Oleh: Hazairin A Rasul*
Kalau kita rangkum dari beberapa literatur yang berbicara tentang kepemimpinan (leadership), baik yang berakar pada tradisi agama, khazanah nusantara, filsafat barat maupun timur, serta kearifan lokal Bima “Manggusu Waru”, dapat digarisbawahi bahwa terdapat tiga kata kunci pemimpin (leader), yaitu niat yang lurus, tahu tujuan dan memahami bagaimana cara mencapai tujuan itu.
Dalam pengalaman interaksi saya dengan beberapa pemimpin formal di sejumlah unit politik dan birokrasi pemerintahan, maupun pemimpin informal di aras sosial kultural, rupanya memang niat, tujuan dan cara (metode/strategi/manajemen) merupakan kombinasi yang ideal dalam memimpin sesuatu. Dalam perspektif spiritual, hal itu bisa disebut sebagai potret pemimpin sejati.
Pemimpin sejati bukan tanpa cacat, tetapi tidak sampai melakukan dosa publik yang merusak lingkungan sosial di sekitarnya. Ia mampu meredam dosa itu berhenti pada dirinya, atau dosa personal yang tidak meluas, atau merugikan orang banyak.
Kewarasan akal pikiran, kedewasaan sikap, kerendahan hati, keluhuran budi, kesadaran akan kekurangan, keridhoan mengakui kelebihan yang lain adalah prasyarat yang meniscaya, dan dimiliki oleh pemimpin sejati. Aspek-aspek itu berkait-kelindan dengan nalar intelektual, kematangan emosional dan kepekaan spiritual.
Pemimpin sejati tidak turun tiba-tiba dari langit, tetapi terbentuk dalam tempaan proses pengalaman kehidupan yang panjang dan berliku. Dalam proses itu, ia digembleng dengan berbagai soal yang rumit yang membutuhkan jawaban-jawaban guna mengukur apakah proses-proses yang menerpa dan menempanya sanggup dilalui dengan baik atau tidak.
Kegagalan setiap diri melerai ujian lazimnya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pikiran dengan hati nurani. Hal ini juga mencerminkan keangkuhan yang membuat dia melakukan pembangkangan pada fitrah kedirian dan terkesan melawan hukum alam. Pembangkangan diri berakar dari dominasi nafsu destruktif sehingga meminggirkan peranan akal pikiran yang jernih dan qalbu yang bening sebagai sumber pijakan dalam memahami dan menerjemahkan ayat-ayat Ilahi baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Dalam pengalaman dan pergulatan manusia, betapapun itu pahit bukanlah alasan untuk putus asa. Begitu pula dalam praktik kepemimpinan, tidak boleh lari masalah, justru harus dihadapi. Manusia tidak pernah dibiarkan sendirian oleh Ilahi Rabbi sejak ia diciptakan hingga dipanggil kembali menghadap-Nya. Inilah substansi dari pemimpin sejati, intinya bagaimana mentransformasikan spirit profetik dalam membangun bangsa, negara maupun daerah.
Penanaman nilai-nilai filosofis dalam memperkuat dan memperluas asa pada titik-titik tertentu, memerlukan kontemplasi khusus. Manusia dituntut menempuh jalan menyendiri agar ia hening dan jujur melakukan introspeksi, evaluasi kritis dan menghadirkan perubahan demi perubahan.
Kejujuran dalam melakukan introspeksi diri adalah pangkal utama hadirnya kebangkitan kesadaran internal, lalu mewujud dan memilih hijrah sehingga peran aktualisasi ekternal dapat menjiwai nilai kemanusiaan dan nilai keadilan tanpa dikotomi dan diskriminasi. Dari situ dasar-dasar kesetaraan diletakkan.
Semua manusia pada dasarnya sama, yang membedakan cuma ketaqwaan. Manusia yang terbaik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitan itulah, pemimpin sejati sebagaimana pesan moral Al Quran, intinya bermanfaat bagi banyak orang. Kalau diletakan dalam arena politik, maka pemimpin sejati tentu berimplikasi meluas bagi khalayak ramai atau massa-rakyat, lewat kebijakan yang berpihak, berorientasi pada terpenuhinya hajat kaum marginal, masyarakat bawah dan terpinggirkan.
Dalam konteks ini, pemimpin sejati adalah kombinasi antara kepribadian yang kuat berkarakter dengan pengalaman yang matang. Pemimpin sejati dihasilkan dari aktualisasi pembangunan kepribadian sejati. Kecerdasan gagasan dan ide-ide semata tidaklah cukup bagi pembentukan kepribadian sejati, ia harus ditopang oleh pengembaraan panjang sehingga kerangka rasional sebagai output kecerdasan pikiran bertemu dengan kecerdasan empirik sebagai produk pengembaraan sehingga diri yang sejati teraktualkan, lalu memberi warna bagi kelangsungan lingkungan.
Aktualisasi kepemimpinan sejati tercermin dari sikap moral, keberanian mengambil keputusan, pemihakan yang bertumpu pada perwujudan mempertinggi martabat lingkungan sehingga melahirkan kekayaan moral di ruang publik sebagai ukuran titik temu nurani kepemimpinan dengan nurani publik yang dipimpin.
Lebih dari itu, basis moral kepemimpinan harus melekat dan mengakar pada kepribadian pemimpin. Pemimpin yang merawat integritas, menjaga kepribadian dan karakter, tentu saja menolak intevensi, tetapi lapang dan jenaka dalam kolaborasi sepanjang tidak membenturkan ideologi dan merusak teologi.
Dengan demikian, orientasi pemimpin sejati bermuara pada obsesi mempertinggi derajat kemanusiaan. Peninggian derajat kemanusiaan adalah sikap bathin yang diwujudkan melalui sikap jujur, cinta kasih, setia pada kebaikan dan gandrung meletakan kebenaran hukum dan keadilan secara proporsional.
Manakala hal-hal itu terbentuk dan terpatri dalam sanubari, maka terwujudlah pemimpin sejati itu, dan alangkah strategisnya manakala watak pemimpin sejati menetes pada semua pemimpin di berbagai jenjang dan bidang. Sehingga Indonesia terus mengalami kemajuan, dengan bahu membahu bekerja sama membela kemanusiaan.
*Aktivis 98 dan Penulis Buku Nurani Keadilan