dia, pasal 58 ayat 4 juga menjelaskan, apabila dalam waktu lebih dari 21 hari kerja atasan pejabat yang berwenang menghukum tidak mengambil keputusan atas keberatan, maka keputusan pejabat yang berwenang menghukum batal demi hukum. Sementara itu, Kepala BKD Kota Bima Drs. Muhtar Landa, MH, yang juga tim Baperjakat, mengatakan, adalah hak PNS untuk mengadukan masalah tersebut ke PTUN Mataram. Pihaknya akan menunggu proses yang dilakukan di PTUN Mataram. “Itu hak mereka. Jalurnya memang di PTUN jika ada PNS yang merasa tidak puas dengan kebijakan mutasi itu,” kata Mukhtar.
*BIN