Kota Bima, Kahaba.- Rencana penundaan Pemilu Tahun 2024 menuai pro dan kontra. Beragam perspektif diutarakan mengapa digulirkan keinginan itu. Sementara di sisi lain, yang tidak sepakat menilai rencana dimaksud belum memenuhi sejumlah syarat dan terkesan memaksakan diri dan sarat penyalahgunaan kekuasaan.
Rencana tersebut tentu saja melahirkan polemik. Apalagi digaungkan di tengah Pandemi Covid-19 yang mendera bangsa dan belum mereda. Begitu banyak dampak yang masih berjalan, seperti kegiatan sekolah dan perkantoran belum normal, dunia usaha belum pulih, membengkak-nya pengangguran belum teratasi yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan sekarang maupun pemerintahan yang akan datang.
Wacana penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan Presiden RI 3 periode yang digulirkan oleh segelintir elite politik seperti Ketua Umum PKB, Ketua Umum PAN, Ketua Umum Golkar, menuai kecaman, paradoks dengan kehendak mayoritas publik.
Hazairin AR, Penulis Buku Nurani Keadilan asal Bima menyampaikan sudut pandangnya terkait rencana yang memantik kontroversi tersebut.
Menurut dia, sedari awal sikap politik PDI Perjuangan menolak penundaan pemilu 2024, menolak perpanjangan masa jabatan Presiden RI tiga periode. Hal itu memberi gambaran bahwa PDIP sebagai partai penguasa, partai besar, partai ideologis, sangat tidak menginginkan adanya amandemen UUD 1945″.
“Sikap politik PDIP yang tegas dan gamblang menolak penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan Presiden RI 3 periode selurus dengan amanat reformasi, searah dengan jati diri civil society,” katanya melalui rilis yang disampaikan ke media ini, Jumat kemarin.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh searah dengan gagasan dan sikap politik PDIP yang menolak penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden RI tiga periode. Sejak awal Presiden RI Jokowi telah memberi isyarat bahwa tidak ingin menjabat Presiden RI tiga periode.
Pernyataan Presiden Jokowi yang terbaru yang mengatakan bahwa isu perpanjangan masa jabatan Presiden bertumpu pada tiga hal yakni “Ingin menampar muka Presiden Jokowi, ingin mencari muka kepada Presiden Jokowi, dan ingin menjerumuskan Presiden Jokowi”.
Kata tokoh Bima yang saat ini berdomisili di Ibu Kota itu, ketangkasan Presiden Jokowi memahami arus isu penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden RI 3 periode yang digulirkan sejumlah pimpinan parpol, adalah jawaban yang paling akurat yang bisa dicerna publik untuk menjernihkan citra Presiden Jokowi dan kelestarian relasi Presiden Jokowi dengan PDIP.
Karena bagaimanapun, sikap tegas Presiden Jokowi yang menolak 3 periode secara langsung kian memperkuat energi sikap tegas Ketua Umum PDIP yang sejak awal menolak isu penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode. Tetapi dampak buruknya, seketika membuat elite politik pengusung isu penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode potensial terpuruk dimata publik.
“Jawaban Presiden Jokowi tersebut juga bisa dimaknai sebagai tamparan yang memalukan bagi elite politik yang merangsang menguat-nya isu perpanjangan masa jabatan Presiden. Pada sisi yang lain, Presiden Jokowi secara terang-benderang memperlihatkan sikap yang otentik bahwa Presiden konsisten, sejalan, dan taat pada kepentingan nasional PDIP sebagai partai pengusung dan Nasdem sebagai partai yang konsisten mengawal dan menjaga pemerintahan Jokowi dua periode,” jelasnya.
Lantas bagaimana sikap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI terhadap rencana penundaan Pemilu 2024 ini? Hazairin memaparkan, kultur dan aura personal Ketua MK RI Doktor H Anwar Usman kelahiran Bima-NTB selalu tampil sejuk, kalem, menghindari aksi populis tampil di media mainstream membahas isu-isu politik tarik menarik kepentingan. Keengganan Doktor Anwar Usman menjawab pertanyaan media seperti isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden RI 3 periode dengan mudah dapat dibaca dalam dua hal.
Pertama, sebagai Hakim MK dan sebagai Ketua MK, Doktor H Anwar Usman menyadari benar posisinya sebagai “negarawan” yang selalu menuntut berada pada jalan tengah sesuai dengan prinsip-prinsip etis Hakim MK yakni senantiasa berpegang pada prinsip “independensi, prinsip tidak berpihak pada kepentingan kelompok dan golongan, prinsip menjaga integritas, prinsip menjaga kesopanan dan kepantasan, prinsip kesetaraan, prinsip kecakapan, prinsip kearifan dan kebijaksanaan”.
Kemudian sambungnya, kedudukan Ketua MK dan Hakim MK harus sungguh-sungguh dirasakan manfaatnya bagi publik, bagi bangsa dan negara dalam derajat kearifan etis-nya dan kebijaksanaan sikap yang tidak memihak pada kepentingan golongan melalui internalisasi dan eksternalisasi prinsip-prinsip etis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Mahkamah Konstitusi dengan nakhoda Doktor H Anwar Usman dapat dirasakan kesejukan meredam riuhnya perseteruan politik dalam sidang-sidang MK yang terbuka untuk umum, kendati memendam ketidakpuasan sebagian pihak yang merasa tidak diuntungkan oleh putusan-putusan Hakim MK,” urai Hazairin.
Lalu yang kedua lanjutnya, Ketua MK Doktor H Anwar Usman selalu dalam real konstitusional yakni telaten memahami tugas dan fungsinya yang diamanahi Undang-undang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusan-nya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangan-nya diberikan UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, memutuskan tentang perselisihan hasil pemilihan umum. Hal tersebut tertuang dalam pasal 24 (C) ayat (1) UUD 1945.
“Demikian penting dan strategis posisi Ketua MK dan Hakim MK menentukan jalannya sejarah Tanah Air,” tegasnya.
Ia menambahkan, ketepatan sikap Ketua MK yang enggan memberikan komentar terhadap berbagi isu politik yang sifatnya ekstra-yurisdiksi MK, adalah manifestasi sikap Ketua MK menjaga marwah dan kewibawaan MK sebagai institusi negara dan sekaligus memotret kredibilitas Ketua MK yang secara watak tidak tertarik membangun popularitas dalam framing media mainstream terhadap isu-isu yang berkembang di luar tugas konstitusional-nya sebagai Ketua MK dan Hakim MK.
Bagaimanapun juga, sejarah naas keterpurukan Mahkamah Konstitusi yang pernah menyandera mantan ketua MK dan Hakim MK terdahulu dalam kasus suap harus dipulihkan oleh jajaran sembilan Hakim MK sekarang, guna merebut kepercayaan publik tanpa terseret dalam wacana politik yang tidak punya relasi dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai institusi negara yang menjaga marwah konstitusi negara.
“Sejauh Ketua MK mampu berdiri pada jalan tengah berdasarkan sifat kearifan sebagai negarawan yang tidak berpihak pada kepentingan kelompok dan golongan, niscaya Mahkamah Konstitusi sejati-nya sungguh-sungguh berdiri tegak lurus di atas kepentingan bangsa dan negara. Hanya dengan itu, Ketua MK dan para Hakim akan dikenang oleh sejarah,” tambahnya.
*Kahaba-01